Sang Penutur bahasa Melayu, kampung Tanjong. Mak Tas (Mak saye lah:D) |
Pada tanggal 24 Maret yang lalu, buku berjudul Merantaud di
Khatulistiwa: Pengalaman di Tahun Keempat dibahas pada acara Bahas Buku Club
Menulis STAIN Pontianak. Pembahasnya buku adalah Dedi Ari Asfar, seorang
penulis esai di buku berjudul Membaca Sejarah Melayu.
Ada beberapa catatan penting untuk buku yang diterbitkan di
tahun 2012 ini. Terutama berkenaan dengan bahasa. Menurutn Bang Dedi, yang
menjadi ciri khas dari buku tersebut karena adanya bahasa-bahasa Melayu yang
digunakan dalam teks. Terutama jika ada bercerita tentang Emak.
Tulisan yang mengisahkan pengalaman saya dengan Emak,
rasanya memang sering mengutip kata-katanya. Emak sebagai orang Melayu di Kampong Tanjong, Mempawah sana memang
setia menggunakan bahasa Melayunya. Setidaknya pemerolehan bahasa utama saya
adalah bahasa yang digunakan oleh Emak. Dan, bahasa tersebut adalah bahasa
Melayu yang hingga kini masih digunakan.
Judu tulisan seperti Jadi Mr. Krabs, Lonyek Rap Penulis Nasional
dari Kalimantan Barat, Inspirasi dari Keluarga, Misi Liburan Lebaran, adalah
beberapa judul yang ada di dalam buku Merantau di Khatulistiwa. Setelah saya
perhatikan, memang benar ada kata-kata Melayu dalam teks. Apalagi tulisan berjudul
Membuat Kamus Melayu, di dalamnya terdapat kata dalam bahasa Melayu yang saya
tuliskan diantaranya Bereken, Seketep,
Lihai, Melingau, dan Parak.
Jika dingat-ingat alasan mengapa bahasa Melayu ada di dalam
tulisan tersebut, itu dikarenakan ingin eksis.
Eksis karena masih menggunakan bahasa
Melayu. Merantau dan tidak melupakan bahasa sendiri . Ini juga menjadi alasan
saya menulis tentang Kamseupay. Singkatan dari Kampungan Sekai Udik Payah
tersebut adalah kata yang saat itu sering digunakan sebagian orang, terutama
anak-anak dan remaja. Adanya kata-kata baru yang muncul akan berakibat tidak
dipilihnya lagi bahasa Melayu. Jika pun menggunakan bahasa Melayu, makna kata
bahasa tersebut tersebut tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia.
Bereken menjadi beritong, Seketep menjadi sikit, Lihai menjadi hebat, Melingau
menjadi bingong, Parak menjadi loteng. Pemikiran ini menjadi alasan saya mengapa
bahasa Melayu digunakan dalam teks esai yang saya tulis.
Suatu hari saat saya memberi nasihat pada keponakan di rumah
Engkongnya, saya menggunakan kata tepelongkeng
untuk menyatakan jatuh. Saat nasihat itu disampaikan paman keponakan saya
langsung memberi respon.
“Eh hati-hati, nanti tepelongkeng”.
“Hem, udah lamak ndak dengar kate tepelongkeng”.
Pernyataan Paman saya anggap sebagai bukti bahwa ada kata
dalam bahasa Melayu yang mulai tidak digunakan.
Komentar