Pelaksanaan seminar hasil
penelitian perlindungan ekpresi budaya, pada tanggal 18-19 lalu, memberikan
kesan mendalam. Pertemuan para peneliti menunjukkan berbagai keragaman budaya
yang ada di kalimantan.
Saya pribadi, yang belum pernah menjejakkan
kaki ke seluruh kalimantan merasa bahwa
pengalaman 12 jam di orchad itu sangatlah berharga. Bagaimana tidak, sebelumnya
keragaman budaya yang ada di kalimantan hanya diketahui dalam bacaan atau di
dunia media lainnya. Itu semua, disampaikan secara tidak langsung. Atau, adanya
orang kalimantan timur, orang kalimantan selatan, kalimantan, tengah sebelumnya
mungkin bertemu dari media yang sama. seminar ini, membawa jalur pada pertemuan
yang sebenarnya.
Saya mendapatkan suatu kesan.
“Oh, begini ya logat bicara orang Kalsel”.
“Oh, begitu ya, kehidupan dayak Kalimantan
Tengah”.
“Hum, begitu ya organisasi sosial
di Kalimantan Barat ini”.
Pengetahuan baru itu tidak saya
temukan di bangku kuliah, tidak juga di sekolah. Rasanya keberagaman ini tidak
ada diberikan di masa itu. Tapi, sisi lain dari keragaman di kalimantan
ditemukan dalam seminar Badan Pelestarian Nasional Budaya.
Jika tidak mengikuti seminar ini,
entah dimana lagi saya dapat menyaksikan pemaparan Tajudin Noor Ganie, pembentang
dari Kalimantan Selatan mengenai Upacara Daur Hidup Masyarakat suku Banjar. Dimana
saya bisa mendengar tentang upacara ini yang dijelaskan langsung oleh peneliti
dari sana. Entah kapan pula, saya akan mendengar logat-logat Banjar dari orang Banjar
langsung. Saya juga tidak akan tahu sekarang, tetang Tatakarama Masyarakat
Banjar di Kabupaten Banjar, tidak pula saya menemukan pengetahuan tentang
lapisan sosial orang Banjar. Namun saya
menemukan dan menyaksikannya di barisan ketiga di ruang pertemuan lantai
dua hotel ungu di Gajah Mada, sore itu.
Atau, dimana saya akan mendapatkan
tulisan-tulisan hasil penelitian tentang
Kepemimpinan Tradisional pada Komunitas Dayak Ngaju Kalimantan Tengah oleh
Poltak Johansen bersama tim dan Siste Kepercayaan Tradisional pada Masyarakat
Dayak Lawangan, dari tim Fatul Futuh Tamam. Entah kapan saya akan ke sana untuk
mengetahui hal tersebut, jika pun bisa, adakah kesempatan tersebut.
Tulisan-tulisan penting ini saya dapatkan dalam seminar yang bertema: Modal
Budaya sebagai Pembentuk Karakter dan Ketahan Budaya Bangsa.
Apalagi, saya tidak mungkin
bertemu dengan Dr. Gaudentius Simon Devung dari Universitas Mulawarman, orang
Benuaq di Kalimantan Timur yang sempat memberikan penjelasan mengenai orang Benuaq
dari pembahasan Sistem Pengetahuan Tradisonal Masyarakat Dayak Benuaq Kalimantan
Timur, beliau adalah pembanding laporan dai tim Martinus Nanang mengenai Adat
dan Tradisi Masyarakat Suku Dayak Kayan di Miau Baru Kalimantan Timur: Dinamika
Perubahan Sosial dan Kebudayaan. Saya tidak akan mendengar diskusi-diskusi para
peneliti dari Kalimantan jika tidak berada menghadiri seminar ini.
Bahkan saya juga tidak akan tahu
bagaimana keadaan sosial yang ada di Ketapang dan Singkawang di Kalimantan
Barat. Peran Organisasi Sosial Tionghoa pada Masyarakat Kota Singkawang ini
adakah hasil penelitian dari Samsul Hidayat dan tim. Keadaan tersebut saya
dapatkan di lantai dua orchard, hari itu.
Seminar kajian ini juga menjadi
bukti bahwa keberagaman yang ada di Kalimantan khsusnya sangatlah banyak.
Benar yang dikatakan oleh Dr
Devung. Bahwa budaya kita mestilah diletasarkian agar kita tahu bahwa kita
mempunyai budaya, menjadi penguat agar budaya luar tidak bisa masuk dengan mudah
dan kita mudah dipengaruhi.
Tentu apa yang menjadi kajian
hari itu menjadi penguat dalam mempertahankan kebudayaan yang kita miliki.
Kajian yang saling memberi tahu ini menjadi jalur dalam untuk menginformasikan
apa yang dimiliki oleh setiap daerah.
Komentar