Saya
menemukan tulisan ini ketika membereskan tumpukan kertas di kamar. Maklum,
terlalu banyak kertas penting untuk saya meski saya lupa, tapi tetap saya
simpan. Hingga akhirnya, saya kembali menemukan kertas ini. Kertas yang
menceritakan banyak sejarah. Tidak hanya pada diri pribadi tetapi perkenalan
dan kepergian.
Tulisan
ini ditulis ketika pelatihan Jurnalistik Dasar yang diadakan Lembaga Pers Mahasiswa
STAIN Pontianak, tahun 2009 lalu. Kegiatan itu dilaksanakna di gedung Dakwah,
lantai II. Ruang apa, itu lupa saya. Saat ini, ruang ini menjadi Lab Tv IAIN
Pontianak.
Saya
menulis ini karena pematerinya meminta kami untuk menulis. Dia, Nur Iskandar.
Namanya, jikalau tidak salah semula saya kenal melalui kakak-kakak senior di
LPM, mengatakan bahwa beliau pernah mengajar mereka di kelas Jurnalistik. Pokoknya,
nama itu sangat dikagumi oleh kakak senior.
Rupanya,
orang bernama Nur Iskandar yang lalu, saya ikut memanggilnya dengan panggilan
Bang Nur Is itu sangatlah asyik. Saat menyampaikan materi membuat ruangan
ramai.
Hari
itu, setelah saya menulis tulisan ini, saya dengan pedenya membiarkan diri saya
sebagai yang terpilih untuk dibaca tulisannya. Bukan bentuk tulisannya, yang
saya tahu tulisan saya ini sepertilah cakap ayam.
Isi
dari tulisan.
Bang
Nur Is bilang tulisannya bagus. Ada perbedaan yang membuat lucu, di kalimat
tentang warna kulit itu.
Di tahun
2009, kala itu saya barus saja menjadi anggota LPM. Kami mendapat materi dasar
tentang Jurnalistik, lalu tahu lah saya yang mana Bang Nur Iskandar, Bang Alenxander
Mering, dan seroang fotografer wanita, hem… Maya Wuisang? Ah lupa lagi.
Perkenalan
saya dengan Bang Nur Is sudah belalu setidaknya 6 tahun. Sebegitu pula lebih
kurang perkenalan saya dengan teman-teman LPM. Hanya saja, komunikasi saya tak
seintens benar pada teman-teman LPM. Setelah tak menjabat di organsiasi saya
tak terlalu banyak mendiamkan diri di rumah kami itu. Saya lebih banyak di Club
Menulis, yang pembinanya orang yang sama sebagai penasihat di LPM. Yang
seniornya juga sama dengan di LPM. Tetapi karena sudah berselesaikan kuliah,
maka kami tak banyak lagi waktu bersua. Ada yang menikah, ada yang balik
kampung, ada yang sudah mendapat pekerjaan dan berada di siklus kesibukan
masing-masing.
Saya
masih berada di lingkungan kampus, masih sering bersua dengan teman-teman baru
yang mendiami rumah di LPM dan masih sangat sering di Club Menulis. Keberadaan
saya di lingkungan ini pula yang membuat saya masih berkomunikasi dengan Bang
Nur Is. Dunia kepenulisanlah yang menjadi Pak Tali.
Ini
bukan karena telepon dan SMS yang bunyinya, Bang Nur Is mengundang saya berbagi
pengalaman di acara Jurnalisme Damai barusan. Niat menulis tulisan ini sudah lama,
tetapi malam ini lah niat itu tervisualisasikan. Keinginan itu karena saya
ingin mengabadikan perkenalan saya pada Bang Nur Is. Orang yang sangat luar
biasa dalam Ide di dunia kepenulisan dan beramal. Dan, tentu saja pada
kalimat-kalimatnya yang punya saja kata yang pas untuk membuat orang terasa
luar biasa dalam pikirannya.
Tulisan
ini juga mengingatkan saya pada kebersamaan saya dengan LPM. Mengingatkan saya
pada pelatihan pertama di dunia kepenulisan dan terjun dengan yakin di dunia
ini. Tulisan ini juga mengingatkan saya pada Wak Ali yang telah almarhum. Pada
titian yang sering dilewatinya yang kini sudah tak ada lagi. Pada pohon jambu
yang telah ditebang. Pada Wak Ali yang hampir tak pernah saya lihat lagi melintas di samping rumah. Pada jalan
setapak menuju kebunnya yang telah berubah.
Sepeda tua Wak Udin telah menyandar di pohon
jambu air, di samping rumahku. Sepeda itu memang selalu menyandar di pohon
jambu itu, kadang sebelum aku bangun tidur sepeda yang berkeranjang bambu di
samping boncengannya menyandar miring.
Wak Udin adalah tukang kebun kelapa milik
Wak Ali. Umurnya sekitar 50-an. Wak Ali itu rumahnya jauh, perlu 1 jam bermotor
untuk sampai di kebunnya. Lagi pula, Wak Ali telah tua, umurnya sekitar 70-an. Rambutnya
tidak sehelai pun bewarna hitam. Jika berjalan sedikit membungkuk, kulitnya
putih.
Aku bertanya pada Emakku, “Mak, Wak Ali itu
ketununan Belande ke?”
“Tadak, die tu maseh keturunan kite, datok
kau dengan baWak die buak beradek”.
“Ooo, BaWaknye Wak Mude Emak”, batinku
bergumam.
Aku suka tertawa sendiri jika melihat Wak
Udin yang berkulit hitam tanpa baju pula beriring dalan dengan Wak Li. “Black n
White”.
Emak pernah bercerita padaku tentang Wak
Ali, waktu Datok sakit, Wak Ali sering datang menjenguk dan membawa makanan
kesukaan Datok. Wak Ali juga sering memberi uang pada keluarga kami, kata Emak kada
uang itu tidak diambil karena Wak Ali terlalu baik. Wak Ali selalu bilang, uang
itu ucapan terima kasih karena kelapa kering yang disalai di kebun belakang,
didirikan di cucuran atap rumah kami. Kami sedia serta menjaganya, kelapa
kering Wak Ali itu sangat banyak hingga 1 ton. Itu melebihi hasil kelapa kering
di kampungku.
Wak Ali jikalau ke kebun kadang menggunakan
kemeja butih bergaris horizontal. Sangat rapi oadahal istri Wak Ali telah lama
meninggal. Siapa Istri Wak Ali, Aku pun tidak tahu karena aku mengetahui ini
dari Emak. Tapi, jika memakai baju kebun pun Wak Ali tetap rapi. Biasanya, Ia
membawa bibit pisang dari tempat tinggalnya untuk ditanam di kebun.
Aku ingat sekali sewaktu aku kecil, aku dan
abangku suka pergi ke kebun Wak Ali memanjat kelapa muda karena kebun Wak Ali
lebih mudah dijangkau dari rumah.
Wak Ali, Wak Udin, Kebun itu adalah benar. Hari itu pilihan untuk menulis cerita ini karena saya ingin mengabadikan kebaikan Wak Ali yang saya tahu dari Emak. Dan Kebijaksanaan yang terpancar dari dirinya. Meski saya berbicara pada beliau saat menegur dari jendela rumah dan saat ia datang bertanya ada Mak atau tidak. Saya yakin betul, dia memang lah orang yang baik.
Tulisan tentang Wak Ali juga sebagai bagian dari nembus salah pada Emak yang sempat menangis karena foto keluarga yang ada Wak Ali dan foto itu dari Wak Ali terbuang di belakang rumah.
Komentar