Telepon Mbok Hest, 1 panggilan tak terjawab. Entah apa
maksudnya, ada perkiraan informasi tentang berita duka. Tapi rasanya, tidak
juga harus dipercaya. Pasti Mbok Hest mau bertanya tentang proposal.
“Ada apa mbok e?” SMS.
Mbok Hest, kembali menelpon.
Namun, Mbok Hest menangis. Tersedu. Sangat sedih.
Saya tak dapat menebak, apa yang terjadi. Jelas ini tak
baik.
“Dit, Pak Bayu. Dit”.
Wajah Pak Bayu yang terakhir saya lihat dua hari lalu di
Laptop, langsung terbayang. Kami berfoto bersama ketika menunggu delay. Pak
Bayu mengenakan baju hitam kotak-kotak rasanya, dan tertawa khasnya itu.
Melebar.
Pak Bayu. Namanya berada paling terakhir di urut absen kami
di kelas. Beliau berada di nomor 11. Saat kali pertama aktif kuliah, tak banyak
yang ingin satu kelompok dengannya. Pak Bayu tak ikut kuliah minggu itu. Pak
Bayu, adalah mahasiswa di tahun
sebelumnya. Hanya tidak aktif di semester ganjil.
Pak Bayu, kemudian saya kenal sebagai pengawas SMP di
Mempawah. Beliau pernah menjabat sebagai kepala sekolah di SPMN 2 Mempawah.
Beliau mengenal bibi saya yang juga guru di sekolah itu. Beliau juga memanggil
paman dengan Bang Asan. Terdengar sangat akrab.
Pak Bayu selalu tersenyum. Beliau berpenampilan sederhana
tapi tetap rapi. Beliau sangat santai di kelas, meski menjabat sebagai pengawas
beliau tak pernah menunjukan bahwa beliau sangat tahu tentang dunia pendidikan.
Beliau selalu menilai presentasi kami bagus. Beliau lebih sering memberi
masukan. Beliau juga menjadi narasumber kami tentang perkembangan pendidikan. Dan,
beliau selalu kami jadikan andalan untuk bertanya atau menjawab ketika
presentasi. Sebab beliau selalu menyelamatkan kami. Tak pernah ada maksudnya
beliau ingin menguji kemampuan kami di kelas. Jika ada yang kurang jelas, kami
selalu melempar pada beliau, “Silakan Pak Pengawas”. Lalu beliau tersenyum
lebar, menunduk, sambil mengangguk-angguk.
Pak Bayu, adalah orang yang mengejutkan saya ketika dua
mahasiswi mengantarkan saya roti. Mereka bilang, roti tersebut dari bapak yang
ada di luar. Bapak tersebut adalah Pak Bayu. Sejak itu, saya tahu bahwa Pak
Bayu sangatlah perhatian. Lalu, saat kami makan di kantin, Pak Bayu sering
berkata “Yang belum punya NIP ndak perlu bayar”, jelas itu adalah saya. Pak
Bayu tak pernah perhitungan, beliau selalu ingin orang-orang terdekatnya
senang.
“Nong”. Adalah panggilan yang biasa Pak Bayu berikan pada
saya. Sebenarnya, tak hanya saya yang dipanggilnya begitu. Kami yang masih
muda-muda di kelas, begitu pula panggilannya. Mbok Hest, Seriati, juga beliau
panggil “Nong”. Setahu saya, Nong adalah panggilan kesayangan untuk anak.
Pak Bayu juga penulis. Saya beberapa kali mendengar cerita,
bahwa tulisannya terbit di Pontianak Post dan harian nasional. Pernah pula
menang di beberapa lomba. Maka, waktu itu yang membuat saya nyambung bicara
dengan Pak Bayu, soal kepenulisan.
Pak Bayu adalah pembahas kedua proposal saya. Beliau datang
dari Mempawah, untuk hadir, untuk membantu, untuk memberi semangat pada saya di
hari tersebut. Pagi itu, beliau menghampiri saya dan Pak Syapar, lalu beliau
memesan kopi. Kami pun mendiskusikan tentang proposal saya.
“Demi Adit, Bapak ke sini ni”, katanya tertawa melebar,
matanya sipit.
Setelah selesai seminar Proposal, saya, Mbok Hest, dan Pak
Syapar serta Pak Bayu duduk di depan ruang sidang. Pak Bayu seperti biasa
selalu saja bergurau pada kami. Hari itu gurauannya tentang jalan-jalan. Beliau
bilang, kalau jalan-jalan ala beliau itu makan es krim lalu foto selfie.
Hem..
Foto Selfie, dan makan es krim? Belum semua itu kita
wujudkan Pak. Bapak telah lebih dulu bepergian. Tak ada lagi Bapak dengan tas
ransel, atau hanya membawa satu notes book untuk kami lihat. Motor besar
bewarna merah di parkiran yang bapak
kendarai tak dapat lagi berhenti sekadar untuk kita berpamitan. Tak ada lagi
yang mengenakan cincin batu akik di antara kita, Bapak adalah pengena cincin
batu itu sebelum batu itu tenar. Saya ingat betul foto Bapak ketika di Bis di
Takuban Perahu. Bapak berpose sambil menunjukan jari-jari yang mengenakan
cincin itu.
Pak Bayu. Berita hari ini sungguh mengejutkan. Kami mendapat
kabar, Bapak meninggal di Jakarta. Di Bandara menuju Pontianak. Bapak di sana
karena ada kedinasan. Bapak kecapekan kah? Atau bapak salah makan? Atau bapak
memang sedang kurang sehat?
Maaf Pak, saya tak langsung
percaya. Sebab informasi yang Mbok Hest dapatkan kali pertama melalui
jejaring sosial. Sebab, kemarin bibi saya, yang kita sama-sama antar di tempat
peristirahatan terakhirnya itu juga dikabarkan telah berpulang ke Rahmatullah
melalui jejaring sosial, nyatanya beliau masih ada bernafas di rumah sakit.
Saya ingin mendapat informasi itu dengan jelas Pak. Saya
lalu bertanya pada teman-teman yang kiranya mengenal Bapak. Lalu saya juga
menghubungi Kak Ana, untuk mencari tahu informasi itu di Mempawah dan
kenalannya. Dan, kabar itu benar Pak. Saya, Mbok Hest, Mbok Atun, Seriati, Bang
Sugeng, Pak Syapar dan lainnya tentu hanya dapat mengikhlaskan Bapak. Sebab
kita memang bukan milik kita.
Pak, apa pun itu. Kepergian Bapak, adalah kehilangan untuk
kami. Pak terima kasih telah hadir di antara kami. Terima kasih santunan dan
nasihatnya. Terima kasih pengertian dan solidaritasnya. Entah lah Pak, apalagi
yang harus saya katakan. Sebab tidak ada yang dapat mengetahui kita, sampai
kapan kita berada di sini. Kami mendoakan yang terbaik untuk Bapak. Selama
bersama, tidak ada rasa sakit hati yang Bapak berikan. Segalanya adalah baik.
Pak, senyum bapak pasti saya ingat.
Selamat jalan Pak.
Selamat kembali.
Pontianak, 07 Oktober 2015.
Komentar