Langsung ke konten utama

Menancap Kenangan di Sintang Bersemi



PART#1
Naik DAMRI ke Sintang

Akhirnya saya merasa juga naik Damri. Setelah saya pernah bertanya pada diri, kapan saya naik Bis tersebut dan akan kemana saya? Bis super besar itu membawa saya ke Sintang. Dan, ini juga kali pertama untuk saya merasakan ke Sintang naik Bis dalam keadaan yang tidak teler. Januari tahun 2013 lalu bersama tim Road Show Kalbar Menulis, saya ke Sintang menggunakan mobil Direktur Top Indonesia, Nur Iskandar dan kala itu saya dalam keadaan super-[ teler gegara melewati SuperTrap-nya Gunung Pendereng. Ketika pulang ke Pontianak kami melewati jalur Tayan yang lebih dekat. Tidak ingin merasakan teler seperti datang, saya menelan dua pil anti mabuk. Jadinya, saya hanya bisa melek paling lama 5 menit. Setelahnya lanjut tidur dan menikmati hentakan-hentakan jalan merah yang membawa saya tertidur nyenyak. Tau-tau berhenti di rumah makan, tapi tidak tahu itu dimana. Tahu-tahu sudah berada di Pontianak. Jadi, Jumat malam, 03 Oktober 2014 saya berusaha tidak tidur.

Keberangkatan saya ke Sintang adalah keberangkatan yang tidak terduga. Kakak yang pasca lebaran Idul Fitri pindah rumah di sana mengajak saya dan emak untuk lebaran Adha di Sintang. Saya yang saat ini telah punya ruang kerja merasa ragu untuk mengiyakan ajakan itu. Jika pun bisa, saya akan datang pada Jumat malam dan kembali ke Pontianak pada Minggu malam. Senin, saya bisa masuk kerja. Setelah kabar ajakan ini saya sampaikan pada emak, rupanya emak memilih untuk tidak ke Sintang saat lebaran. Minggu berikutnya ada keluarga yang menikah, Emak akan ke sana. Jika ke Sintang dan minggu berikut mesti kembali ke Mempawah, ah rasanya terlalu cepat kata emak. Lagi pula, rindu pada cucu belum terlalu melanda begitu kata emak. Sip, kami sepakat untuk tidak ke sana.

Kamis malam, 02 Oktober Mak menelpon. Mak bertanya apakah saya sudah mendapat kabar dari Kakak yang di Sintang. Sejenak yang saya ingat, kabar dari Kakak hanyalah ajakan untuk lebaran, setelah itu kami tak saling telepon. 

“Nanda masuk rumah sakit, demam, DB” kabar itu pun saya dapat dari Emak.

Kakak baru juga menyampaikan info tersebut. Kamis sore keponakan pertama itu dirawat. Emak minta pendapat, apakah kami akan pergi atau tidak. Mendegar kabar begitu, tentu saja pilihannya adalah: Pergi.
Seperti rancangan saya jika saya ke Sintang, saya akan pergi pada Jumat malam, lalu kembali pada hari Minggu. Kebetulan pula, keberangkatan yang tidak terduga, “jejak” pada hari Kamis. Setelah Mak menelpon saya pun menyampaikan kabar Nanda pada orang rumah. Malam itu pula, saya pergi ke Pangkalan Bis Damri untuk memesan tiket. Sayangnya, sesampai di sana petugas tiker sudah pulang. Saya yang baru kali pertama mengurus tiket  dan sendirian pula memang tidak tahu kapan jam pelayanan Damri dibuka dan ditutup. Untung saja, petugas Kasir mau memberi informasi .


Kepada Petugas Kasir saya menyampaikan bis yang ingin dipesan. Saya bertanya tentang jam keberangkatan dan apa boleh nantinya turun bukan di Pangkalan. Saya mendapatkan jawaban yang membuat saya lega, besok pukul 06.00 pelayanan Damri sudah dibuka. Telpon juga boleh dan limit pembayaran hingga pukul 10.00. Besoknya pun, sekitar pukul 06.10 saya memesan tiket melalui telepon. Nomor telepon saya dapat dari teman kuliah yang sekarang memilih Damri sebagai angkutanya dari Melai-Pontianak dan sebaliknya. Awalnya tempat duduk yang ditawarkan adalah kursi nomor 3, tetapi saya memilih di tengah-tengah. Jadi lah saya dan emak mendapat kursi nomor 5. 

Paginya, sekitar pukul 08.15 saya datang ke Pangkalan Damri Pontianak di Jalan Pahlawan dan membayar tiket yang dipesan. Niat hati akan menggunakan Damri Ekskusif sayangnya Damri pelayanan lebih baik itu sudah habis. Saya tahu ada biasa dan eksklusif dari teman yang di Melawi itu saat saya mengantarnya ke Pangkalan. Kali pertama melihat tiket Damri dan tahu bahwa ada Chek In juga sewaktu mengantarnya. Harga tiket Damri Ekslusif ke Melawi Rp175.00.

Pukul 19.40 saya dan emak sampai di Pangkalan. Damri bejejer di sana. Sudah banyak penumpang yang berkumpul di tepi jalan. Saya yang merasa sudah sangat terlambat sendirian menerobos di antara orang-orang tersebut. Mak masih bersama Bibi dan anaknya di seberang. Kami diantar menggunakan mobil, tetapi karena putaran dari Kapuas Palace tidak bisa saya meminta Abang untuk berhenti di seberang pangkalan saja. Lagi pula, tak ada ruang untuk parkir mobil. Damri sudah berbaris rapi di sana. 

Saya juga tidak tahu pada petugas yang mana untuk mengecek tiket, tapi melihat orang yang bekerumunan sambil memegang tiket saya jadi nimbrung. Memerhatikan keadaan, lalu paham bahwa di meja panjang yang ada dua petugas mengenakan batik bewarna jingga adalah tempat mengecek tiket. Akhirnya tiket  dari tangan saya yang sejak awal saya letakkan di meja diambil oleh petugas. Tiket itu disusun di urutan paling terakhir setelah tiket yang sudah-sudah. Petugas, meski banyak orang-orang yang mengerumuninya, tetap jeli tiket mana yang lebih dulu diambil agar pengecekan memang sesuai urutanya. Saat tiket yang disusun,  kacau sedikit siapa pun di antara mereka akan sigap mengembalikan susunan semula. 

Cek tiket itu rupanya menyesuaikan tiket yang dibeli dan Bis Damri plat berapa yang akan dinaiki penumpang. Pantas saja, tiket saya yang saya pegang tidak ada nomor platnya di kolom KB. Setelah cek, baru lah nomor itu ditulis. Saya menaiki Damri dengan nomor plat KB 7554S. Damri bewarna putih biru. Teman yang di Melawi pernah bilang dengan saya, bahwa Damri Eksklusif yang dinaikinya bewarna merah. Ternyata ada banyak warna Damri. Saat di perjalanan, kakak di Sintang juga bertanya tentang Damri warna apa yang saya tumpangi, dia bilang dia biasanya menaiki Damri bewarna Biru dan Pink.
 
Barang-barang pun di simpan di Bagasi yang berada di sebelah kiri Bis. Bagasinya berbentuk memanjang. Ada tiga pintu, bersekat tetapi satu bagasi. Pintunya dibuka mengarah ke atas. Barang-barang yang kami bawa berada paling ujung, sebelah kanan. Tiga barang tersebut diikat menggunakan tali ID Card atas nama: Ninda. Satu tas bewarna Pink ukuran sedang dengan merk Tupperware, Kotak putih kecil berisi Blender, dan tas Hijau besar yang di dalamnya berisi patahan tanaman puring, bibit mangga, dan tanaman pajangan hidup seperti bambu, dan satunya adalah panci kecil untuk Kakak dari kakak pertama. Ransel milik saya yang berisi laptop dan baju di bawa masuk ke dalam Bis. Mak juga tas cokelatnya yang berisi kue roti sagu dan roti kap yang dibuat dari Mempawah ke dalam dan satu kantong putih besar dari Adik Mak, yang berisi satu cetak kue Karamel berbentuk bulat dan ayam semur. 

Kursi nomor 5a dan 5b berada di tengah-tengah sebelah kiri, pas sekali dengan bagasi. Jadi Mak suka mengintip ke bawah melihat orang-orang memasukan barang-barang. Sewaktu perjalanan, Mak malah jadi khawatir barang-barangnya terbawa orang lain, -,-. 

Pilihan saya pada kursi nomor 5 ternyata tidak lah mujur. Kursi itu sudah tersandar ke belakang, saat diatur kursi tetap saja pada posisinya. Saya kira, saya yang terlalu “Sepok” tak tahu mengatur sandaran kursi, tetapi saat saya mencoba untuk bertanya pada penumpang di samping, cara yang saya coba benar adanya. Pak Supir pun lewat, saya bertanya pada beliau, rupanya kursi itu memang lah rusak.

“Jadi bagaimana Pak?”
“Kalau dibetulkan, ya lama” begitu katanya dengan wajah yang datar saja.
“Pak, kami nanti turun di Klinik Asyifa”
“Ya”
“Ada kosong Pak?” Kata Mak menyambung pembicaraan.
“Penuh”, lalu Pak Supir melanjutkan perjalananya di koridor bis. Mengecek apalah.

Pak supir mengingatkan saya pada seorang artis senior tetapi saya tak tahu namanya, tetapi saya masih punya orang lain yang agak mirip dengan Pak Supir. Lebih ke mata mereka. Paman saya. Saya bilang pada emak, “Pak Supir mirip Pak Asan”. Mak tertawa.

Mak dan saya merasa tak nyaman dengan posisi kursi yang seperti itu. Bagaimana akan tidur nantinya, dalam posisi yang sandaran ke belakang. Saya dapat dilihat pulas oleh orang di belakang sana. Lagi pula, seorang Abang berkacamata di belakang saya tampaknya tak nyaman pula dengan posisi kursi seperti itu. Porsi tempat duduknya menjadi lebih sembit. Apalagi dia membawa novel dengan gambar naga bewarna hijau. Ingatan saya pada novel Armagedon. Saat saya mencoba menyandarkan badan, Abang Berkacamata menguatkan kakinya agar menahan sandaran saya. 

“Maaf Bang”.
“Ditahan”, matanya mengarah pada kakinya yang telah bersilang. 

Melihat dan merasakan Abang Berkacamata menahan kursi tentu saya merasa tidak nyaman. Beban tubuh saya pasti sangat berat, Si Abang pasti keletihan. Saya memilih untuk duduk tegak dan jika menyandar minta sedikit sandaran dari kursi Emak. 

Bis belum berjalan, saya mengobrol dengan emak, lalu Pak Supir lewat lagi. Mak tiba-tiba mengarahkan tangannya ke lengan baju Pak Supir, tapi tidak digubris. Pak Supir lewat lagi, Mak  bertanya lagi.
“Apa ada yang kosong?” 
“Penuh!” apakah nada Pak Supir memang begitu atau Pak Supir memang risau dengan pertanyaan Mak, yang jelas jawabanya mengejutkan saya. Nadanya agak tinggi. Orang di samping saya menoleh. Dua penumpang yang seumuran saya itu tampaknya terkejut dengan sikap Pak Supir.
“Aduh Bapak, biasa aja kelesss” saya bicara sendiri.

Mak tertawa dengan respon Pak Supir, saya juga bilang dengan Mak, tak apa. Kita mesti menghargai dia. Mesti bepikir positif. Tak boleh terbawa emosi. Pak Supir mungkin punya alasan sendiri mengapa dia bersikap seperti itu, lagi pula merasa salah juga jawaban dari pertanyaan sudah dijawab sebelumnya. Lalu saya ingat dengan Pak Kasubag di kantor, “Kita ini di pelayanan, jadi mesti sabar dan tetap memberikan pelayanan yang baik”. Setidaknya dapat memakluminya. 

Damri pun berjalan. Suara “Sssssssssssssssssst” seperti ular kata Mak mengakhiri penungguan kami di Pangkalan. Damri mengarah ke jalan utama Pontianak, Ahmad Yani. Selanjutnya Damri belok ke A.R Saleh atau yang dikenal dengan Jalan BLKI. Lalu mengarah ke Adi Sucipto, dan berhenti di depan SPBU di depan jalan Paris. Kami kira, ada penumpang yang akan naik. Benar atau tidak, Damri berhenti dalam waktu yang lama. Saya dan penumpang nomor 5c dan 5d mengobrol. Saya dulu yang bertanya. Mereka berhenti di mana nantinya. Saya mesti mencari tahu tentang Sintang, biar jadi bekal untuk berhenti nantinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau