Patah hati mengubah cara pandang, begitu sih simpulan tulisan Raditya Dika di Koala Kumal yang baru saja saya baca. Judul asli dari bagian ini adalah Patah Hati Terhebat. Trisna, teman ceweknya Dika becerita tentang patah hati terhebat yang dia rasakan. Parahnya patah hati ini bukan karena hubungan yang dikarenakan mereka tidak cocok lagi. Masa perpisahan mereka justru ketika cinta mereka sedang berseminya. Teman keduanya saling dukung, bahkan memberikan efek positif pada Trisna. Trisna yang awalnya cuek pada pelajaran, suka nongrong menghabiskan waktu, dimarah guru dianya cengegesan, malah bisa fokus belajar dan berjuang keras masuk UGM, karena pacarnya Ruben ingin kuliah di situ. Lalu benar-benar lulus di situ. Trisna dan Ruben lulus di UGM. Semua orang bangga pada Trisna dan terutama Ruben. Trisna di ceritanya Dika juga mengaku bahwa dia benar-benar merasakan berjuang demi cinta. Hanya saja, kebanggaan dan kebahagiaannya kemudian lenyap setelah Trisna dan temannya mendapat kabar bahwa Ruben meninggal. Ruben meninggal karena tabrakan, padaha Ruben sudah menyiapkan pesta karena lulusnya Trisna di UGM.
Patah hati karena ditinggal itu memang menyedihkan apalagi benar-benar tidak akan kembali bertemu. Benar-benar tak akan bertemu. Saya juga jadi ingat dengan abang tingkat masa SMA yang asli bikin mata tidak bisa jauh-jauh saking naksirnya. Namanya Ari, badannya agak kurusan, tidak terlalu tinggi, tapi pas saja melihatnya. Tampak mungil, senyumnya manis. Dia selalu saja nampak rapi meski baju sekolahia keluarkan, jika bertemu guru dia bersembunyi sebentar untuk melipar ke dalam bajunya, hingga tampak baju sekolahnya masuk ke dalam.
Tidak ada yang tahu dengan suka curi pandang saya pada Ari, kecuali Mia teman sebangku. Bagaimana akan mengaku, saya sangat tidak pede. Hitam, gendut, gaya kelaki-lakian, berjilbab poni, suka teriak-teriak, pakai sepeda pula. Lagi pula saya tidak memutuskan bahwa suka saya berarti Jatuh Cinta. Suka saya sama Ari, ya karena Ari memang manis. Saya kira adik kelas lainnya juga merasakan hal yang sama.
Pada mendekati ujian, kami mendapat kabar bahwa Ari meninggal. Dia meninggal karena kecelakaan motor. Saya dan teman lainnya pergi ke rumahnya. Saya sempat melihat Ari terakhir kali dengan wajah diam dan lebam. Sedih tentu saja, hanya sedih saya bukan sedih yang dirasakan Trisna, saya juga tak merasakan patah hati karena ditinggal Ari, secara tidak ada yang dimulai antara kami. Halnya pada masa zaman SMA di mana adik kelas diam-diam suka dengan abang kelasnya yang ganteng, begitu saja sekadar suka. Jika pun Ari masih ada hingga kini rasa suka itu pun tetap saja habis dimakan masa. Saya hanya bisa diam menahan malu jika teman hingga satu sekolah bahwa saya menyukai Ari. Merasa saja, buka levelnya. Saya yakin Ari menyukai teman-teman sepermainan saya. Cantik, putih, senyumnya manis, pendiam, selalu rapi.
Pada awal-awal kepergian Ari, kadang masih juga teringat dengan dirinya yang biasa melintas di depan kelas. Senyumnya, cara berjalannya, motornya, dan bajunya yang dikeluarkan tapi tetap saja rapi.
Mengenang kepergian Ari, Al-Fatihah.
Komentar