Hari itu, Kamis. 20 Desember 2012,
Paman yang saya panggil Pak Long baru kembali dari Tanjung, kampung kami yang ada di Mempawah.
Rupanya selain membawa mangga yang ditanam di halaman rumah di sana, beliau
juga membawa beberapa butir ketupat lemak. Sebelumnya, ada heran ketika melihat
ketupat itu. Tidak biasanya orang rumah membuat ketupat, ketupat lemak
pula. Ketupat yang dibuat dengan daun
kelapa muda, direbus dengan santan dan diisi dengan pulut. Makanan ini adalah
makanan trasidional yang tidak banyak dibuat orang hanya sekedar untuk makanan
sehari-hari. Makanan ini, adalah makanan yang juga menjadi favorit
orang-orang tua. Ini berarti ada acara
di rumah.
“Ketupat tolak bale”, jelas Pak Long,
ketika saya menanyakan perilah ketupat.
Mendengar itu, barulah saya ingat bahwa
di bulan Syafar ini orang-orang di Kampung melaksanakan Tolak Bale Pokok Bulo,
suatu tradisi warisan yang dilakukan oleh masyarakat dari pendiri kampung kami.
Dikatakan Pokok Bulo karena masa kali pertama dilakukan Tolak Bale berada di
depan rimbunan Pokok Bulo atau bambu. Hingga saat ini, lokasi tersebut masih
menjadi lokasi pelaksanaan tolak bale. Namun, bagi yang tidak tahu sejarah ini atau katakanlah pendatang yang baru melihat
tolak balek dilakukan tentu akan terheran-heran melihat lokasi yang digunakan
sekarang, sebab lokasi ini tepat berada di depan kuburan. Tentu ini menjadi
suatu pertanyaan mengapa orang-orang di kampung Tanjung melakukan tolak bale di
depan kuburan. Apalagi ada yang disebut dengan kuburan kawat, salah satu
kuburan tua. Namun, pelaksanaan tolak bale di lokasi tersebut tidak ada
kaitannya dengan kuburan, melainkan lokasi tersebut adalah lokasi kali pertama
pendiri kampung melakukan tolak bala.
Sejarahnya
pada masa akan mendirikan kampung, pendiri kampung bernama H. Brahima melakukan
tolak bale agar kampung diberi keselamatan, dijauhkan dari marabahaya, tidak
diganggu oleh mahluk-mahluk halus. Dulu, kampung ini
adalah hutan. Daeng H. Brahima, atau yang dikenal dengan H. Tuah bersama
temannya Pak Jamila, membuka lahan yang berada di kepala Tanjung ini yang
kemudian disebut dengan Kampung Tanjung. Mereka adalah
orang-orang Bugis perantauan, kerabat dari Opu Daeng Menambon.
Kedatangan, mereka ialah ingin membuka hidup baru di Kalimantan barat.
Bercocok tanam, dengan berkebun pohon kelapa. Hingga akhirnya, H. Tuah dan Pak Jamila
menemukan daerah Tanjung. Namun, sebelum membuka lahan ini, mereka memutuskan terlebih dahulu mencari
informasi mengenai kondisi daerah. Terutama yang berkaitan dengan maluk halus. Hingga
akhirnya mereka meminta petuah kepada seseorang, mengenai cara yang baik untuk
membuka lahan hutan, menjadi perkampungan.
H. Tuah dan Pak Jamila mendapatkan petuah itu, yakni; Pada hari Kamis,
di awal bulan Syafar, bacalah doa Tolak Bala, tahlil dan doa lainya serta diakhiri dengan
adzan, tolak bala dilakukan tiga kali berturut-turut setiap hari Kamis dan
jangan lupa membawa makanan kecil berupa ketupat dan kue-kue lainnya.
Pada tanggal 04 bulan Syafar, pada tahun 1772, H.Tuah
dan Pak Jamila melaksanakan ritual tolak bale, dilakukan tiga kali
berturut-turut pada hari Kamis di bulan Syafar, 3 minggu sebelum acara
Robo’-robo’. Jadi, hingga saat ini,
Tolak Bale tetap dilakukan di tempat
yang sama. Khususnya keturunan Daeng Haji Brahima dan Pak Jamila.
Jika tiba masa Tolak Bale dilakukan,
orang-orang Kampung akan sibuk membuat kue-kue untuk dibawa, dan dimakan
bersama di Saprahan itu. Orang yang
mengikuti tolak bale hanyalah laki-laki, meski ada juga yang membaw anak-anak
perempuan mereka yang berumur sekitar 4-8 tahun untuk ikut kegiatan ini. Dan,
saya sendiri pada usia itu juga sering mengikuti tolak bale.
Dulu
selain membawa makanan orang juga membawa tikar sebagai alas duduk. Maklum,
saprahan dilakukan ditepi jalan yang berumput. Berbeda sengan sekarang, lokasi
tolak bale tidak lagi berumput. Orang-orang kampung sudah menyemen lahan
tersebut, ini menjadi bukti bahwa masyarakat kampung serius untuk melestarikan
tradisi ini. Tikar yang menjadi alas duduk juga sudah disediakan, tikar masjid
yang sengaja digunakan untuk tolak bale. Walaupun begitu masih ada juga
beberapa orang membawa tikar. Khawatir saprahan akan menjadi sangat panjang,
sebab selain penduduk di Tanjung, orang-orang yang berasal dari Tanjung ada
juga yang menyengajakan diri untuk datang, untuk ikut serta melakukan tolak
bale.
Kegiatan
ini selain melestarikan sejarah dan budaya, berdoa agar dijauhkan dari
marabahaya, wujud cinta pada kampung, juga menjadi penghubung silaturahmi antar
warga. Selain itu, ada pula kegembiraan ketika hidangan akan dimakan. Setiap
orang yang membawa makanan akan sibuk mempersilahkan warga lainnya untuk
mencicipi makanan yang dibawa. Anak-anak
lebih terlihat sukanya ketika mereka berjalan-jalan untuk mencicipi
makanan. Ada kesenangan tersendiri ketika makanan dibawa disantap oleh orang
lain. Dulu ketika saya tidak pergi tolak bale, saya suka menunggu rantang yang dibawa,
kembali. Akan ada kue tukaran di
dalamnya alias kue yang kita bawa ditukar dengan kue lainnya untuk dibawa
pulang.
Komentar