Catatan pencarian nama #PART1
Saya berniat menjadikan nama sapaan atau panggilan sebagai
masalah utama dalam tesis saya nantinya. Memang, saya belum pada masa
pengusulan proposal, tapi ini adalah awal dari pemahaman saya pribadi untuk
penyusunan rencana. Saya menjadikan buku garis keturunan Waris Sembilan yang
saya peroleh sebagai bahan utama. Di dalam buku yang ditulis dengan mesin ketik
itu, ditulis sembilan nama anak Opu Daeng H. Brahima yang berasal dari Kerajaan
Luwu, Sulawesi Selatan atau yang dikenal dengan Waris Sembilan.
Sejak dulu, saya mengira bahwa Waris Sembilan adalah
sembilan anak Opu Daeng H. Brahima yang tinggal di kampung kami, Tanjung.
Sembilan anak ini melangsungkan hidup di sana hingga kami-kami yang ada di
kampung Tanjung adalah keturunan dari Waris Sembilan. Rupanya, pemahaman saya
ini salah. Waris Sembilan tak semuanya ada di Kampung Tanjung. Mereka menyebar
di berbagai daerah di Nusantara. Hal ini saya baru tahu setelah saya berkunjung
ke rumah Tok Jai, orang yang dipercaya mempunyai banyak pengetahuan tentang
Kampung Tanjung.
Saya awalnya menunjukan tulisan saya berkenaan dengan Tolak
Bale Kampong Tanjong, dari tulisan yang saya mintai koreksian ini banyak info
yang saya dapati dan pentingnya meluruskan pemahaman saya yang ternyata salah
arah selama ini.
Hingga koreksian selesai, saya pun menyampaikan keinginan
utama saya pada beliau. Pengurus MABM Mempawah ini mengaku tidak terlalu tahu
tentang sapaan untuk para tetua kami dulu. Dia menyarankan saya untuk bertanya
pada paman yang meminjamkan saya buku keturunan itu. Menurutnya, paman lebih
tahu karena dia sering mendengar cerita tentang keturunan. Mak yang menemani
saya bertemu dengan Tok Jai juga mengiyakan bahwa dulu datok senang sekali
becerita tentang keturunan. Saking seringny, mak melarang Datok yang
dipanggilnya Uwak untuk tidak lagi becerita tentang keturuna. “Apalah bahas
orang-orang dulu”.
Dari cerita Tok Jai dan Mak saya pun baru tahu, bahwa
tetua-tetua kami dulu menidurkan anaknya tidak hanya dengan legenda tetapi juga
cerita tentang keturunan. Mereka menyebutkan nama-nama tetua kampung dan
keturunan-keturunan beserta nama sapaan mereka.
Saya takjub sekali dengan cara yang mereka lakukan.
Memperkuat persaudaraan para tetua menanamkan rasa kebersamaan itu dengan cara
sederhana, yakni menjadikanya cerita penghantar tidur. Mengetahui saya sangat
berniat untuk mengetahui garis keturunan dan nama panggilan, Mak dan Tok Jai
sepakat bahwa cerita tersebut adalah penting. Mak yang dulunya merasa “untok
ape lah diingat-ingat” kini mengaku menyesal dulu melarang Datok untuk tak
terus-terusan becerita. Mak baru tahu, cerita itu bisa dijadikan bahan tulisan.
Saya berencana, jika punya anak nanti, akan saya ceritakan
tentang garis keturunan saya.
Komentar