Kemarin,
kami Pegawai Kontrak menghadiri Undangan Kegiatan Koordinasi dan Evaluasi
Pegawai Kontrak tempat kami bekerja. Dalam kegiatan itu, simpul yang dapat jika
ingin melanjutkan pengembangan kompetensi di sana, diharapkan kembali
menyampaikan lamaran. Selain itu, kami juga memberi laporan mengenai evaluasi
diri selama menjalankan amanah yang diberikan.
Saya
berada di ruang kerja sejak Juni 2014 lalu. Setidaknya telah enam bulan saya
berada di ruangan itu. Saya dikenal sebagai pegawai di sana, bahkan ada pula
yang mengguyon , memanggil saya sebagai pejabat. Bagaimana memaknainya? Saya santai
saja. Apa yang ada pada saya dan dipandang orang terhadap saya sekarang ini,
semuanya cuma sementara. Bukan kepemilikan saya.
Namun,
kala tulisan ini dibuat saya tak ingin membahas tentang kehadiran saya di ruang
kerja. Saya ingin mengevaluasi diri dan bukan pula evaluasi diri yang
berhubungan dengan pekerjaan saya itu. Namun, ide evaluasi selama bekerja
menjadi inspirasi saya untuk mengevalusi karya apa yang telah saya hasilkan
setelah saya berad di sana. Apa saya berhasil memanajemen waktu saya?
7hari/24jam
juga memberi inspirasi untuk hal satu ini. Semua orang punya waktu yang sama,
semua orang juga punya kesibukan masing-masing. Hanya tidak semua orang bisa
memanajemen waktu yang dipunya. Tak sekadar untuk fokus pada pekerjaanya,
hubungannya dengan seseorang maupun orang terdekat lainnya, tetapi juga untuk
kesegaran diri, dan kesehatan serta kepuasan passionnya.
Sepertinya,
Senin. Saya lupa hari apa. Dosen yang mengajar saya, yang saya katakan pada
teman-teman di kelas, beliau adalah Bapak saya karena nilai A untuk mata
kuliahnya, menyebut nama saya di ruang kerja. Dosen ini, sedang melaksankan
Tugas Belajar, hari itu entah keperluan apa, beliau ke ruangan. Saya sedang tak
berpikir untuk menguping, -ups! Namun dalam masa saya memfotokopi famplet milik
Radio Prokom karena di Bagian Umum mesinnya sedang digunakan, saya
sebentar-sebentar menyahut pembicaraan Bapak pada saya yang sekaligus dengan
orang di ruangan.
Beliau
dan saya serta teman-teman penulis lainnya, pernah mendapat kuliah berbatas
ruang. Kebetulan waktu itu beliau berada di ruang lain, dan kami di ruang kami.
Beliau berbicara banyak tentang buku, satu bahasannya tentang tulisan kopi di
Pontianak. Namun, saya pun tak tahu
bapak mengingat nama saya.
Jadi
hari itu, Bapak menyebut nama saya, “Farninda, di sini kamu sekarang”. Lalu
saat saya fokus pada kopian, dia bertanya “Farninda, apa karya terakhirmu?”
Asli saya terkejut dengan pertanyaan itu. Sekarang saya ditanya bukan sebagai
orang yang bekerja di ruangan, bukan pegawai, bukan pula pejabat dalam guyonan.
“Setelah kamu berada di sini, apakah kamu masih sempat menulis?”.
Pertanyaan
Bapak, berhasil membuat saya gagap. Saya hanya mengingat presentasi makalah
saya di UPI, Itu adalah karya terakhir saya satu minggu terakhir. Hanya, saya
berpikir ulang, bukan kah itu tulisan kuliah, wajib.
“Saya
masih sempat nulis di blog, Pak”. Hanya itu yang dapat saya sampaikan pada
Bapak. Setidaknya itu lah yang saya lakukan setelah tak lagi menulis di Harian
Lokal atau mengirm tulisan di media lainnya. Benar-benar mengena pertanyaanya.
Dan, hal itu pula yang cukup mengganjal dipikiran saya. Kira-kira selama enam
bulan ini, apa saya berhasil memanajemen waktu saya itu.
Lalu,
saya bertemu dengan Pak Soedarto, di depan ruang kerja.Beliau adalah Bapak yang selalu menginspirasi.
Saya bertemu dengannya, lalu beliau bilang, “Ninda, saya doakan kamu selalu
menulis”.
Beliau
juga pernah mendoakan saya, untuk menempuh pendidikan Doktor, sebab itu
pendidikan adalah kebutuhan, begitu simpul yang saya dapat dari obrolan singkat
kami. Beliau berharap saya dapat meningkatkan kualitas tulisan saya. Tulisan-tulisan
lalu, sudah cukup menjadi awal, sebagai pembelajaran. Sekarang waktunya menulis
mendalam. Menulis esai. Dikumpulkan hingga dapat menjadi buku.
Dari
dua pandangan ini, saya dikenal sebagai penulis. Saya bukan dikenal sebagai
pegawai di tempat bekerja. Hal yang dinantikan dari saya adalah karya tulis,
bukan surat-surat dari printer di ruang kerja. Tetapi karya tulis dalam bentuk
buku dan esai.
Selama
enam bulan bekerja, karya yang saya hasilkan memang lebih sedikit dari tahun
lalu. Untung lah saya diselamatkan dengan buku bersama berjudul Club Menulis
Membangun Kapasitas Akademik selain itu, mengapresiasi keberanian saya untuk menyampaikan
makalah yang saya buat di depan mahasiswa UPI Bandung, dan Mahasiswa dari
Institut Pendidikan Guru Sarawak.
Semoga
Desember ini, saya bisa menutupnya dengan satu buku.
Mari
Nda.
Komentar