Namanya siapa?
Andi?
Dia mengulang namanya.
Sendi.
Aku mulai mengira-ngira bagaimana ejaanya. Candi, Cendi. Sendi, Sandi. Atau Sandy, Candy?
Saat dia ada di halaman sekolah, aku mengamatinya. Wajahnya putih, agak kurusan, tapi pipinya agak gembul. Hanya wajahnya memanjang jadi tidak terlalu terlihat gembulnya. jelasnya, kulit dan rambutnyayang agak tipis namun kecokelatan itu mengingatkan aku pada Fatar.
Bang Fatar. Keponakanku, yang sekarang berada di kelas 2 SD.
Aku mengamati si kecil ini sebelum mengetahui namanya. Ia duduk di antara tiang parkir sepeda. Aku meliriknya sambil tersenyum. Si kecil mulai memejamkan mata, sesekali. Lalu berkali, kali. Lagi, Fatar juga melakukan serupa. Beberapa kali aku mencuri pandang padanya, kulihat wajahnya tampak pucat. Lalu, tampak ia berusaha untuk menahan air matanya. Beberapa kali ia menggosok masanya dengan lengan. Lalu mata itu memerah.
Sejak merasakan dia pucat, aku sudah memeriksa kocek. Apakah aku membawa sedikit uang. Aku ingin membelikannya minum. Dan, aku merasa sedikit bersalah. Mungkin karena terlalu sering kulirik, dia merasa takut padaku.
Aku berjalan, menuju ruang kelas untuk melihat seseorang yang akan kujemput. Kulihat, dia masih mengerjakan tugas di kelasnya. Aku kembali menuju tempat menunggu, meloncati beberapa tangga. Di tempat yang sama kulihat, si kecil yang mirip Fatar masih merah matanya. Mungkin ia sudah bosan menunggu. Ia belum dijemput. Penjaga sekolah mencoba bertanya apa yang terjadi padanya, lalu dia bilang. "Tunggu dulu, pasti dijemput".
Aku berdiri didekatnya. Lalu dengan satu langkah sebelah kanan, aku berhasil mendekati Sa(e)ndy.
Kenapa menangis?
Sa(e)ndy tidak menjawab.
Ayo beli minum? aku tersenyum, mengajaknya dengan memegang bahunya. Horee Sa(e)ndy tidak berteriak. Pikiranku yang kalut tadi ternyata tidak terjadi. Aku khawatir jika kudekati anak ini malah berlari, semakin menangis, dan berteriaaak pencuuuuliiiiiiiiiiiiiiiiiik atau nenek sihiiiiiiir.
Ternyata tidak.
Sa(e)ndy mengikuti langkahku, bahkan kubiarkan dia memilih jalan. Kami berhenti di depan warung, tapi ia menunjuk pada satu gerobak. Sa(e)ndy memilih. Horeeee. Dia mau berinteraksi padaku. Si kecil Fatarku bukan Fatarku ini jalan lebih dulu.
Aku pun bilang pada Pemilik Gerobak minuman dan kue snack ini. Perawakannya ia adalah orang Tionghoa. Sa(e)ndy lalu memanjat gerobak ia membuka penutup termos besar. Sayangnya usahanya tetap tak membuat ia bisa melihat isi gerobak semua. Aku mengambil satu persatu es yang ada di gerobak. Dua pilihan ternyata tidak hingga aku bertanya apakah mau seperti yang ini, seorang anak kecil perempuan baru saja mengambilnya. Sa(e)ndy mengangguk. Aku menyerahkannya, ia mengambilnya dan ia turun dan berjalan selangkah lalu ia berada di bawah ketek penjual. Ia mengambil sedotan. Lalu Sa(e)ndy meminumnya. Tampak ia senang sekali. Aku lega. Kekhawatiranku melihat ia mulai tak nyaman tadi, mungkin karena ia ingin minum. Aku pun membelikannya dua biskuit panda. Sa(e)ndy kembali mengambilnya. Ia masih khusyuk minum.
Ah Sa(e)ndy, aku hanya berdoa agar orang yang menjemputmu tak memarahimu karena meminum minuman itu. Mungkin saja Sa(e)ndy dilarang membeli minuman instan. Mungkin. Tapi, saat itu aku hanya ingin saja dekat dengan Sa(e)ndy. Membuatnya tenang.
Aku lalu meninggalkannya. Dan menuju Bayu yang tampak bengong menungguku.
Dada Sa(e)ndy. Kataku berteriak padanya. Mukanya masih tidak berkespesi, ia masih khusyuk minum. Tapi ia mengekoriku dengan matanya hingga aku lekang dari sekolah.
Aku tersenyum dan aku merasakan rindu pada Fatar :D
Andi?
Dia mengulang namanya.
Sendi.
Aku mulai mengira-ngira bagaimana ejaanya. Candi, Cendi. Sendi, Sandi. Atau Sandy, Candy?
Saat dia ada di halaman sekolah, aku mengamatinya. Wajahnya putih, agak kurusan, tapi pipinya agak gembul. Hanya wajahnya memanjang jadi tidak terlalu terlihat gembulnya. jelasnya, kulit dan rambutnyayang agak tipis namun kecokelatan itu mengingatkan aku pada Fatar.
Bang Fatar. Keponakanku, yang sekarang berada di kelas 2 SD.
Aku mengamati si kecil ini sebelum mengetahui namanya. Ia duduk di antara tiang parkir sepeda. Aku meliriknya sambil tersenyum. Si kecil mulai memejamkan mata, sesekali. Lalu berkali, kali. Lagi, Fatar juga melakukan serupa. Beberapa kali aku mencuri pandang padanya, kulihat wajahnya tampak pucat. Lalu, tampak ia berusaha untuk menahan air matanya. Beberapa kali ia menggosok masanya dengan lengan. Lalu mata itu memerah.
Sejak merasakan dia pucat, aku sudah memeriksa kocek. Apakah aku membawa sedikit uang. Aku ingin membelikannya minum. Dan, aku merasa sedikit bersalah. Mungkin karena terlalu sering kulirik, dia merasa takut padaku.
Aku berjalan, menuju ruang kelas untuk melihat seseorang yang akan kujemput. Kulihat, dia masih mengerjakan tugas di kelasnya. Aku kembali menuju tempat menunggu, meloncati beberapa tangga. Di tempat yang sama kulihat, si kecil yang mirip Fatar masih merah matanya. Mungkin ia sudah bosan menunggu. Ia belum dijemput. Penjaga sekolah mencoba bertanya apa yang terjadi padanya, lalu dia bilang. "Tunggu dulu, pasti dijemput".
Aku berdiri didekatnya. Lalu dengan satu langkah sebelah kanan, aku berhasil mendekati Sa(e)ndy.
Kenapa menangis?
Sa(e)ndy tidak menjawab.
Ayo beli minum? aku tersenyum, mengajaknya dengan memegang bahunya. Horee Sa(e)ndy tidak berteriak. Pikiranku yang kalut tadi ternyata tidak terjadi. Aku khawatir jika kudekati anak ini malah berlari, semakin menangis, dan berteriaaak pencuuuuliiiiiiiiiiiiiiiiiik atau nenek sihiiiiiiir.
Ternyata tidak.
Sa(e)ndy mengikuti langkahku, bahkan kubiarkan dia memilih jalan. Kami berhenti di depan warung, tapi ia menunjuk pada satu gerobak. Sa(e)ndy memilih. Horeeee. Dia mau berinteraksi padaku. Si kecil Fatarku bukan Fatarku ini jalan lebih dulu.
Aku pun bilang pada Pemilik Gerobak minuman dan kue snack ini. Perawakannya ia adalah orang Tionghoa. Sa(e)ndy lalu memanjat gerobak ia membuka penutup termos besar. Sayangnya usahanya tetap tak membuat ia bisa melihat isi gerobak semua. Aku mengambil satu persatu es yang ada di gerobak. Dua pilihan ternyata tidak hingga aku bertanya apakah mau seperti yang ini, seorang anak kecil perempuan baru saja mengambilnya. Sa(e)ndy mengangguk. Aku menyerahkannya, ia mengambilnya dan ia turun dan berjalan selangkah lalu ia berada di bawah ketek penjual. Ia mengambil sedotan. Lalu Sa(e)ndy meminumnya. Tampak ia senang sekali. Aku lega. Kekhawatiranku melihat ia mulai tak nyaman tadi, mungkin karena ia ingin minum. Aku pun membelikannya dua biskuit panda. Sa(e)ndy kembali mengambilnya. Ia masih khusyuk minum.
Ah Sa(e)ndy, aku hanya berdoa agar orang yang menjemputmu tak memarahimu karena meminum minuman itu. Mungkin saja Sa(e)ndy dilarang membeli minuman instan. Mungkin. Tapi, saat itu aku hanya ingin saja dekat dengan Sa(e)ndy. Membuatnya tenang.
Aku lalu meninggalkannya. Dan menuju Bayu yang tampak bengong menungguku.
Dada Sa(e)ndy. Kataku berteriak padanya. Mukanya masih tidak berkespesi, ia masih khusyuk minum. Tapi ia mengekoriku dengan matanya hingga aku lekang dari sekolah.
Aku tersenyum dan aku merasakan rindu pada Fatar :D
Komentar