Saya pergi ke MAS Al-Adabiy untuk keperluan tugas kuliah.
Saat memasuki halaman gedung sekolah saya mendengar suara riuh dari teras
depan. Riuhnya bukan ribut tak bermakna, malah memimbulkan kekaguman.
Siswa-siswi MS Al-Adaby sedang beryanyi bersama. Mereka
membuat kelompok. Setiap siswa memegang kertas atau buku. Kepala mereka
bergerak, mengarah ke samping kanak lalu ke kiri. Menikmati lagu yang
dibawakan.
Kali pertama berkunjung saya juga mendapatkan pengalaman
serupa. Teman-teman juga bernyanyi, menari dengan menggerakan badan ke kanan
dan ke kiri, menyesuaikan alunan musik. Bedanya waktu itu mereka berdiri, jadi
kakinya juga terlihat bergerak-gerak. Perbedaan yang lain adalah lagu yang dinyanyikan.
Kungjungan pertama, mereka menyanyikan lagu berbahasa Arab.
Kali ini mereka menyanyikan lagu dengan
bahasa Inggris. Mereka bernyanyi bersama, terlihat semuanya bersuara. Menikmati
lagu, kebersamaan, dan tampaknya tidak ada yang sungkan untuk berbahasa
Inggris. Apakah kosakata yang keluar dari mulut mereka, benar atau tidak
lafalnya itu bukan masalah.
Saya dan pengurus TU-nya duduk di dekat pintu kantor. Di
dinding depan kantor, saya membaca tulisan yang isinya menyatakan bahwa ruangan
tersebut adalah Kampong Inggris. Membaca tulisan tersebut saya teringat dengan
Kampung Inggris, yang ada di Pare, Jawa Timur dan Kampung Inggris yang ada di
Singkawang, Kalimantan Barat. Saya pikir ada hubungan dengan kedua Kampung
Inggris tersebut. Penasaran, saya bertanya dengan pengurus TU.
“Kalau adek-adek masuk ke ruangan, harus berbahasa Inggris
be Kak”, begitu katanya.
Saat beliau menjawab pertanyaan, saya baru ngeh dengan tulisan lain yang
menyatakan, jika masuk ke ruangan, hendaknya berbahasa Inggris. Saya pun
menyampaikan kekagumam saya dengan aturan tersebut.
“Biar adek-adek ndak lupa be kak, Kata-kata sehari-hari jak be”. Lanjutnya.
Melihat lingkungan di Al-Adabiy, saya teringat dengan
perkuliahan yang diampuh oleh Dr. Christianto Syam. Kami belajar tentang
pemerolehan bahasa kedua. Bahasa kedua
adalah bahasa yang diperoleh setelah bahasa Ibu atau Bahasa Daerah. Masyarakat
di Kalimantan Barat, umumnya menggunakan bahasa Melayu, dan bahasa Melayu
mirip-mirip dengan Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa kedua, namun, karena
kemiripan tersebut kendala berbahasa
tidak terlalu terasa.
Kami pun membandingkanya dengan bahasa Inggris, Mandarin,
Arab, dan bahasa lain yang dipelajari. Bahasa kedua diperoleh dengan belajar.
Bahasa yang diperoleh di lingkungan formal (konsep belajar) dan dalam keadaan
sadar, memerolehnya dalam keadaan ingin tahu tentang suatu bahasa.
Proses pemerolehan bahasa ini, sering dirasakan sulit
daripada pemerolehan bahasa pertama. Bahasa pertama diperoleh secara alami
sedangkan bahasa kedua diperoleh dengan usaha-usaha. Dari diskusi kelas, Pak
Chris memberikan tanggapan bahwa bahasa kedua tidak akan sulit jika pemerolehan
dilakukan seperti pemerolehan bahasa pertama.
Berkunjung di MAS Al-Adabiy, saya mendapatkan kondisi usaha pemerolehan bahasa kedua yang
dikondisikan layaknya bahasa pertama. Dan, tampaknya tidak akan menjadi masalah
yang besar untuk siswa-siswi di MAS Al-Adabiy untuk memeroleh bahasa kedua.
Komentar