Saya pernah.
Jika itu terjadi maka saya akan mudah merasa, bahwa suara, gerak, bahkan nafas orang di sekitar saya tidak ingin keberadaan saya, ada.
Jika ada langkah kaki terburu-buru, bisa saya artikan, bahwa orang-orang tidak suka saya bebaring, atau duduk.
Jika ada barang terjatuh, berbunyi klantang-kluntung, bisa saya artikan, orang-orang tidak ikhlas membiarkan saya diam.
Jika ada suara berbisik, saya menduga mereka membicarakan saya.
Jika mereka diam, itu artinya mereka tak ingin bicara dengan saya.
Jika mereka banyak bicara, begerak, dan segala hal dimasalahkan, tapi bukan menyebut saya, bukam bicara dengan saya, saya mengkhianati pemikiran positif saya. Saya meyakini, bahwa orang-orang ingin menyinggung saya.
Ah, ya. Kalau saya bicara, mengajak bicara, berusaha memperbaiki ketika saya merasa kejanggalan artian itu, lalu sepatah dua patah saja dibalas, kadang diam, hem itu lah membuat saya berpikir untuk pergi saja. Kemanalah. Serah!
Tapi, itu semua hanya dipemikiran saya, blak-blak dugaan itu, beraninya di kotak-kotak perotakan. Kadang keberaniannya, hanya ditunjukan pada pengubahan bentuk wajah.
Pada diam.
Pada usaha, agar diterima.
Pada pembicaraan seperti ini.
Pada lagu-lagu yang membuat saya menebak lirik, menyanjung nada, dan membiarkan saya lupa.
Saat waktu saya lebih banyak diarahkan pada hal lain, keberadaan saya, yang saya anggap tidak diinginkan itu, saya lupa.
Benar-benar lupa.
Saya lupa pernah menduga.
Yang saya lakukan, meski tak sadar adalah mengalihkan ingatan.
Hingga menimbulkan kesan baru.
Bernyanyilah...
Komentar