Saya akhirnya turun di Terminal Sungai Durian, setelah tebakan salah sasaran. Merasa pernah ke kota ini, saya menduga bahwa Damri yang saya tumpangi dari Singkawang akan berhenti di Tugu BI. Tugu tempat berhentinya Moda Angkutan di Sintang. Satu tahun lalu, saya juga menggunakan Damri, namun dari Pontianak bukan dari Singkawang. Sebelum berhenti di Klinik Asyifa, tempat keponakan dirawat karena DBD, seingat saya Damri berhenti sesaat di daerah tugu tersebut. Setelah melewati persimpangan jembatan yang melintasi Sungai Melawi, barulah saya bertanya pada Supirnya, apakah akan berhenti di Tugu BI atau tidak.
"Berhenti di Sungai Durian, Kak. Tidak boleh di sana", begitu katanya.
Mendengar itu saya langsung mengirim SMS dengan Pak Yus, pembimbing kami di Club Menulis IAIN Pontianak yang sudah ada di Tugu BI. Keberadaan kami di Sintang dalam rangka Pelatihan Menulis bersama Mahasiswa STKIP Khatulistiwa Persada. Undangan tersebut tepat pada tanggal 16 November 2015, artinya ada Sabtu dan Minggu yang menjadi hari libur. Maka, hari tersebut kami jadikan sebagai hari untuk Ekspedisi.
Pak Yus membalas. Saya diberi arahan untuk naik opelet warna putih, opelet menuju Pasar Inpres. Hanya, Opelet warna putih itu masih belum ada penumpangnya. Pak Supir masih bersih-bersih. Saya bertanya dengan beliau, jam berapa berangkat.
"Kalau mau cepat bisa diantar", begitu katanya.
Namun, karena kebelet saya menomorduakan pertimbangan saya untuk tawaran Pak Supir. Saya ke WC umum dulu, namun sebelumnya bertemu dengan seorang bapak yang menawarkan ojekan. Saya langsung berpikir, bertanya harga yang diberikan dan merasa bahwa naik ojek akan lebih cepat, pun sudah lama tak naik ojek.
Setelah menyelesaikan rutinitas "setoran", Pak Ojek sudah menunggu di muka keluar. Saya menyetor uang bersih yang memang sudah disedakan kotaknya. WC umumnya bersih, luas, tidak bau, airnya penuh, ada lampu, hanya tidak berkeramik mengkilat saja. Lumayan nyamanlah untuk sekelas WC umum, di terminal pula.
Setelah melewati jembatan untuk menyeberangi sungai Melawi, saya pun mengajak Pak Ojek mengobrol. Namanya Pak Saringat. Menurut Pak Saringat, opelet biasanya jalan sekitar 06.00 atau setengah tujuh. Bayarannya Rp 7.000 untuk umum, sedangkan anak sekolah Rp 4.000. Beliau sudah mengojek sejak tahun 1989 beliau adalah perantau dari Jawa pada tahun 1985. Terkadang, sebelum mengojek beliau membantu istrinya membawa kerupuk untuk ditittipkan di warung-warung. Istrinya membuat krupuk tepung, dan setiap dua minggu uang dari hasil menjual krupuk akan diambil bersamaan mengganti kerupuk titipan.
Perjalanan menuju Pasar Inpres tidaklah lama, kira-kira 15 menitan. Pak Yus bilang beliau jalan kaki, sedang beberapa teman lainnya ada yang mengopelet. Dalam SMS, saya katakan jika saya bertemu Bapak di jalan, saya akan berhenti dan serta dalam jalan pagi tersebut, eh rupanya kami sampai bersamaan. Bapak sudah berada di ujung persimpangan, saat saya berada di depan Kantor Pos, Sintang.
Ekspedisi ini lumayan ramai, jumlah kami mencapai 15 orang. Saya, karena ada kegiatan Capacity Building yang mesti diikuti akhirnya pisah dari rombongan. Akhirnya pada pukul 19.00 Damri Singkawang pun memulai perjalanan menuju Sintang. Jika tidak ada hal lain, saya akan menulis khusus tentang Damri ini. Teman-teman yang sudah terlihat sibuk memotret terlihat lega dan tertawa saat melihat saya bersama Pak Saringat. Mereka bilang saya bawa cowok.
"Perkenalkan, namanya Mas Saringat", begitu saya tiba di depan mereka.
Mereka pun bersorak, dan beberapa yang memegang kamera sudah lebih dulu mengabadikan saya dan Pak Saringat saat masih di motor. Saya membayar Rp 25.000, dan berpamitan dengan beliau.
Setelah merasa semua beres dan lengkap anggotanya, kami pun menuju warung bubur untuk sarapan. Warungnya berada di samping Apotek, berdepanan dengan Rumah Sakit. Bisa dikatakan sebagai warung bubur pertama dari jalan menuju Pasar. Di depan Warung, agak ke samping sedikit ada lemari kaca panjang yang sudah berisi cincin-cincin batu.
Nurhasanah, Penanggung Jawab Konsumsi pun memesankan kami bubur. Saya yang telah dibekalkam Mi Daging Sapi oleh Mbok Hest, dari Singkawang membuka bungkusan tersebut. Rasanya, memang enak, dan biar adil, saya membagi mi tersebut ke mangkok temabn-teman yang semeja.
Setelah kenyang, kami pun menuju Lanting. Kami menginap di Lanting. Menurut Penanggung Jawab Pemesan Tempat Menginap, satu kamar untuk satu malam hanya Rp 50.000. Sejumlah anggota yang bebelasan ini, kami memang memerlukan kamar yang banyak, dan harga untuk kamar tersebut dirasa sangat pas!! Tetapi yang lebih penting dari itu, kami sepakat untuk merasakan sensasi yang lain. Sensasi tidur di rumah yang berada di atas air tersebut.
Fitri Sari, atau yang kami sapa Cu Na, masih mencari informasi tentang Lanting. Sambil menunggu kami menikmati suasana Pasar Inpres pagi itu. Di tepian jalan sebelah kanan jalan terlihat Ibu-ibu duduk di antara sayur-sayuran. Mereka membuka lapak seadanya dengan tikar. Di seberang sana, lebih dominan bangunan dan kendaran parkir.
Tentu saja, kami memilih untuk mendekat dengan para pedagang sayur-sayur tersebut, terlebih ada banyak sayur-sayur dan buah yang belum pernah kami lihat. Ada jamur kerang, buah pluntan, jahe merah, Cum-cum, manggis kampung, dan banyak lagi. Rupanya Ibu-ibu yang berjualan di sini bukan berasal dari kota Sintang. Mereka tinggal di area Bukit Kelam. Mereka berasal dari satu kecamatan, namun berbeda desa. Saya sempat bertanya pada seorang Ibu, apakah beliau adalah Orang Dayak. Mellihat dari wajahnya, dugaan itu muncul, dan saat saya tanya, dugaan itu benar. Saat saya tanya beliau Sub Dayak apa, beliau mengaku tidak tahu. Lalu, saya bertanya nama kampung tempat tinggal, sebab mungkin saja mereka dikenal dengan Dayak yang menyesuaikan tempat tinggalnya. Beliau tinggal di Desa Merpak.
Bangunan dengan tulisan Pasar Junjung Buih, dengan dinding bewarna hijau terbaca oleh mata saat menuju Lanting. Lanting berada tak jauh di belakang bangunan ini. Kami melewati sisi kanan, dan turun ke bawah. Lanting bewarna hijau terlihat, beberapa teman telah menunggu di sana.
Saya, Nurhasanah, Sumama, Marsita, dan Ika akhirnya satu kamar setelah Suma merasa bahwa lebih nyaman berada di kamar dengan tulisan KK No. 3 di pintu. Yuyun sudah tepat di KK. No. 1, dia mabuk setelah perjalanan jauh, bukan mabuk saat di perjalanan. Jika menggunakan kata Marsita, bisa dikatakan bahwa Mabuknya Yuyun itu "delay".
"Itu bah kak, goyang-goyang rasanya di kamar ni", begitu katanya.
Cu Na, Umi, Dhila akhirnya menemani Yuyun menginap di kamar yang dirasa Yuyun bergoyang-goyang itu. Empat sekawanan ini pun menjadi penghuni tetap di kamar urut pertama. Sekitar jam 8 an, Bapak terlihat sudah berada di Sungai. Tentu saja membuat kami geram, dengan pertimbangan baju akan kering saat siang, Saya, Sanah, dan Marsita pun menyebur ke sana. Dengan gaya berenang berang-berang, saya menyusuri tangga, alsebab memang tak bisa berenang.
Saya ditertawai juga oleh Erni, anak dari pemilik Lanting. Dia bersama adik-adiknya sudah jauh menyeberang ke L:anting di depan mereka. Entah kapan dia memulai berenang, tiba-tiba sudah ada di lantingnya. Anak-anak di lanting ini, sejak kecil tentu sudah dikenalkan dengan air sungai. Adik kedua Erni yang jika tak salah umurnya 3 tahun, sudah bisa berenang. Saat bersamaan dengan kami, adiknya yang 8 bulan juga sedang dimandikan oleh Ibunya.
Sekitar jam 9, kami pun sudah siap. Kami akan menyebrang Sungai Sintang menuju seberang, Kampung Raje. Di sana adalah tempat tinggal keturunan Raja, dan bagian Hilirnya terdapat Keraton serta Masjid Sintang. Kami sudah ditunggu oleh Pak Bujang. Melihat sampannya, kami pun langsung naik bergilir. Pak Bujang, mengaku sudah 7 kali mengganti mesin tambangnya itu. Di Sungai ini terlihat Lanting-lanting yang berada di tepian Sungai, dan di tepian Kampung Raje, terlihat jamban-jamban berbaris. Tampaknya, setiap rumah memiliki Jamban yang dibuat menyatu dengan seteher/atau titian untuk berhentinya Sampan.
Pak Bujang memberhentikan kami di seteher yang lumayan luas. Setelah Yuyun menyelesaikan transasksinya sebagai Penanggung Jawab Transportasi semasa di Sintang, kami pun naik ke daratan satu per satu. Seorang Ibu penjual jamu sedang mencurahkan jamunya untuk seorang remaja. Lalu, remaja perempuan itu kembali ke rumahnya, kami sambil menunggu Marsita dan Pak Yus yang menambang dengan penambang lain, mengobrol dengan Ibu Jamu itu. Jamunya seharga Rp 6.000, dan tentu penjual ini adalah seorang Jawa. Ika, yang memang keturunan Jawa pun langsung mengajak Ibu jamu mengobrol dengan bahasa Jawanya. Tidak terlalu lama memang, tapi berhasil membuat kami iri, sebab hanya berbicara dengan bahasa Jawa, Ika mendapat satu gelas Jamu GRATIS!!!!
Bersambung....

Komentar