![]() |
Salah satu contoh, bahwa bahasa dalam pemberitahuan dilarang merokok tidak dimaknai. |
Saya
baru saja mendapatkan mata kuliah Psikolinguistik, cabang ilmu linguistik yang
membicarakan hubungan bahasa dengan akal dan perilaku manusia. Pada pertemuan
pertama ini, saya dan teman-teman belum masuk pada pembahasan Psikolinguistik secara
mendalam. Dosen kami, Drs. Sudarsono,
Ph.D memberikan pengenalan lebih dahulu.
Ada yang unik dalam pengenalan tersebut,
mulanya Beliau menampilkan slide pertama yang di dalamnya bertuliskan
Bahasa Jiwa Bangsa.
Saya
berpikir, apa maksud dari Bahasa Jiwa Bangsa. Saya mencoba menerka,
menghubungkanya dengan pembahasan yang pernah beliau berikan pada kami, di
pertemuan kali pertama, September tahu 2013. Masa itu kami matrikulasi Bahasa
Inggris. Beliau memberi pengetahuan baru pada saya sebagai orang baru belajar
ilmu bahasa. Bahasa tidak sekadar dalam bentuk
tutur, bukan hanya kata-kata yang diungkapkan secara lisan.
Pembahasan
kami waktu itu lebih banyak tentang lampu merah. Lampu merah sebagai bentuk
bahasa. Banyak orang sudah tidak
memaknai lampu merah sebagai bahasa, aturan lalu lintas. Memahami dan memaknai adanya lampu merah,
menunjukkan bagaimana cara kami berpikir, kepribadian kami. Perilaku dan cara berpikir kami adalah jiwa
untuk bangsa. Ah, itu lah yang coba saya maknai dari Bahasa Jiwa Bangsa.
Pada
Matrikulasi, dosen kami ini menampilkan gambar area parkir. Terlihat beberapa
motor di dalam foto tersebut. Kami diminta untuk mengamatinya, mengartikan
maksud dari foto. Namun, tak satu pun dari kami benar. Ada hal yang tidak
dilihat dengan jeli. Ada garis putih di bawah ban motor berupa garis putih.
Garis ini sebagai tanda, pembatas untuk memarkir motor. Satu motor katakanlah
satu kotak.
Dari
gambar tersebut, terlihat ban motor melebihi batas. Orang yang memarkir motor
tidak mengikuti batas garis tersebut. saya pun teringat dengan pemandangan yang
sering dilihat saat berhenti menunggu rambu lalu lintas. Zebra Cross
sering menjadi lokasi pemberhentian
pengendara. Padahal, Polisi, spanduk, bahkan pemberitauan lain sudah memberikan
peringatan, bahwa Zebra Cross diperuntukan pejalan kaki. Ya, tetap saja, tampak tak ada guna kata-kata
peringatan dan garis yang diberi.
Garis,
lampu merah, dan kata peringatan adalah bahasa. Bentuk bahasa. Bentuk bahasa
ini akan bermakna apabila berfungsi sebaliknya tidak akan bermakna, tidak akan
menjadi bahasa apabila tidak dimaknai.
Pada
pertemuan pertama di mata kuliah Psikolinguistik, Bapak kembali membahas
tentang lampu merah. Beliau membawa saya kembali pada pandangan, banyaknya orang
yang tidak menaati peraturan ini. Katanya, orang yang tidak menaati seperti
tidak melihat adanya lampu merah, konsentrasinya bukan pada lampu merah. Fikiran
dan perilaku tidak memaknai dan memfungsikan Lampu merah sebagai bentuk bahasa.
Beliau
menasihati kami, untuk tidak melakukanya sebagai orang yang belajar bahasa.
Sejak pertemuan kali pertama itu, apabila saya melihat lampu merah, saya selalu
teringat dengan beliau. Ternyata, teman-teman di kelas juga sama. Hal ini
mungkin disebut dengan rujukan, beliau menasihati kami dengan memberikan
gambaran, menghubungkan bentuk bahasa dan rujukan yang pernah dialami oleh kami
semua. Jangan menganggap bahasa sebagai angin lalu, tidak dianggap
keberadaanya, katanya. Beliau menyayangkan, jika kami mahasiswa bahasa melakukan
hal tersebut.
Dari
pembahasan ini, saya yakin dimaksud dengan Bahasa sebagai Jiwa Bangsa, adalah
perilaku kami dalam memaknai bahasa-bahasa yang kami temukan. Menunjukkan cara
berpikir kami, menunjukkan bagaimana jiwa kami dalam menanggapi bahasa-bahasa
tersebut.
Komentar