Selamat 70 Tahun Kemerdekaan. Selamat Indonesia. Jaya
Selalu, Bahagia Kita Selalu.
Ini adalah bagian keberuntungan saya sebagai orang yang suka
sekali menyimpan kertas-kertas atau apalah yang berkaitan dengan tulisan,
desain, dan hal yang saya minati. Kali ini saya akan mempublikasikan puisi yang
pernah saya bacakan saat ikut LOMBA MEMBACA PUISI DI RADIO PRIMADONA. Tepuk
tangaaaan, gaeees. Mariii.
Jadi, waktu itu luar
biasa bukan? saya ikut lomba membaca puisi ini. Jika tidak salah
pendaftarannya 20 ribu atau 25 ribu begitu lah. Ada uang pendaftaranlah. Di
kertas ini tertulis bahwa nomor formulir saya 27 dan No undian 45.
Tahun itu, tahun 2009. Tertulis pula kata-kata yang baiknya
saya sampaikan selain puisi, seperti: Mecom,
Comlam (HAhahahahaha), Muchlis Zya Aufa dengan karya, Muchlis Zya Aufa
dengan rangkaian karya puisinya, serta simbol-simbol yang saya buat untuk
menentukan intonasi di lariknya, serta kata-kata tambahan yang menjelaskan
bahwa di bait tersebut saya harus bersuara agak meratap, sedih. Di kertas itu
pula saya mencoba untuk mengartikan makna dari puisi.
Saya tidak tahu siapa itu Muchlis Zya Aufa, puisi saya
dapatkan dari panitianya. Saya ke radio ditemankan oleh si Desember saya itu,
hahaha. Menemukan puisi ini, membuat saya mengingat perjalanan kami juga.
Betapa ia mendukung saya ikut membaca puisi.
Baiklah ini puisinya
INDONESIA APA YANG KAU PUJA
Karya: Muchlis Zya Aufa
Di Indonesia
Tuhan hanyalah milik Agama
Sedang Negara bukankah kata lain dari
ideologi
Ideologi renta dari suatu nama perusahaan
Perusahaan
Bukankah kumpulan orang-orang malas
Dan putus asa
Tiap hari mereka menyusun rumus
Dan Produk mimpi untuk kepentingan diri
Lalu departemen dan institus-institusi
Menjajakannya ke wilayah-wilayah
Ke Pulau-pulau dan desa-desa yang jauh
Jika sebuah wilayah, pulau atau desa
menolak tawaran itu
Maka negara akan memadatkannya
menjadi bom, pertikaian dan dendam yang
panjang
Indonesia
Kemudian menjelma tangan keji
Melalui berita-berita aneh dari raut
pucat televisi
Tiap saat melalu mencuri ketenangan rumah
tangga
Lalu dimanakah tuhan bagi kami jalanan
Ketika Negara menggantikannya dengan
jerit dan nyanyian sumbang
Dimanakah Tuhan bagi di tergusur
Ketika Negara menggantikannya dengan
ketidaktenangan
dan banjir yang menggenang
Dimanakah Tuhan bagi para buruh
Ketika Negara menggantikannya dengan
tangisan anak-anak mereka
Dan tuntunan-tuntunan keluarga
Indonesia
Mungkinkah kau pergi bersama Tuhannya
Adakah kepak malaikat
Dalam setiap celah kata dan air mata
Hingga luka dan doa bisa menjumpaimu di
sungai-sungai keruh
Dan tembok-tembok angkuh
Komentar