Tidak semua pengalaman di sana dapat saya ceritakan. Di kondisi saya yang masih balita saat itu, hanya "kepingan" ingatan yang dapat saya sampaikan di cerita 4 Tahun di Mengkacak.
Di saya, saya tinggal di rumah yang berdinding papan. Saya tidak tahu berapa meter luar rumah itu. Pastinya, kami mempunyai satu ruangan ruang tamu, ruang tengah sekaligus menjadi kamar, dan ruang makan sekaligus tempat memasak. Satu ruangan lagi, khusus untuk menyimpan padi.
Kami tidak punya teras. Rumah kami jika musim hujan, akan di kelilingi air. Biasanya dari jendela "kamar" saya akan memancing dan mendapatkan ikan osong. Osong adalah sebutan lain untuk ikan betok. Di Mengkacak dan di Tanjung, menggunakan kata tersebut. Di Mempawah kota, menyebutnya Betok, di Ketapang, ikan ini disebut Kepuyuh.
Rumah kami ini, biasa disebut dengan Pondok Ladang. Bentuknya yang memang tidak besar jika dilihat dari kejauhan tampak seperti pondok. Rumah berdinding papan dna beratap daun nipah. Rumah kami ini di kelilingi lahan untuk menanam padi. Rumah kami berada + dari jalan utama di Mengkacak. Dari jalan sana, orang-orang yang akan ke rumah kami akan melewati kuburan. Kuburan pertama, adalah kuburan yang berada di sisi kiri yang memang lahan pemakaman umum. Kira-kira 50 Meter dari jalan, sebelah kanan ada dua kuburan yang tak bernama. Kuburan itu, dari cerita yang saya peroleh adalah kuburan Lanon atau Bajak Laut.
Di jalan ini, ada bebebrapa pohon kelapa dan pohon mangga. Ada satu pohon mangga yang jika berbuah, buahnya besaar sekali. Mungkin dapat mencapai 1.5 Kg. Sayangnya, mangga itu rasanya masam dan selalu busuk. Di tengah-tengah, bagaikan gerbang memasuki halaman rumah ada pohon jambu air. Di bawah pohon itu, tumbuh keladi. Jika digali, Umbinya besar sekali.
Memasuki "halaman" rumah, akan terlihat rangke bangunan rumah tua milik tetangga. Saya dulu biasa bermain di situ, dan memanjat-manjatnya sambi mencari tanaman-tanaman untuk bermain rumah-rumahan, masak-masakan. Di sisi kanan ini, semacam hutan tetapi dapat ditanamkan padi. Di sana ada pohon yang daunya biasa digunakan untuk membungkus tempe. Bunganya bewarba kuning seperti kuningnya bunga Allamanda bentuknya seperti kembang sepatu. Buahnya biasa digunakan untuk obat diabetes karena rasanya yang pahit. Pohon Sempur, jika tidak salah namanya. Di situ lah, burung keroak membuat sarang. Di dekat tangga rumah. Di depan sebelah kiri sedikit,ada pohon cermai yang sangat rendah. Batangnya seakan jatuh ke bawah. Saya suka memanjat pohon itu atau lebih benarnya menaikinya, karena pohon cermai layaknya merunduk.
Di dalam rumah kami, ada meja panjang bewarna putih. Di situ lah tempat saya bermain, dan kadang tempat saya duduk dan disisirkan bapak. Di situ, ada jendela, jendela yang menghadap pohon jambu air dan keladi. Rumah kami tidak ada aliran listrik. Makanya, kami mengggunakan pelita. Pelita dari botol kaca. Bapak punya pula Serongkeng, yang dihidupkan untuk menerangi ruang makan yang sekaligus dapur. Hal yang tidak terlalu diingat, rumah kami punya kursi atau tidak.
Kami tidak punya kamar. Kami tidur dengan membentang kasur yang ketika pagi, kasur itu digulung. Kami menggunakan kelambu berbahan kain, waranya kelabu, dan diikat dengan tali rapiah dan atau tali kain dari kelambuh. Saya mempunyai satu guling "busuk" bewarna kuning. Guling bayi itu kadang saya gunakan sebagai bayi-bayi-an. Lalu saya asik bermain dengan si bayi guling. Ruang tamu dan kamar tidur berada di satu sisi. Rumah kami berbentuk seperti L. Di depan kamar itu ada pintu yang tidak berpintu memasuki ruang makan. Di situ ada meja, tempat menyimpan lauk pauk dan kopi-gula. Kami biasanya makan di lantai atau bersaji. Di ruang ini pula, dua sepeda disimpan. Sepeda Bapak dan Emak, Emak dan Bapak menyebutnya: Lereng. Di ruangan itu pula, tempat Emak dan Bapak membuat atap dari daun nipah. Tempat Emak membuat roti saguk dan roti kap, tempat bapak membuat Bubu dan membetulkan Jala. Dan, tempat saya menemukan segelas kopi bapak, dan meminumnya hingga setengah.
Penciringan, atau tempat mencuci piring adalah bagian rumah terakhir yang berada di ujung rumah. Ember-ember berjejer di sana. Kami mengambil air di belakang rumah yang meskipun tidak terlalu tepat dengan belakang rumah. Perigi, begitu orang menyebut kolam yang besar, dalam, dan tanpa semen. Di kolam itu lah nyawa saya sempat diadu. Tenggelam di usia 1,5 tahun. Kami tidak punya WC atau toilet. Di sisi kirinya terdapat Tungkuk. Tempat kami memasak menggunakan kayu bakar atau daun mayang dan daun kelapa kering. Kami menggunakan Jamban. Jaraknya sekitar 30 meter dari rumah. Di belakang rumah, berada di antara keladi-keladi yang tentu saja tak dikonsumsi.
Di samping, di bagian belakang rumah. Kami mempunyai kandang bebek. Setiap pagi seru rasanya memungut telur-telur bebek. Maka, jika hari ini saya tidak diberi telur bebek rasanya tidak terlalu menyesal, alhamdulillah semaa kecil telah puasa menyantap telur bebek. Enaknya dimakan dengan nasi yang baru saja dijerang, beras ladang, digoreng dengan minyak kelapa, dan ditaburi kecap asin cap matahari. MANTAP!
Komentar