Judul ini sebenarnya berasal dari judul buku yang ditulis Dewi Anggraeni yakni Mereka Bilang Aku China: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa. Saya memang belum membaca buku ini meski masa peminjaman sudah lama.
Berawal dari pinjaman yang mungkin telah lewat satu bulan, di ruang Malay Corner saya membaca judul buku ini dengan keras, "Mereka Bilang Aku China", kemudian saya melanjutkan pembicaraan sendiri saya "Kalau Ninda, mereka bilang aku Madura".
Mendengar percakapan saya itu, pemilik buku langsung menyambut, memberi saran "Kalau begitu tulis, Mereka Bilang Aku Madura", mendengarnya ide itu pun saya amini. Saya akan menulis tentang "Mereka Bilang Aku Madura".
Ini lah keadaanya, saya memang memiliki kulit yang hitam boleh dibilang hitam legam, kusam. Mata saya sembab, mata yang agak besar. Kehitaman yang paling parah tentu saja di wajah. Kulit yang setiap hari dilihat oleh matahari. Sebagai pengena jilbab yang tentu saja menutup aurat maka yang dilihat kali pertama oleh kebanyakan orang adalah: Wajah. Wajah saya yang hitam, legam, dan kusam.
Kenyataan itu pula yang saya fikir dapat membuat orang dengan singkat berpendapat: Madura.
Saya juga tidak terlalu mengerti mengapa keadaan kulit saya ini dapat diartikan dengan orang Madura. Saya banyak mengenal banyak orang Madura dan kebanyakan dari mereka berkulit putih. Saya juga banyak mengenal orang yang berkulit hitam, tak semua orang itu adalah orang Madura.
Mungkin, jika saya berada di luar Kalimantan Barat tidak akan terlalu dijadikan perhatian saya berkulit apa dan saya orang apa. Mungkin dan ini mungkin masa silam di akhir tahun 90-an lalu menjadikanya sejarah penting tentang orang Madura. Di lingkungan saya sendiri, anggapan tentang orang Madura yang memiliki sikap egois masih hinggap di pikiran banyak orang. Saya juga tidak terlalu mengerti dengan padangan orang-orang saya kenal pada orang Madura. Pendengaran saya sesekali masih menangkap tentang penilaian negatif tentang orang Madura.
Entah sudah kali keberapa saya ditanya "Kamu Madura ka?". Dan, hari ini pertanyaan itu ditanyakan lagi pada saya dan dengan suara yang pelan dan agak hati-hati. Saya hanya menjawab apa yang saya tahu, "Bapak Bugis, Mak Melayu", penanya merasa tidak mungkin, dia bilang mana ada wajah Bugis seperti saya ini. Pernyataan itu mengarah pada wajah dan itu lah kenyataan orang menilai dengan apa yang dilihatnya saja.
Tentu saja saya tak mungkin mengajukan tes Madura atau Bukan pada penanya tadi. Apa pun penjelasanya orang telah mempunyai pendapat sendiri. Pengalaman saya tentang menandai orang Madura atau Bukan di Pontianak selain kulit hitam ini di antaranya adalah aksen bicara, tinggal di Siantan, mengenakan pakaian yang berwarna cerah, biasanya dari motor yang dipakai, Satria F. Dan, apa yang jadi pendapat saya ini juga tak sepenuhnya benar, ini berdasarkan anggapan bukan?
Apabila dikaitkan dengan bahasa atau logat bicara saya, saya merasa aksen Madura tidak ada pada saya. Namun, jika saya terlahir di lingkungan Madura misalnya dan saya memang bukan Madura apa itu dapat diartikan bahwa saya orang Madura. Saya yang orang Melayu jika saya dapat berbahasa Dayak apa itu juga dapat dikatakan orang Dayak.
Jika dari kulit, aksen bicara dan bahasa yang lebih mudah untuk dikenal sebagai orang Madura atau bukan tidak pula dapat dijadikan patokan bahwa orang tersebut adalah orang Madura. Beberapa teman saya adalah orang Madura yang tidak kelihatan Maduranya, ada juga orang berkulit putih wajah seperti orang China tapi beliau pernah tinggal di lingkungan Madura, dia dapat berbahasa Madura.
Jika pun sifat yang dijadikan masalah itu juga tak dapat dijadikan patokan bahwa semua orang Madura begitu. Beberapa teman Madura saya adalah orang yang penyabar bahkan orang Madura lebih faham ilmu agama Islam, lebih taat. Orang Madura juga banyak yang berprestasi, di lingkungan kampus pejabatnya ada orang Madura. Orang Madura pandai berbisnis, mereka pekerja keras, orang Madura tidak gengsian. Itu yang saya tahu tentang orang Madura.
Apabila ada yang beranggapan bahwa saya adalah Madura dan agak "memperhatikan" kemaduraan saya itu, tidak akan menjadi perhatian saya pula. Pergaulan saya dengan berbagai etnis dan infromasi mengenai keragaman etnis serta lintas agama yang saya peroleh meski masih dangkal membuat saya tak terlalu hirau. Apabila menilai orang, etnis, atau agama baiknya dilihat dari individunya saja tak perlu mengatasnamakan, sebab tak semua orang, etnis, atau pemeluk agama sama dengan yang lainya.
Lagi pula saya pernah mendengar bahwa setiap orang bebas memilih sebagai apa, beridentitas apa. Orang lain juga boleh memberi nama atau pandangan terhadap orang diberi nama dan diberi pandangan.
Komentar