Angsana dan kekasihnya telah bersatu, namun seperti yang ditakutkannya tempo lalu, kebersatuan mereka akan menghadapi tantangan yang mengalahi jurang selama ini.
Angsana tetiba berpikir ingin pergi dari Bumi, dan hidup bersama kekasihnya di planet yang tanpa ada mengenal mereka. Angsana hanya ingin utuh bersama kekasihnya. Namun, Angsana tak mungkin seperti itu, dunianya hanya satu, hanya ada di Bumi. Jika pun bepergian, ia tetap di bumi, meski entah di belahan yang mana.
Hanya, Angsana tak bisa berkutik. Hidupnya hanya di situ, tak ada planet selain bumi, tak ada tanah di belahan lainnya. Hidupnya hanya satu dan itu harus dihadapinya.
Angsana tak dapat berpikir jenih, kebeterimaan tentang kekasihnya sungguhlah sulit, meski ia ingin berteriak sekuat mungkin, kenapa ia mesti jatuh pada kekasihnya. Hanya, seperjalanannya hanya kekasihnyalah, kekasih yang benar-benar kasih, kasih dari segala sisi.
Pernah Angsana ingin membelah diri. Satu dirinya, untuk ia dan kekasihnya. Satu dirinya bertahan pada pilihan yang tak bisa ia tinggalkan. Tak mungkin, tentu saja.
Angsana tertatih kembali, harinya kembali pada air-air mata yang berhambur bersama angin. Ia melunglai kembali. Sebenarnya, semua ini tak lah sulit, tak sesukar dipikirannya. Namun, pada sub masalah ini, Angsana tak dapat berdiam diri. Beres sih, jika Angsana menganggap itu "MASAK BODO", tapi bukan Angsana jika tak kekompleksan adalah pikirannya.
Hari-hari kebersatuannya tinggal menunggu waktu, tapi semakin waktu ia semakin kaku. Angsana mesti mengetuk pintu rumah satu lalu ke rumah satunya. Untuk bepergian itu ia tahu mesti ada ramuan dan persiapan yang ia dibekal.
Angsana belum mengetuk, kakinya masih kelu. Ia tak ingin berjalan, bahkan mengkhayal tentang kebersatuan membuatnya mual.
Di situ ia ingin mengaung seperti Srigala kehilangan kulitnya.
Sebab ia akan membuat sejarah baru, yang akan membuat luka pada hati-hati yang dijaganya.
Angsana menarik nafas, dan aroma kekasihnya masuk di dalam otaknya, menenangkan. Menimbulkan rindu.
Lalu ia ingin melarikan diri kembali.
Angsana tetiba berpikir ingin pergi dari Bumi, dan hidup bersama kekasihnya di planet yang tanpa ada mengenal mereka. Angsana hanya ingin utuh bersama kekasihnya. Namun, Angsana tak mungkin seperti itu, dunianya hanya satu, hanya ada di Bumi. Jika pun bepergian, ia tetap di bumi, meski entah di belahan yang mana.
Hanya, Angsana tak bisa berkutik. Hidupnya hanya di situ, tak ada planet selain bumi, tak ada tanah di belahan lainnya. Hidupnya hanya satu dan itu harus dihadapinya.
Angsana tak dapat berpikir jenih, kebeterimaan tentang kekasihnya sungguhlah sulit, meski ia ingin berteriak sekuat mungkin, kenapa ia mesti jatuh pada kekasihnya. Hanya, seperjalanannya hanya kekasihnyalah, kekasih yang benar-benar kasih, kasih dari segala sisi.
Pernah Angsana ingin membelah diri. Satu dirinya, untuk ia dan kekasihnya. Satu dirinya bertahan pada pilihan yang tak bisa ia tinggalkan. Tak mungkin, tentu saja.
Angsana tertatih kembali, harinya kembali pada air-air mata yang berhambur bersama angin. Ia melunglai kembali. Sebenarnya, semua ini tak lah sulit, tak sesukar dipikirannya. Namun, pada sub masalah ini, Angsana tak dapat berdiam diri. Beres sih, jika Angsana menganggap itu "MASAK BODO", tapi bukan Angsana jika tak kekompleksan adalah pikirannya.
Hari-hari kebersatuannya tinggal menunggu waktu, tapi semakin waktu ia semakin kaku. Angsana mesti mengetuk pintu rumah satu lalu ke rumah satunya. Untuk bepergian itu ia tahu mesti ada ramuan dan persiapan yang ia dibekal.
Angsana belum mengetuk, kakinya masih kelu. Ia tak ingin berjalan, bahkan mengkhayal tentang kebersatuan membuatnya mual.
Di situ ia ingin mengaung seperti Srigala kehilangan kulitnya.
Sebab ia akan membuat sejarah baru, yang akan membuat luka pada hati-hati yang dijaganya.
Angsana menarik nafas, dan aroma kekasihnya masuk di dalam otaknya, menenangkan. Menimbulkan rindu.
Lalu ia ingin melarikan diri kembali.

Komentar
Salam Kenal.