“Kalau
libur, kusuroh kau jualan” Mak tersenyum sembari berjalan di dapur.
Saya
tertawa mendengar kalimatnya itu dan
tetap memerhatikan bingke yang belum
masak. Puasa hari pertama, kami membuat kue bingke.
Bingka sebagian orang menyebut kue yang berpola seperti bunga itu dan sebagian
besar orang Melayu di Kalbar yang saya kenal, menyebutnya bingke.
Bingke adalah satu di antara kue yang
dijual oleh keluarga saya. Mak dan bibi yang dipanggil Mak Na bisa dikatakan
sebagai Juragan Bingke. Tapi, sebelumnya yang lihai membuat bingke adalah
Nenek. Apalagi jika nenek membuat bingke telok, uh lembut terasa di lidah,
manis dengan perpaduan telur dan aroma panggangan. Selain bingke telok, nenek juga pandai membuat bingke ubi. Bingke telok
warnanya kuning dengan sisi kecokelatan di bagian pinggirnya. Bingke ubi warnanya jingga karena ubi sebagai
bahan utama adalah ubi jalar yang berwarna jingga. Bingke yang dibuat untuk
jualan adalah bingke beras, warnanya cokelat tua, dan bagian pinggirnya bewarna
hitam, bisa kehangusan apabila tidak telaten memanggang.
Saat
ini yang masih membuat Bingke adalah Mak, sedangkan Mak Na sudah lama tidak
“beroperasi” sejak pindah di kampung sebelah. Bingke buatan orang rumah berbeda
dengan bingke yang dijual di pasaran. Pembedanya dari segi pemanggangan. Bingke
buatan orang rumah dipanggang dengan bara sabut kelapa. Hal ini akan menjadi
identitas tersendiri di rumah jika sudah bulan puasa. Orang kampung bisa
menerka “Mak Tas mbuat bingke” karena melihat asap yang mengepul dari atap
rumah.
Jika
sudah mbuat bingke, menunggu adalah bagian yang paling seru. Saat proses
memangang, mata harus rela menahan pedih karena asap, belum lagi bau badan pun
jadi berubah bau asap. Sebenarnya tidak harus menunggu selama-lamannya di depan
panggangan tetapi karena lebih khawatir bingke hangus mengharuskan banyaknya
kunjungan. Maklum, panasnya bara di atas seng sebagai alas bara susah ditebak,
apalagi jika sabut kelapa yang dibakar bagus keringnya.
Sejak
kecil, mungkin kelas II SD saya sudah berjualan bingke. Jangan ditanya sejak
kapan orang rumah berjualan kue bingke. Pastinya sejak saya belum lahir, usaha
rumahan ini sudah dilakukan. Keyakinan ini dikarenakan orang rumah pernah bererita,
sewaktu Mak mengandung anaknya yang bernama Farninda Aditya, Mak mengidam kue
bingke, bingke angus. Dan, hal itu pula yang kadang mengharuskan saya bepikir,
angus adalah sebab kenapa kulit saya “hitam”.
Sejarah
berjualan itulah yang membuat Mak menyampaikan keinginannya. Saya rasa, jika
saya ada libur dan berkesempatan menyelesaikan puasa di kampung, tentu saya mau
berjualan. Ada sensasi yang luar biasa jika barang jajakan laku dan ada rada
sedih jika ada yang bilang “Ndak, nanti jak ye”. Rindu juga dengan suasana itu.
Puasa
kali ini, hari pertama saya dan Mak hanya berdua saja. Kami sepakat membuat
bingke, emak sudah menyiapkan bahannya. Dua canting beras yang telah direndam,
sudah dimesin dan telah menjadi
sekantong kecil tepung. Dua kelapa parut juga sudah siap dipera menjadi santan.
Dan, saya pun siap mengambil alih membuat adonan.
Mak
bilang, “Sukat lok beras tu, duak canting beras jadi berape mangkok” saya pun
mengukur tepung beras menggunakan mangkuk seukuran untuk makan bakso. Sejak
dulu cara mengukur Mak tetap begini, pakai mangkok. Tepung beras lebih dari dua
mangkuk, emak bilang satu setengah saja karena yang bersantap di rumah hanya
kami berdua.
Satu
setengah tepung itu dicampur dengan dua telur ayam. Emak bilang, pakai telur
ayam kampung, lebih enak. Mak yang juga ada memelihara ayam kampung, langsung
mengambilnya di kulkas. Setelah tepung becampur dengan telur, air gula kelapa
atau yang biasa disebut gula merah dimasukan ke dalam adonan tepung dan telur
tadi. Gula kelapa baiknya dimasak lagi dengan memberi air sekiranya satu gelas
saja. Gula kelapa yang dimasak akan menghasilkan warna yang lebih pekat, dan
aroma yang lebih memikat.
Setelah
adonan menyatu, selanjutnya masukan santan. Agar adonan tidak terlalu mencair
dan lebih cepat matang, adonan dimasak lagi. Tetapi tidak perlu lama, cukup
untuk mengentalkanya saja. Jika begini, waktu untuk memasak bingke lebih cepat,
sekiranya hanya 10 menit saja. Alhamdulillah, bingke yang dibuat mencapai 5
cetak. Bingke pun dapat dibagikan dengan tetangga. Bingke beras bisa dikatakan
bingke yang susah dicari, apalagi dengan proses pemanggangan bara api. Tetapi
jika mencari bingke telok, dimana-mana pun ada, terutama bulan Ramadan. Bingke
telok biasa mencapai Rp. 10.000 –Rp15.000, Sedangkan bingke beras yang Mak jual
seharga Rp 6.000. Hal tersebut tentu
saja bahan utama yang menjadi pembeda.
Saat
ini rasa bingke juga bervariasi, ada yang diisi dengan kelapa muda malah bingke
yang identik dengan rasa manis sekarang sudah ada bingke asin. Bingke asin dicampur dengan
daging, makannya pun berteman dengan saos. Kalau
bingke macam tu, mane kamek bise mbuat e. Pasti e mbuat bingke ngan Mak sore tu, seru….!
Komentar