Dulu, saya dan Abang sepupu bernama Ari suka sekali bermain
meriam bulo. Bulo adalah bambu atau buluh
dalam bahasa Melayu di Mempawah, khususnya di Kampung Tanjung. Jika
menjelang bulan puasa, kami akan sibuk mencari bulo di kebun belakang rumah.
Bang Ari lebih tahu bagaimana mencari batang bulo yang pas untuk dibuat meriam.
Jadi yang memilih batang bulo, saya serahkan padanya. Saya hanya membantu untuk
membawa gergaji, bantu memikul, dan bantu melihat dia membuat meriam bulo.
Ukuran Bulo yang biasa dipakai untuk membuat meriam lebarnya
kira-kira 10-11 Cm. Panjangnya sejumlah 4 ruas bulo. Empat ruas ini dilubangi
kecuali ruas terakhir sebagai bagian bawah meriam. Dulu kami menggunakan besi
panjang semacam linggis untuk menebok
ruas. Menebok ruas meriam mesti
hati-hati, tak teliti bisa jadi sisi meriam yang tebok. Apalah arti kalau
sudah bocor, selain kami mesti mencari bulo lagi.
Meriam bulo menggunakan minyak tanah. Biasanya kami berdua
patungan membeli minyak di toko. Belinya sebotol kecap yang tinggi. Jika tidak
salah satu botol itu Rp 1.200 tapi kami lebih sering mengambil minyak tanah
milik emak Bang Ari di dapur rumah kami. Minyak tanah itu dimasukan ke dalam
meriam melalui lubang kecil yang sengaja dibuat. Lubang berada di ruas paling
ujung bawah. Dari ruas terakhir yang tidak ditebok.
Minyak tanah yang dimasukan tidak sampai satu botol, setengah pun sudah lumayan
banyak. Saking merasa banyaknya, kami gunakan juga untuk bermain sembur api.
Seperti pemain sirkus, kami menyemburkan minyak tanah yang sudah di dalam mulut
ke obor yang dibuat. Jika sudah main sembur api, mulut terasa pedar karena minyak tanah memang tidak
enak rasanya. Kalau ketahuan orang rumah, kenak
leteran sikit lah.
Jika main meriam, posisi meriam perlu diatur lebih dulu.
Meriam diletakan di tanah dan di bagian ujung atasnya diberi penahan agar
tinggi. Jika tidak begitu, minyak tanahnya tumpah. Kami biasanya bermain di
halaman rumah. Dulu di kampung kami, setiap rumah punya pagar tanaman atau yang
disebut puring. Di tahun 1990-an, kampung kami dikenal dengan Tanjung Puring. Di
balik puring itu kami duduk berdua bermain meriam. Ujung meriam berada di dalam
pagar puring. Jika orang yang lewat di depan rumah, tidak memerhatikan
keberadaan kami, maka mereka tidak juga tahu ada meriam di balik pagar. Jika
sudah ada akal nakal, kadang kami memang menunggu pejalan kaki yang pulang dari
taraweh. Saat pas berada di depan meriam, duaaaaar!
Sebelum meriam bisa berbunyi, meriam lebih dulu dipanaskan.
Menggunakan ranting puring atau tanaman pagar sebagai pemantiknya. Celubkan ranting
ke minyak tanah, cucolkan api, lalu
arahkan api ke lubang, tiup. Api yang masuk ke meriam ditiup cepat-cepat,
berulang-ulang, hingga meriam panas dan bisa bersuara. Saat meniup api di
lubang meriam itu, saking serunya, lupa dengan tangan memegang ranting yang
menyala api, lupa kalau alis, bulu mata, atau rambut bisa tebakar. Kadang kami
akan sadar jika sudah ada bau rambut tebakar, yang lebih sering tebakar adalah
bulu mata. Saat memerhatikan wajah pemain meriam, kami akan terbahak. Keriting
sudah bulu mata.
Kami biasa bertempur dengan teman di seberang rumah. Membuat
suara meriam bulo kami saling bersahut-sahutan. Kami juga mesti rela mendapat omelan tetangga
karena tidak mengingat jam bermain. Pernah kami tidak berani bermain meriam
atau mercon karena tetangga kami punya anak bayi. Berani main, berani kenak leter.
Saat saya ceritakan dengan teman kampus mengenai meriam
Bulo. Teman dari Singkawang bilang di sana meriam bulo disebut dengan Legum. Teman dari Bloyang,
Melawi mengiyakan bahwa di tempatnya juga ada permainan serupa. Meriam bulo di Bloyang
disebut dengan Mercon Bumbung.
Komentar