Hari itu badan terass panas. Bukan demam. Tapi, seperti pantulan panas di badan. Kalau disentuh rasanya panas tapi tidak pusing.
Cuaca juga mendukung.
Namun, karena sudah biasa dengan kondisi badan seperti ini, santai saja menyelupkan tangan dan kaki di dalam ember. Adem. Seperti Aksara main air.
Selepas magrib. Malah memilih mandi. Dalam kondisi mandi, baru teringat biasanya jika suhu badan terasa panas akan menjadi gigil.
Dan pikiran itu bersamaan dengan merambatnya hawa dingin. Gigil.
Tak berpikir panjang. Keringkan badan. Masuk kamar. Lalu mengambil selimut sebanyak-banyaknya.
Biasanya, merasakan gigil seperti ini saat subuh. Kadang tiba-tiba. Jika sudah begini, satu selimut tak cukup. Maka malam itu dihabiskan dengan berselimut dan tidur.
Besoknya, rasa panas masih menjelma. Biasanya kalau panas begini akan hujan dalam waktu dekat. Dan, jika panas begini nanti, akan berubah dengan kondisi kaki dan tangan yang keringat. Ya seperti menguap dari rasa panas tadi.
Emak mengingatkan untuk memeriksakan diri dengan kondisi yang saya anggap biasanya ini.
Lalu, besoknya ads secuil bintil merah di pinggang. Seperti lepuhan terkena api. Dikira bisul, tapi rupanya bintil ini semakin siang muncul.
Konsul dengan sentua-sentua itu dianggap Cacar. Karena tanggal sudah masuk cuti bersama rasanya tak ada layanan kesehatan kecuali rumah sakit. Lagi pula, di rumah Aba Aksara sedang sakit, sibuk mendekat lebaran, akan semakin runyam jika Aksars ditinggalkan.
Akhirnya ke Apotek dan mencari obat untuk cacar sekaligus salapnya.
Perkembangan hari ke tiga, Si Ratu bintil belum pecah, ukuranya lebih besar dari yang lain. Tapi sudah mulai berubah warna menuju hitam.
Semoga besok mengering, lusa bersih-bersih.
Rindu Aksara.
😍
Komentar