Angsana menghilang. Sekian waktu menahan kelu, ia memilih untuk menutup pintu. Jendelanya atau jendela-jendela yang dimaksud kekasihnya, bahkan jendela untuk kekasihnya, rapat tanpa cahaya dari luar. Angsana seakan tak mau tersentuh.
Pagi itu, di saat kakinya tak lagi menahan penyangga kursi di taman, ketika nafasnya tak lagi sepenggal-sepenggal, ia pun memutuskan tuk menutup pintu rumahnya.
Untuk apa? Kekasihnya juga menyilakannya pergi. Daripada tetangga menilai tak baik, baiknya dia yang menahan diri. Menikmati bunga-bunga sendiri. Walau dia sadar betul, tak bercahaya maka tak baik rumahnya.
Angsana pun beranjak, menuju rumah, mengarahkan kuncinya ke kanan. Dua kali. Beharap di luar ada ketukan, tapi beharap ia tak mau mendengar. Maka, Angsana mematikan cahaya. Dari luar, dari dirinya. Hingga letih. Hingga mati. Jika begitu, katanya, Angsana biarlah menggantung diri.
Komentar