
Supernova, saya sedang jatuh
cinta. Cinta pada diri saya karena telah berjumpa dengan anda.
Uh akhirnya,
berhasil menghadapkan diri dengan film Supernova; Ksatria, Puteri, dan Bintang
Jatuh. Sejak kali pertama tahu, novel Dee ini akan dialihwahanakan menjadi
film, saya sumringah luar biasa. Ikrar saya, saya harus nonton. Harus!
Supernova: Ksatria,
Puteri, dan Bintang jatuh menjadi sangat penting untuk saya, sebab semasa
membaca buku ini saat saya SMA. Masa kala pertama-tamanya, saya mengaku sedang
jatuh cinta. Semua kata-kata puitis yang tertulis dalamnya saya lahap, menjadi
sorotan pertama tak peduli Ruben dan Dhimas sedang mengungkap cinta.
Parahnya, saya
menulis kalimat-kalimat yang ditulis miring itu kembali di buku sekolah. Saya mengamati,
kata-katanya indah, penuh makna. Paduan kata satu ke kata yang lain unik,
menarik, berbeda dari yang pernah saya baca.
Pada kata-kata yang
ditulis miring itu, kata-kata yang saling bersahut-sahutan dalam telepati, atau
pembicaraan hati adalah kata-kata yang tak pernah puas untuk dibaca ulang.
Aku mencintaimu sepenuh hati,
Puteri
Tak peduli lagi tepat atau tidak
Tak peduli kau menyadari aku
bilang atau tampak
Tak peduli kau bahagia dengan
diriku atau cuma dengan sel otak
(Hal. 69)
Puteri, aku ingin sekali tuli.
Sekawanan samurai terbuat dari
huruf datang menyerang.
Mencacah harga diriku seperti
daging cincang.
Mereka menghinaku, karena aku Cuma
bisa diam.
Mereka menyumpahiku, karena aku
rela diabaikan.
(Hal. 97)
Tak kan kuhadirkan kakiku ke sana,
Tak kan pula kuhadapkan mataku
untuk melihatnya.
Aku akan dirasuki jutaan imaji
mengenai dirimu dengannya.
Bagaimana kalian makan bersama,
atau bercinta di atas meja.
Dan betapa seharusnya engkau tidak
di sana
Maaf, saya sedang tidak berselera
untuk di siksa.
(Hal. 101)
Tiga ungkapan
bertulis miring ini, adalah tiga di antara tulisan yang saya tulis ulang, dan
sangat sangat ingat, sangat saya suka. Lebih tepatnya saya mencontek
tulisan-tulisan tersebut. Pada orang yang sedang membuat saya kasmaran, sempat
pula saya kirim. Kadang saya tambah-tambah, kadang saya kurangi. Namun lebih
sering saya membuat ungkapan sendiri dengan kiblat tulisan miring ini.
Saya terinspirasi
dengan ungkapan bertulis miring, super, tidak mendayu, spirit. Pertemuan kata
satu dengan kata lainnya membuat saya berpikir: ternyata menulis seperti ini
tak perlu analogi-analogi yang lemah lembut. Sampaikan saja apa yang perlu
disampaikan. Jika pun analogi itu ada, analogi yang di luar perkiraan. Dari
tulisan-tulisan ini pula, saya mencoba untuk mencipta hal yang sama. Apakah
inspirasi pakai permisi? Entah lah, saya menyukainya saja
Minggu sore, tanggal
14 Desember 2014 ikrar saya pun terwujud. Saya bersama Eka yang memang sudah
jauh-jauh hari merencanakan ini akhirnya, dapat duduk di C5 dan C5 di studio 5.
Hampir, saya duduk sendiri di situ, Eka yang juga berjanji ke kondangan mengaku
baru sampai di resepsi sedangkan 16.50 sudah memberi kabar “Pintu telah
dibuka…”
Saat galaksi memantul di mata saya sebagaimana apa yang terihat di layar besar di ruang gelap, semuanya mengagumkan. Tokoh-tokoh yang sebelumnya terbentuk dari sel otak, kini dapat saya lanjutkan ceritanya dengan wajah Arifin Putera, Hamish Daud, Herjunot Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, Paula Verhoeven . sebagaimana biasanya ketika saya sudah tejatuh dalam cerita, mereka akan mengajak saya berimaji melanjutkan cerita sendiri.
Kali ini saya mengaku puas dengan Film yang berasal dari novel, sebab
ungkapan-ungkapan bertulis miring yang sangat penting itu tak terlewatkan.
Dialog dalam telepati menjadikanya lebih hidup. Oleh tokoh-tokoh di film.
Kebingungan saya saat membacanya –siapa yang bicara, siapa yang mendengarkan-
dulu terjawab. Terutama kerumitan saya memahami kehadiran Diva sebagai
Supernova. Saya juga suka dengan efect visualnya. Saat Ruben terbaring dan
burung merpati terbang, itu keren sekali! Begitu pula animasi Ksatria, Puteri,
dan Bintang Jatuh. Paduan dunia khayal, teknologi, dan nyata.
Setelah pulang menyelami Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh dalam
dunia filmnya, saya kembali merasakan diri saya sebagai pujangga. Saya kembali
lagi menjadi sok berpuitis. Saat bekerja, saat mengendarai motor, saat berhenti
di lampu merah, bahkan membalas SMS pun saya merasa, saya pujangga. Supernova
mengembalikan kekasmaran saya semasa SMA. Saya yang hampir tiap malam mengirim
pesan kalimat bermakna indah, -menurut saya- pada pujaan hati, kini kembali
dapat merangkai kata dengan mudah. Bahkan, kepingan jalan pertama, berpegang
tangan pertama, dan saling sipu berkelibatan di udara. Dan, ini pula yang
membuat saya bertahan pada pilihan untuk mencari Supernova: Ksatria, Puteri dan
Bintang Jatuh, versi cover cetakan April 2001.
Sepernova, Saya percaya
bahwa tiap orang punya jaringan tuk menciptakan dunianya sendiru. Tak peduli berada
dimana, imaji yang punya rencana.
Komentar