Payau. Air mandi terasa aneh di akhir bulan Juli ini. Hujan yang tak kunjung datang membuat sumur di rumah bertahan dengan kepayauanya.
Aiaa, rasanya kalimat di atas terlalu dramatis dan mengarah romantis, tapi sayang agak miris.
Yay, lebaran kali ini saya mesti mengangkut air dari kolam di dekat rumah. Air di dalam sum.ur kami sudah agak menyedihkan. Pilihanya kita mesti mengangkut air, padahal jika dari sumur, tinggal klik saklar, air pun mengalir.
Biasanya pula, dulu di tahun 90-an jika kemarau begini air di sumur tak pernah payau. Malah, jika sumur-sumur dan kolam tetangga sudah mulau kering, sumur di rumah lah yang menjadi sumber beberapa tetangga. Air rumah masih penuh, jernih, dan tentu saja tidak payau.
Sekarang, warna air tidak sejernih dulu, semakin siang, payaunya semakin terasa. Tetangga-tetangga pun beralih tempat mencari sumber air yang masih tawar dan tak banyak yang menginsumsinya. Bahkan, lebih parahnya lagi, pilihan terakhir adalah membelli air.
Sudah tiga kali saya melihat mobil PDAM datang ke kampung kami mengantarkan air. Aneh rasanya melihat mobil tangki biru itu datang. Di sini, salurah ledeng saja tak sampai. Kami memang mengandalkan air sumur untuk urusna cuci mencuci, dan mandi. Minum, kami mengandalka air hujan dan air galon. Info dari tetangga air yang dibeli seharga Rp 100.000 untuk 1000 liter. Gegara kemarau, PDAM masuk Tanjung.
Komentar