Langsung ke konten utama

Bengkayang, Kami sampai, Kami Datang


“Mbak”, begitu Varly memanggil satu di antara rombongan yang melewati kami. Ternyata dia adalah sepupu Varly yang juga akan ke Bukit Jamur. Rombonganya juga ramai. Ia beserta teman SMA-nya. Ternyata Eka, gadis yang sedang menyusun TA untuk mendapatkan gelar A.Md. Keb itu membawa teman yang sudah hapal jalan. Lalu, merasa di antara kami tak ada yang tahu rute, Varly pun mengajak Eka dan rombongan bersama-sama mendaki nantinya.

“Makan siang lok, Bang”. Begitu Eka menjelaskan rencana berikutnya setiba di Bengkayang.

Siang setelah sekitar 20 menit adzan dzuhur kami dengar, kami pun sampai di Bengkayang. Rombongan Eka telah dahulu sampai, lalu kami juga memberhentikan motor di antara rombongan mereka. Sebelum turun dari motor saya membawa sebuah plang yang dibuat sederhana, dengan cat seadanya berisi tulisan petunjuk melewati bukit. Ada yang menjadi perhatian khusus saya pada tulisan tersebut, bukit bukit yang dimaksud bertulis: Bukit Batu/Jamur. Kemungkinan yang ada dalam pikiran saya ialah, orang setempat juga menyebutnya Bukit Batu.

Kami pun berhenti di kawasan Pasar Bengkayang,  tepatnya di Jalan Basuki Rahmad, Desa Bumi Emas. Cuaca yang terik membuat saya memilih untuk berteduh di tepian teras rumah makan ala China. Mengamati teman rombongan, saya pun menyadari bahwa Ucu tidak bersama kami, dan ternyata tak hanya rombongan saya saja, Eka juga menunggu temannya. Kami pun bekirim SMS, dia pun datang.

Sekitar 10 menit, Ucu pun menyusul. Dia datang dari arah berlawanan. Saya melihatnya menyeberang jalan melalui “tol” Bengkayang. Jika ia mendahului kami, saya tidak menyadari perjalanan itu tetapi karena saya yang juga tidak tahu jalan Bengkayang kemungkinan Ucu salah jalan lalu akhirnya menemukan kami. 

Merasa letih dan lapar, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di rumah makan. Tepat di seberang jalan ada rumah makan Padang. Penjual nasi adalah seorang bapak-bapak yang usianya saya perkirakan 40-an.  Gerobak sajiannya berada di depan teras tokoh, lauk-pauk berjejer di atas piring siap untuk dipilih pembeli. Melihat anek minuman berada di dalam toko dengan dua penjaga yang dilihat dari kulit dan wajahnya saja, sudah dapat dipastikan mereka dalah etnik Tionghoa. Berada di transaksi ini, terlihat keharmonisan antar etnik di kota berkeliling bukit ini. 

Teman kami ternyata telah memesan Pemandu. Setelah mengetahui ada Pemandu, kami pun berpisah rombongan dengan Eka. Setelah makan siang, kami mengikuti arahan pemandu yang disewa itu. Jika tak salah, namanya Feri. Saya tidak tahu berapa harga sewanya, sebab kami tidak ada membicarakan sewa ini sebelumnya. Pemandu itu usianya saya rasa seusia saya. Ia memiliki postur tubuh kurus, dengan tinggi mungkin 160 Cm. Ia berkulit hitam, mengenakan kaos dan celana pendek. Yah, gayanya sudah siap naik gunung lah. Kami dibawanya ke Pasar. Dari pembicaraanya denga teman saya yang menyewa, ia meminta waktu sebentar untuk menunggu seseorang. Ia mengajak kami mengikuti kemana dia pergi.

Lumayan risih sebenarnya sebab dia terkesan lama. Kami sempat berhenti beberapa kali mengikuti berhentinya dia di tepian pasar. Namun saya merasa beruntung juga sebenarnya sebab dengan begitu saya bisa berkeliling pasar Bengkayang. Melihat keramaian, mendapat keramahan warga, serta mengamati bangunan pasar di sana.

Sekitar jam setengah dua, kami menuju pedesaan yang mengarahkan kami ke Bukit Jamur. Seperti cerita yang saya dapat dari Bang Hendra, kami pun menemukan jembatan gantung yang mesti bergiliran menyeberanginya. Di bawahnya ada sungai yang jernih dan tak tampak dalam. Menunggu giliran menyeberang saya turun motor untuk melihat ke bawah. Benar, ada mobil yang siap menyeberang di sana. 

Kami melewati pedesaan. Dari desa ini bukit yang kami tuju sudah terlihat. Mirip di dalam film Teletabis, bukit itu hijau dan rapi. Setelah merasa rombongan sudah cukup hitungan kami pun melanjutkan perjalanan, melewati jalan menanjak dengan tanah merah yang basah dan bebatuan yang lumayan besar dua hingga tiga kepalan. 

Seperti dugaan, Sabtu ini kunjungan lebih ramai. Motor-motor sudah rapi parkir di depan rumah warga. Warga yang ada di kaki Bukit Jamur ini adalah non Islam. Mereka adalah Dayak. Namun saya belum dapat memastikan Dayak sub apa mereka. Saya teringat dengan seorang kenalan yang berasal dari Bengkayang, dia beretnik Dayak sub Bekatikng. 

Kami masih menunggu Ucu yang masih dalam perjalanan. Helm sudah masuk rumah sebagai bagian dari penitipan. Rumah di sini, masih berbentuk sederhana. Masih ada yang berdinding papan. Rumah ibadang berkisar 100 meter dari tempat parkiran. Saya jadi teringat obrolan bersama Bang Hendra, perihal kabar Bukit Jamur ditutup, dari Bang Hendra saya mendapat alasan logis dari kabar tersebut yakni Natal. Melihat banyaknya motor diparkir di halaman rumah warga, bisa saja itu menganggu hari religi mereka. Sebagai sesama pemeluk agama, wajar rasa toleransi tersebut diutamakan. 

Saya berjalan kaki menuju "Pos Mulai" mendaki. Di sana sudah ada yang menjaganya. Ada buku yang meminta satu di antara rombongan menulis nama, nomor telepon, dan jumlah rombongan. Khawatir terjadi apa-apa, warga pun bisa mengetahuinya. Ada kotak bagi yang ingin memberi sukarela di sana. Dalam hal ini, Varly yang mengambil alih hanya jia diperhatikan tidak semua rombongan melihat kotak tersebut atau memang menjadi pilihan mereka. Berada di kampung orang menikmati alam yang ada rasanya itu wajar lah.

Menulis buku tamu rupanya tak berarti pemandu kami langsung membawa kami naik. Tampaknya ia masih menunggu rombongan lain. Ada tiga anak yang usianya sekitar 10-11 tahunan juga menunggu. Kami mengajaknya untu pergi bersama sebab mereka tampak tak ada pendamping orang dewasa. Mereka mengiyakan, namun akhirnya meninggalkan kami ketika kami berkata “Ayo berangkat” ternyata keberangkatan kami, gagal lagi, mereka pun ikut rombongan lain. Rombongan Eka pun mulai mendahului. Tidak hanya kelompok tiga anak dan Eka saja, rombongan kami pun terbagi menjadi dua. Hilda, Eka, Iip, Eki, Faisal, dan Latif jalan duluan sebab merasa terlalu lama menunggu, dan tentu saja perjalanan pasti memakan banyak waktu. Berhubung sudah mikir sudah bayar pemandu duluan, sebagian dari kami menunggu kembali.

Berjumpa tiga anak itu menunjukan bahwa keinginan ada di Bukit Jamur ini tidak hanya animo remaja dan dewasa muda saja. Anak-anak juga ingin ikut. Melihat penampilan mereka tampaknya mereka warga sekitar, jika pun bukan berasal dari Kampung tempat kami singgah ini mereka pasti dari Bengkayang. Kami menunggu di rumah yang disebut pemandu kami ini Base Camp Pak Aji. Pak Aji sedang tidak ada di rumah, tapi kami boleh masuk setidaknya untuk ke belakang. Helm sebagian dari rombongan pun dititipkan di dalam. Kami berani ke dalam pun atas izin Pemandu dan Bang Aripin.

Bang Aripin adalah orang yang sibuk keluar-masuk ke rumah Pak Aji untuk menyimpan helm. Dari takaran wajahnya, ia adalah orang Dayak apalagi dengan tato yang tergambar di dadanya. Bang Aripin sempat mengobrol dengan kami sehingga kami pun mengenalnya. Mendengar namanya yang kemelayuan, saya teringat dengan buku Dayak Islam di Kalimantan Barat. Yusriadi yang menulis tentang identitas dalam tulisan itu ada membahas tentang penamaan, dan ada nama yang melekat pada orang Dayak dan umumnya nama tersebut digunakan pula untuk orang Islam atau Melayu kebanyakan. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya interaksi antar mereka.



Kayu dengan satu lingkaran pertemuan telunjuk dan jempol, saya temukan di samping rumah. Saya rasa itu adalah tongkat yang dipakai orang yang mendaki sebelumnya. Mengingat medan yang akan dilewati saya memutuskan untuk membawa kayu itu untuk naik ke atas. Tingginya sekitar pinggang, pas sekali rasanya untuk membimbing.

Setelah menunggu hampir setengah jam, rombongan kami pun akhirnya naik. Melihat jumlah rombongan lain saya merasa wajar penantian tadi cukup lama sebab rombongan yang dibawa oleh pemandu kami ini rasanya lebih dari tiga rombongan. Dan, keramaian ini lah yang menjadi hikmah dalam perjalanan menuju Bukit Jamur.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau