Saya bertemu dengan Dedek. Secara tidak disengaja, kami
bertemu di Perpusatkaan Provinsi di Kalimatan Barat. Sekitar jam 10-an. Dia
duduk sendiri di kursi menunggu sebelah kiri, di dekat pintu masuk. Dia
mengenakan baju kaos berkerah bewarna jingga. Mengenakan celana panjang jika
tidak salah bewarna cokelat dan mengenakan sepatu kets hitam bervariasi putih.
Tidak pakai kaos kaki.
Dedek tidak sekolah hari ini? itulah pertanyaan saya dalam
hati. Saat memerhatikanya saat sambil jalan menuju tempat koran, saya
menegurnya tepat dia melihat saya melintas. Tas ranselnya masih bergantung di
belakang. Dedek menimbang-nimbang gadgetnya, Tab dengan merk Advan.
Saya mengambil koran Borneo Tribune, lalu membuka-bukanya sekilas
untk menuju halaman yang kemungkinan besar ada tulisan saya di situ. Ternyata,
koran 13 Mei menerbitkan tulisan Dhila berjudul Kuliah tanpa Dosen dan Fitri
Sari berjudul Senyuman. Saya membawa koran itu duduk bersama Dedek.
Dedek menyalami saya. Dedek tetap seperti Dedek yang dulu.
Sopan,bersahabat, dan selalu berbicara dengan nada lembut.
“Dedek mau ke Bogor besok Bu’. Dedek menang lomba Esai.
Dedek mewakili Kalbar”.
Berita itu tentu membuat saya tidak berniat untuk naik ke
lantai II perpustakaan, untuk membaca novel-novel sebagai bacaan refresing.
Tidak pula, ke lantai I sebelah kiri untuk mencari buku berhubungan dengan
Kepemimpinan Rasulullah Saw sebagai referensi makalah yang akan saya buat.
Berita Dedek sangat menggembirakan. Membuat bangga. Dedek
sudah melampaui tingkat nasional. Dia bilang, essai yang dibuatnya itu
berkenaan dengan demokrasi, ah! Saya lupa penyelenggaranya. Dedek juga cerita
dalam menulis essai itu dia membutuhkan waktu 1 jam. Dia tidak menyangka dia
berhasil hingga nasional. Dia menulis tentang
hukum tradisional adat Dayak di Ambawang dan membandingkanya dengan
hukum saat ini. Menurutnya saat dulu hukum adat diterapkan, korupsi tidak
terjadi, namun yang terjadi saat ini korupsi, ah begitulah. Itulah simpulan
yang saya peroleh dari essai yang ditulis Dedek.
Saya katakan pada Dedek, mungkin tulisanya terpilih karena
ada unsur lokal. Saat ini tulisan-tulisan berhubungan dengan lokal menjadi
informasi yang sangat penting. Saya menyontohkan beberapa pencari buku yang
saya temui, mereka mencari tulisan berhubungan dengan Kalimantan Barat, dan
tulisan itu ditulis oleh orang Kalimantan Barat sendiri. Dan hal tersebut juga pernah
disampaikan oleh Pak Yus, bahwa sebagai orang Lokal kita perlu menulis tentang
diri kita dengan cara pandang kita, bukan orang lain.
Saya merasa senang sekali dapat bertemu dengan Dedek. Saya
merasa tervirusi semangatnya juga. Dia bilang, dia pernah dijuluuki Nasional
oleh teman-teman sekolahnya karena dirinya ingin menjadi juara tingkat Nasional.
“Sekarang terbukti kan? Apa kata mereka?” tanya saya
“Mereka ucapkan selamat. Selamat ya, Dek”.
Dia adalah siswa kelas IX saat saya PPL di sekolahnya, SMP
Negeri 8 Pontianak. Saat itu saya mengenal Dedek sebagai pelukis. Karyanya
dipajang di dinding sekolah, saya yakin siapa pun yang melihatnya akan takjub
dengan karya Dedek ini. Dan, tentu saja apresiasi yang diberikan di sekolah
kepadanya.
Saya selalu menyukai acara tambahan saat upacara bendera
hari Senin. Acara yang membuat saya sangat kagum dengan sekolah tempat saya
praktek mengajar selama lebih kurang 4 bulan itu. Acara menyampaikan prestasi
siswa. Siswa yang mengikuti lomba, apa
pun. Sendiri, atau beregu. Prestasi juara I, II, III harapan, apa pun
prestasinya disampaikan saat upacara. Ketika semua warga sekolah berkumpul, di
saat itulah suatu berita yang menggembirakan disampaikan.
Dedek beberapa kali menjadi orang yang mengukir prestasi di
sekolah. ia berhasil meraih juara dalam seni lukisnya. Dan, suatu hari ia
menjuarai lomba poster. Piala yang diraihnya diserahkan secara resmi kepada
pihak sekolah. Kami yang melihat ikut bahagia, ikut merasakan prestasinya,
tentu saja bangga.
Hari ini mesti tidak upacara bendera, saya tetap bangga,
lebih malah.
Selamat
Komentar