Langsung ke konten utama

Lebaran 2023 dan Fase Orang Tua (Kronologi Berobat Emak)

Sudah di kampung halaman. Untung lah jarak kota rantauan dengan rumah tempat lahir ini tak terlalu jauh, macet pun tak dijumpai, lancar, aman dengan taksi siang tadi. Sekitar 3 jam sudah di rumah.

Dia, Emak. Menyambut dari pintu samping. Kurusnya makin kelihatan, rambut putih menyeruak terkena angin, alas jilbab sekenanya. 

Sebagai bungsu, dikaitkan dengan muda dan jarak, saya termasuk lebih sering pulang ke rumah. Bahkan sejak ikhtiar kami beberapa bulan lalu membawa emak berobat pada dokter yang jitu, katanya.

Sejak Juni lalu, Emak dipastikan terkena penyakit Liver. Tidak mengejutkan sebab Nenek dan Bibi juga pernah mengidap ini, ditambah beliau juga terkena diabet sejak 4, 5 tahun belakangan. Awalnya, beliau rutin ke rumah sakit kabupaten, bermodal BPJS tentu biaya obat sangat terbantu. Hanya, sampai ketika disarankan untuk dilakukan penyedotan pada cairan yang membuat perut dan bengkak. Emak tak mau tindakan itu. Beliau berpikir panjang pada: satu kali sedot, pasti ada sedot-menyedot lagi.

Emak pun menyampaikan keinginan berobat ke Pontianak. Ihwalnya ada saudara yang berobat pada dokter di sana, dan beliau menunjukan pemulihan yang baik. Namun, dalam waktu beberapa tahun. Pantang ini, pantang itu. Tampaknya emak menyanggupi, bahkan biaya yang diinfokanya sampaai 2 juta an di kali pertama berobat beliau sanggupi. Pun ia mengaku tak sanggup minum obat yang sangat banyak.

Mendengar ini, saya mencari tau tentang dokter tersebut dari biaya prosedur dan segalanya. Sampai, ternyata beliau praktik di kabupaten sehingga tak perlu membuat Emak bolak-balik Pontianak. 

Sampai lah waktu kami ke sana. Rupanya sangat banyak orang berobat di sana. Dari berbagai daerah! Jauh, jauh bahkan ada dari Kapuas Hulu.

Kali pertama berobat Emak dicek darah dan urin, melalui laboratorium mereka. Cek jam 9 an, jam 2 datang lagi untuk pemeriksaan dokter. Kami kewalahan juga mencari tempat menunggu, sampai akhirnya menumpang pada rumah sepupu dari ipar Emak. Selepas bertemu dokter disampaikan pantangan ini itu, hasil lab, dan pembayaran biaya-biaya. Benar, ternyata biayanya mendekati 2 jutaan. Dari cek lab sampai ambil obat. Belum biaya makan dan transportasi.


Sejak saat itu, tentu sebagai saudara yang memiliki penghasilan tetap saya mulai menyisihkan. Kerja pun semakon ekstra. Kakak-kakak juga patungan. Namun, karena yang mendampingi adalah saya pasti biaya dihitung dari transportasi/akomodasi Pontianak PP, lokasi berobat dan sebagainya.

Berbahagia lah, pada kunjungan ke-2, perubahan dan perkembanganya drastis. Emak tampak lebih sehat, perut kecil, dan kaki tak bengkak. Bahkan, kaki kodratnya seorang nenek berusia 73 itu ada di sana. Keriput kulit bisa dicubit. 

Kami besyukur. Semangat kerja untuk biaya Emak berlipat. Budget berobat dan akomodasi setiap pulang setidaknya 2-3 juta. 

Namun, entah mengapa. Semakin ke sini perubahan sebagaimana harapan itu mendongkrak ekspektasi. Apakah ini yang disebut emosional orang tua. Mak mulai makan yanh dipantang, katanya sedikit saja. Bahkan sempat berkata, berobat pun masih begini saja. Pernah jelas dimata beliau makan yang tak dibolehkan itu, dia mengaku tak ada makan. 

Dulu, saudara seusia saya pernah sakit liver. Ia dipantangkan tak boleh makan terung. Buah, kuah, apa pun yang sudah berkaitan. Apa daya pohon itu tumbuh subur di depan rumah dari yang biada hingga yang pipit. 

Kami coba membujuk Emak tinggal di rumah. Hasilnya sudah ditebak, hanya 2 minggu. Selama di rumah juga tak ada perubahan. Padahal makan dah dipantang. Sesuai saran dokter, nyuci piring pun tak boleh. Di rumah harus jadi ratu. Makan dikontrol, obat dikontrol. Sebab Emak minum obat tak sesuai jadwal. Padahal sudah ditulis waktunya. Maka memang perlu pendampingan.

Tapi apa daya, tampaknya malah berpengaruh pada psilologinya. Ia menganalogikan dirinya Keramak dan Tengkuyong yakni keluar kamar masuk kamar. Duduk di teras yang memanggil hanya tetangga depan rumah. Dia bilang kalau di kampung, siapa pun lewat pasti menyapa.

Sampai suatu ketika beliau sembelit dan BAB. Terlihat ketidaknyamananya, ditambah musim kemarau. Di tempat kami sukar air. Mengharapkan air hujan atau beli. Kalau di kampung, kolam kami tak pernah kering. Orang-orang di musim seperti itu mengambil air di rumah.

Fiks, saat adiknya dari kampung berkunjung dia pun langsung mengatakan ikut pulang. Tak dapat ditahan ia serta pulang ke kampungnya, melambai tangan dengan ceria. 

Padahal, jika emak tetap di rumah biaya berobat akan lebih murah karena jarak praktik dokter lebih dekat. Namun, melihat semyum cerianya melambai tangan, jawabanya: kenyamanan.

Saya pasrah. Asal beliau merasa aman dan nyaman biar lah. 

Hanya, melihat kondisinya masih bengkak rasanya sedih juga. Usaha yang dilakukan seperti menetak air. Hasilnya sama. Berobat tetap, tapi bengkaknya juga. Sehingga yang dilakukab saat ini adalah mengambil kestabilan.

Pulang lebaran ini, ada berkecambuk di dada. Kekhawatiran akan euforia ia bekerja, menyambut lebaran dengan masak dan makan ini itu. Saya pernah berhadapan dengan pengidap diabet, yakni abang Emak. Jika gulanya sedang naik, oh sensitifnya luar biasa. Makin dinasihati, makin dilakuka .

Pulang lebaran ini, ada rasa kekecewaan. Makanan yang tak seharunya ada dimeha terhidang dengan penuh aroma. 

"Bukan emak yang makan".

Mungkin iya. Bukan makan isinya. Bukan banyak. Tapi, tak mungkin tak mencicip.

Menulis ini, saya sudah sahur. Emak dan adik-adiknya belum. Selesai menyiapkan sahur dan makan saya masuk kamar. Alasanya, hari ini dan kemarin saya merasa tak siap melihat emak makan. Padahal dulu sebelom berobat praktik, 1 sendok makan nasi pun ia sukar.

Ah rasanya ingin benar-benar ikhlas, seperti yang disampaikan tadi. Asal psikologinya aman dan nyaman. Rupanya masih ada yang menyengkang. 

"Mak, jangan lah gitu. Kesian lah kamek, kerja berlarut-larut untuk berobat emak, tapi emak tak jaga makan". Jawabanya sama.

Mungkin benar, nyata. Tapi rasa curiga dan takut ini melambung. 

Terdengar hati bergumam. Bersiaplah, ini memang fasenya. Fase orang tua. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau