Angsana duduk di taman. Di kursi panjang terbuat dari kayu, yang di bawahnya ada penyangga. Kaki Angsana, menyelip di penyangga itu. Ia merasa, kakinya tak kuat menginjak tanah. Angsana baru saja menahan murka.
Enam (6) jam yang lalu, Angsana bertengkar hebat dengan kekasihnya. Pertengkaran yang tak akan membuat orang normal mengerti. Cinta mereka itu, siapapun yang mengenal mereka adalah cinta yang luar biasa. Tanpa ada rahasia, tanpa ada cemburu, tanpa ada harta melimpah, tanpa banyak tatap muka. Ketika kali pertama mereka berjumpa, keduanya tahu, mereka dipertemukan untuk menyoal cinta. Ketika mereka memisahkan jarak juga karena cinta, hingga dipertemukan kembali, juga langsung membicarakan cinta.
Karenanya, pertengkaran Angsana dan kekasihnya memang di luar batas, cinta-cinta normalnya anak muda. Ha, wajar saja, usia keduanya juga tak lagi muda. Hanya keseringan, mereka menunjukan kekanakan masing-masing, atas nama manja dan memanjakan.
Angsana berhenti menyedu sendu. Ia menarik nafas ketika mengingat, perihlah manja itu. Angsana rindu, sekelibat lupa pada hati yang murka.
Tapi, Angsana masih ingin murka, masih ingin marah.
Kekasih Angsana memberinya kabar gembira, (ini untuk orang yang senang berdusta) Angsana dipersilahkan untuk membuka jendela yang kemudian dapat melihat banyak bunga di sana. Kekasihnya bilang, jangan sia-siakan jendela, sebab keindahannya akan lebih indah dibanding di rumah saja. Padahal, Angsana senang di rumah, menata taman sendiri dengan vas-vas kecilnya. Tapi, kekasihnya bilang itu bisa membosankan. Tapi Angsana tahu, kebosanannya tak sebanding dengan kasi sayang kekasihnya. Tapi, hitungan kedua, Angsana mendapat kalimat itu. Sudah kukatakan, jangan tutup jendela.
Angsana mendunduk. Ia pun sadar, alasan kekasihnya mengutarakan kata-katanya.
Enam (6) jam yang lalu, Angsana meminta agar kekasihnya membawakan bunga yang lebih indah dari sebelumnya. Kekasihnya sejak dulu, (Angsana pun tahu) sudah menyiapkan itu. Tapi Ayana tak mau. Angsana bilang, bunga kecilnya masih banyak, ia masih terlalu bahagia dengan itu. Lalu, kekasihnya tak mengulang lagi. Ingin memberi bunganya.
Angsana tak kuasa melihat kekasihnya yang setiap hari mencangkul. Angsana ingin, cangkulannya tertutup oleh bunga. Angsana tak mampu setiap hari, peluhnya mengalahkan sinar pagi. Angsana ingin mengeringkannya dengan sapu tangan yang ia rajut sendiri. Tapi, Angsana terlalu jauh berjarak, ia tak diperbolehkan menyeberang telaga. Kekasihnya, tersenyum menunjuk mengerti keinginan Angsana. Lalu dia menyangkul kembali.
Berbulan lamanya, kekasih Angss s di seberang telaga. Cangkulannya sudah banyak sedang belum ada bunganya. Angsana memekik, menahan rindu dan menahan risau melihat cangkulan yang semakin banyak, itu terlihat parah untuknya. Tapi kekasih Angsana meminta sabar, sebab bunganya belum sempat ia tanam. Benihnya sudah diasingkan di pemukiman lain sejak Angsana tak meinginginkannya.
Angsana menunduk kembali. Di seberang sana, cangkulan semakin terlihat gusar. Geram Angsana ingin menyeberang, memberi biji bunga dari bunga-bunga yang sudah ada, tapi tak kan mungkin sebab cangkulan bukan cangkulannya.
Komentar