Langsung ke konten utama

Ibuku, laki-laki






Hari ini tanggal 22 Desember. Hari Ibu. Ada tugas dari guru Bahasa Indonesia. Kami diperintahkan untuk membuat surat kasih sayang untuk Ibu. Hampir semua anak di kelas mengeluh. Sebab menulis menjadi sangat sulit untuk mereka. Waktu itu saja saat ada PR membuat tulisan tentang liburan. Anak-anak banyak mengoceh setelah Bu Santi guru kami keluar kelas. Tapi lucunya,  Angga anggota geng ribut di kelas itu tidak hitung-hitung dulu. Hitung-hitung sudah berapa jauh ibu dari kelas kami.
“Angga tugas menulis kamu ibu tambah” Ibu Santi kembali lagi masuk kelas. Dia mendengar ocehan Angga yang malas membuat PR.

“Kamu buat tulisan setiap hari selama liburan dua minggu ini” Bu Santi melihatkan wajah sangarnya. Sedangkan Angga melihatkan muka terkejutnya. Heheh rasain!

“Alamak, sedikitnya”, Angga keberatan dengan tugas itu.

“Tulisan tentang keseharian kamu, minimal dua lembar setiap hari”, Bu Santi semakin melihatkan muka seriusnya. Kemudian keluar kelas.

Guru Bahasa Indonesia kami itu sangat terkenal ramahnya. Jika di luar kelas Ibu juga selalu mengumbar humornya. Tapi jika sedang pelajarannya jangan coba-coba membuat keributan. Bisa jadi ada tugas menulis tentang apa yang diributkan itu. Maka siswa-siswa pun jeraaaa.

Hari ini, ada tugas menulis lagi. Menulis surat untuk Ibu. Tahun lalu, kami hanya dipinta untuk menulis tentang kesukaan  ibu kita masing-masing.  Dan meminta ibu kita membuat poin-poin tentang kesukaan anaknya. Ternyata anak-anak banyak yang tidak tahu apa kesukaan ibunya. Lucu. Lucu karena ibu mereka bisa membuat satu halaman poin kesukaan anaknya. Anaknya malah hanya bisa dua, tiga, empat paling banyak sepuluh. Misalnya Ibu suka ngomel, ibu suka belanja, ibu suka masak, ibu suka nonton sinetron. 

Berbeda dengan tahun lalu, jika tahun lalu kita bisa curang dengan bertanya dengan ibu masing-masing apa kesukaan ibu. Tapi ini tidak bisa. Mana bisa kita membuat surat untuk seseorang, yang orangnya ada di depan kita. Eh, ditanya pula isinya mau apa. Hahahaha!

Menurutku menulis surat untuk Ibu itu tidak sulit. Cuma mencurahkan apa yang ada di dalam pikiran kemudian ditulis. Cuma mikir sedikit apa yang akan kita bicarakan sama Ibu. Cuma ngerutin kening sebentar untuk memilih kata apa yang teoat untuk digunakan sebagai kata pengungkapan. Begitu saja. Tapi itu menurutku. 

Aini teman sebangku ku juga sependapat denganku. Dia bilang menulis surat kasih sayang untuk  ibu itu tidak sulit. Tinggal ambil pulpen, ambil kertas, dan ambil amplop. Kalaupun Bu Santi meminta menulis sepuluh lembar surat kasih sayang untuk Ibunya. Aini juga tidak keberatan. Itu sangat mudah.  Mudah sekali. 

“Aku akan menulis surat kasih sayang dengan empat kata saja”, bisik Aini padaku sewaktu Bu santi menjelaskan tugasnya. Sempat mengerut alisku.

“Aini sayang ibu, sangaaat” bisik Aini melanjutkan bisikkan tadi. Dia tahu aku heran dan minta penjelasannya.

“Sampai sepuluh lembar, isinya  cuma itu. Hehehheh”. Aini cekikian di telingaku. Parah.

“Iya, aku tidak perlu banyak omong untuk bilang, bahwa aku sayang sama Ibu. Ibu pasti tahu kalau aku sayang sama Ibu”. Aini dan Ibunya memang sangat dekat. Mereka sangat kompak. 

“Ibu atau anak mana juga yang tidak saling sayang” lanjutnya.

Aini anak yang lembut. AIni mirip sekali dengan Ibunya. Wajah mereka mirip, cara bicara, bersikap, hobi, mirip meski tidak mirip 100%. Misalnya, Ibu Aini punya tahi lalat di hidung sebelah kanan. AIni malah punya tahi hidup di samping alis kanannya. Meski berbeda lokasi, tapi tahi lalatnya sama-sama sebelah kanan dan kawasan wajahkan. Hem.. pastinya mereka sangat kompak. Akrab, dan seperti yang AIni bilang, anak dan ibu mana yang tidak saling sayang. Aini dan Ibunya sangat saling menyayangi. Cium tangan, cium kening, pipi kanan, dan pipi kiri selalu mereka tunjukkan setiap pagi di depan sekolah. Eh, pulang sekolah juga. Ibunya Aini selalu antar jemput Aini. Aini bilang, dia akan selalu begitu sama Ibunya meski dia sudah tidak anak sekolahan lagi.

“Biarinlah anak-anak sekolah pada heran lihat aku sama Ibu saling cium. Meski pun kita sudah SMP seperti sekarang, menunjukkan sayang sama Ibu itu tetap perlu tauk”.  Aini malah ngelus rambut aku waktu itu. Beuh! Sok tua dia.

Aku tidak meragukan apa yang Aini ucapkan. Namun menjadi hal yang sangat memalaskan untuk Angga dan geng ributnya itu. Tadi lihat roman muka mereka di kelas, lucu juga. Garuk kepala, dan saling pandang sesama anggota geng ribut. Angga pasti sudah kapok untuk ngoceh lagi. Sudah tidak berani dia. Hehehehe. Jadi penasaran juga, bagaimana surat Angga nanti. Tugas tambahannya yang dia dapatkan tempo lalu ternyata tidak sia-sia. Bu Santi dengan baik hatinya memberi nilai tambahan untuknya. Nilai untuk menutupi beberapa tugas yang tidak tuntas. Hem tapi tadi itu Bu Santi memberi pujian untuk Angga sebab, tulisannya sangat bagus. Selidik punya selidik, tulisan itu karya asli Angga. Bu Santi sengaja memberitahu kami bahwa karya Angga memang bagus, dan asli karya sendiri, sebab Bu Santi yakin kalau ada yang merasa tidak percaya bahwa Angga bisa membuat karya tulis sebanyak dan sebagus yang dikatakan Bu Santi. 

“Kalian pasti ada yang meragukan karya Angga kan?” Bu Santi memandang kami satu kelas, dari kiri ke kanan.
 “Tapi keraguan kalian itu sebaikny kalian hapus bersih, sebab tulisan ini memang karya Angga sendiri”. 
Bu Santi memang tidak menjelaskan darimana Bu Santi tahu, pastnya Ibu sudah mengecek semua pekerjaanya. Hemm ternyata si Angga tidak boleh dianggap enteng ini.

Setelah Bu Santi keluar kelas dalam waktu yang cukup lama. Penghuni kelas kembali melihatkan aksi mereka masing-masing. Ada yang mengunjungi meja teman yang lain. Ada yang melanjutkan makan jajanan yang dibeli sebelum bel masuk. Ada yang tetap bertahan di meja dan berbincang dengan teman sebangku, ya seperti aku dan Aini. Tapi, yang lebih parah aksinya Efri. Dia salah satu geng ribut juga, tapi anggotanya berbeda kelas. Di kelas kami, anggota satu geng denganya cuma Faisal. Lumayan lah buat si Efri punya teman beraksi di kelas. Hem.. berhubung kelas kita ini paling ujung, jadi ada banyak jeda untuk kami kedatangan guru mata pelajaran selanjutnya. Lumayan lah buat bereaksi aksi. Kalau rebut begini Aryo ketua kelas cuma bisa teriak, sayangnya suaranya tenggelam bersama suara ribut teman-teman yang lain.

“Eiii diam lah… jangan ribut” kalimat Aryo setiap hari. Setiap hari juga kami tetap ribut. Sabar ya Yo! Aku dan Aini kasihan juga lihat ketua kelas ini. Tapi mau digimanakan lagi, geng ribut kelas sudah menguasa. Hem yang ada pita suara bisa kusut, nasehatin mereka setiap hari. Sabar-sabar!

“Huh, masih jaman ka ni, buat surat kasih sayang untuk Ibu?” Efri mengheningkan kelas dengan tingkahnya di depan papan tulis.  Aku dan Aini langsung terdiam juga mendengar suaranya. Maklum juga, sauranya yang ngebass itu memang mengalahkan suara Aryo.

“Hahahhahahaa, kita kan bukan anak TK lagi, buat yang gituan” Faisal menyahut. Beuh, kesal lihat aksi mereka. Jelek sekali. Mending lihat topeng monyet. Mondar-mandir lagi.

“Mama ini surat kasih sayang buat Mama” Faisal jadi anak, dan Efri jadi Ibu. Lakon mereka semakin merusak pemandangan. Bawa mimik anak TK lagi, idih tidak ada tampang-tampang lucunya. Tapi, kenapa teman-teman yang lain banyak yang ketawa ya. Agrh semakin kesal ini lihat tawa mereka. Aku sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi kasih sayang Ibu tidak terima dengan lakon mereka yang lebih buruk dari gaya topeng Monyet.

“Eh” aku berdiri, dan bercekak pinggang. “Ka”, suaraku tertahan.

“Kasihan, kalau kalian merasa itu sudah tidak jaman. Berarti kalian sudah ketinggalan jaman”. Eh, itu suara Angga. 

“Anak kecil  sampai lansia tahu, kalau kasih ibu sepanjang masa, ketahuan ya nggak hapal lagunya?”. Loh? Kok, nada suara Angga malah marah. Tumben Angga tidak nimbrung aksi mereka, biasanya, selalu mendukung itu.

“Hahahahahahhahahhaaha” Suara ketawa teman-teman yang lain. Mukanya Efri dan Faisal kelihatan malu. Tapi, ada muka marahnya sama Angga. Gawat!

“Selamat siang semua”, Guru Biologi kami datang. Hem syukurlah, jika Bu Riani tidak masuk lebih cepat, sepertinya ada yang perang. 

*

“Eh, Git tadi si Angga tumben-tumbennya ya” Aku menemani Aini menunggu Ibunya. Pembahasanya tentang Angga akhirnya dimulai. Benar kata Aini, tumben-tumbennya si Angga tidak membenarkan ocehan tidak pentingnya Efri dan Faisal.

“Iya, pasti ada alasannya lah, tapi aku nggak tau, nggak bisa nebak juga” Angga yang terkenal bikin onar di kelas selama ini memang tidak terlalu dekat dengan aku dan Aini. Jadi sulit menebak pemikiran anak itu. Kecuali si Aryo, kemana-mana suka ikut kita.  Parah bisa-bisa pakai Jilbab juga dia.

“Dada Gita”, Aini melambaikan tangannya. Lumayan lama juga menunggu Ibunya menjemput. Tapi lamanya itu tetap saja tidak bisa menjawab, apa alasan Angg bersikap “tumben-tumben” di kelas tadi. Aku juga ikut melambaikan tangan. Kebersamaan kami hari ini berkahir, besok lanjut lagi.  

Aku melanjutkan perjalanan pulang. Dari setiap langkah kaki, aku mulai berpikir tentang isi surat kasih sayang nanti. Hem aku jadi senyum-senyum sendiri.

Kasih Ibu, kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali bagai sang Surya menemani dunia sambil senyum, sambil berpikir tentang surat dan sambil menyanyikan lagu yang Angga bahas tadi di kelas. Ingat kejadian itu, muka ku semakin tidak karuan. Waduh, aku ketawa sendiri jadinya.

“Woy” Angga menepuk pundakku. Eh tumben.

“Numpang?” Dia menawarkan tumpangan. Sepeda bergigi warna putih miliknya memang tidak ada boncengan. Tapi ada pijakannya. Aku menyebutnya tapak kuda. Ya, kalau aku numpang, berarti aku berdiri di belakang. Tidak masalah, boleh juga.

“Tumben” aku menaikkan alisku, dan naik ke sepedanya.

Berdiri diatas tapak kuda lumayan menegangkan kaki. Humm untunglah kakiku sudah terbiasa seperti ini, jadi sepanjang perjalanan si kaki tidak banyak mengeluh. Hai-hai lumayan jarak rumah menjadi lebih dekat.

“Ibuku meninggal waktu aku kelas lima” Angga membuka pembicaraan. Mendengar ceritanya ini, malah kakiku yang terkejut. Hampir jatuh!. 

“Kejutnya berlebihan Git” Angga ngomel,sepedanya belok kanan-kiri. 

“Iya, maaf. Ya Aku kan emang nggak tahu masalah itu” Aku menepuk pundaknya, pelan.

Sekali lagi aku mesti menyaksikan ketumbenan Angga. Kami  selama ini berteman biasa saja, jadi wajar jika aku heran dan sungguh sangat heran, mendengar cerita Angga hari ini. Angga cerita tentang Mama nya sudah meninggal sejak tiga tahun yang lalu. Setahun setelahnya, Ayah Angga menikah lagi. Semula pernikahan itu tidak ia setujui, tapi kakak dan dua abangnya merasa tidak keberatan apabila ada Mama baru. Angga tidak mau punya mama baru, karena banyak yang bilang Ibu tiri itu jahat. Beberapa film membutikannya. Hal lain, Angga khawatir, kalau Ibu tirinya itu sayangnya  sama Angga tidak seperti sayang Mamanya yang dulu. Mama yang selalu tahu apa yang Angga mau. Pagi sarapan nasi goreng, siang Angga suka makan sayur bayam campur jagung, malam Angga minum cokelat hangat dulu sebelum tidur. Angga suka baca komik Detective Conan, Angga suka bekal roti bakar dan air putih. Angga khawatir Mama barunya tidak mau menemaninya main di Gor Pangsuma, sekedar untuk senam pagi.

“Kalah suara aku Git!” cerita Angga dengan nada humornya.  Angga bilang dulu dia tidak tahu kalau ingin memenangkan suara, mesti ada tim suksesnya. Eh, Angga waktu itu malah meminta teman-teman se kelasnya. Ya, mana ada hubungannya.

“Teman-temanku mendukung Gita. Cuma pas pengambilan suara di rumah, mereka tidak ada. Hehehe lagi pula mana mereka berani sama Ayahku. Ayahku kan guru Matematika di sekolah kami” Angga malah ketawa.

Ternyata apa yang Angga khawatirkan memang terjadi, Mama barunya tidak tahu apa yang Angga suka. Mamanya lebih sibuk dengan pekerjaannya sebagai guru Mandarin. Mama barunya juga tidak sempat membuatkannya roti bakar selai kacang cokelat setiap pagi. Tapi Mama barunya mengerti bagaimana mengajak Angga untuk bersikap lebih baik. 

“Mama baruku mengajarkan aku untuk lebih mandiri. Segala sesuatu yang aku bisa, baiknya aku yang kerjakan” Angga ketawa

“Aku ini anak manja, segala sesuatu mesti dilayani. Mandi saja aku masih pakai air hangat. Seragam sekolah Mamaku yang siapkan semua. Dari topi sampai kaos kaki” Angga menceritakan bagaimana manjanya dulu. Bahkan hendak tidur Angga mau Mamanya yang menemani.

“Mama baruku bilang, aku mesti bekerjasama dengan orang-orang di rumah. Aku tidak boleh minta dilayan terus hanya karena ingin diperhatikan. Semua orang di rumah sayang sama aku, termasuk Mama” Angga bilang,  manjannya dia membuat orang di rumah jadi kewalahan. Kak Aisyah sering telat ke Kampus karena menyiapkan perlengkapan mandi, sekolah, sarapan dan mengantarnya ke Sekolah. Ayah sering tidur malam, karena bergadang menyelesaikan pekerjaannya. Sebab di jam-jam awal, Ayah membimbing Angga belajar, menemani Angga main PS, membuatkan Angga susu cokelat dan menunggu Angga selesai membaca Komik di kamar. Semua kegiatan malam Angga habiskan di dalam kamar. Semuanya tidak boleh dibantu sama Mama barunya.

 Mama baru itu sok sibuk dan tidak perhatian menurut Angga. Hingga Angga tahu, bahwa yang membuatkan Papa kopi setiap pagi, menyiapkan baju mengajar, membuatkan sarapan, roti selai kacang cokelat dan yang membelikan jam tangan untuk Angga adalah Mama barunya. Angga yang selama ini tidak mau peduli dengan orang-orang rumah, bukan orang rumah yang tidak perduli.

“Mamaku atau Mama baruku sama-sama sayang denganku, setiap mama pasti sayang sama anaknya” Angga mengakhiri ceritanya. Dia mengerem sepedanya tepat di depan gang rumahku. Mengucap terimakasih dan mendapat jawaban dari ketumbenan Angga hari ini, aku pun melanjutkan langkah menuju rumah. Ibuku pasti sudah menunggu kedatanganku. Kami akan pergi Toko buku. Ibu akan memberiku hadiah satu buku, dan buku itu aku yang pilih. Beberapa hari yang lalu, Ibu mendapat rezeki lebih dari pekerjaannya sebagai buruh bangunan.
*
Novel seharga Rp 35.000 diperbolehkan Ibu untuk aku beli. Novel tentang anak SMP yang mempermasalahkan aturan-aturan yang berlaku untuk anak seusianya. Beberapa hal sewaktu SD tidak menjadi masalah untuk dilakukan, menjadi sangat bermasalah setelah memasuki usia SMP. Buku dengan sampul Hijau putih itu, menjadi pilihan Gita kali ini. 

“Pak Herman, apa kabar? Sama siapa?” Seorang Ibu yang kira usiany mencapai 40-an menyapa kami
“Bu Tini, baik Bu!. Alhamdulillah, ini sama Gita”, langsung mencium tangan Ibu yang kudengar bernama Bu Tini itu. 

“Gita, sudah besar dia” Bu Tini mengelus rambutku. “Mau beli buku apa lagi?, pilihlah, nanti Ibu yang bayarin”. Eh benaran Bu? Sumpah? Boleh? Pilih ya? Hem senang tidak bisa diungkapkan Bu Tini membelikan aku buku. 

Buku tentang lima sekawan mencari harta karun menjadi pilihanku. Hasyek dapat dua buku. Selesai membayar kami berpisah dengan Bu Tini. Aku bersama Ibu langsung pulang ke rumah. Dalam perjalanan Ibu bilang, bahwa Bu Tini adalah teman akrab Ibu sewaktu sekolah dulu. Bu Tini melanjutkan pendidikannya, sedangkan Ibu tidak. Ekonomi menjadi penghambat untuk Ibu melanjutkan S-1 atau Diploma. Tiga tahun kemudian Ibu menikah. Dua tahun menikah, aku pun ada diantara Ibu. Beberapa hari setelah itu, Ibu meninggal. 

Aku memang tidak mempunyai Ibu seperti Ibunya Aini. Ibu yang memiliki banyak kesamaan dengan anaknya. Aku juga tidak mempunyai mama, seperti mamanya Angga. Mama yang memilikinya hingga ia kelas lima, dan mama barunya yang ia miliki hingga sekarang. Aku tidak mempunyai Ibu yang bisa menjemput dan menciumku di depan sekolah seperti Ibunya Aini. Aku juga tidak punya mama yang membuatkanku roti cokelat kacang seperti mamanya Angga. Aku memang tidak punya Ibu atau mama yang keibuan. Tapi,  aku mempunyai Ibu yang tidak hanya keibuan tapi kebapakkan juga.

Ibu dengan kumis tipisnya yang selalu membuatkan aku sarapan setiap pagi. Ibu berjanggut tipis yang  mengajarkanku untuk membuat telur goreng mata sapi. Ibuku yang dengan  tangan kasar karena sering mengaduk semen menyuapkanku makan. Ibu yang memimpinku untuk belajar berjalan. Ibu yang mengajariku untuk memanggilnya bapak.  Ibuku yang hingga kini tidak mencarikanku Ibu baru. Ibu yang sebenarnya bapakku. Ibu yang sejak kecil mengasuhku itu adalah bapakku. Ibu yang aku anggap Ibu sekarang adalah bapakku. Ibuku memang bukan wanita, Ibuku laki-laki. Ibuku ayahku.

Dalam paragraph terakhir di surat kasih sayang Ibu kutuliskan ungkapan cintaku pada Ibu-ibuku.
Terimakasih Ibu telah merawatku selama dalam kandunganmu. Ibu yang selalu memberikan perhatian untuk Gita. Ibu memberiku makanan yang bergizi. Ibu yang selalu mengelusku dengan kasih sayang. Ibu yang menciumku sewaktu aku lahir, dan Ibu meninggalkanku pada Bapak yang selalu menyayangi Gita. Terimakasih Ibu. Terimakasih atas cintamu. Terimakasih memberikan cinta yang banyak untuk kami. Gita selalu merindukan Ibu dengan bahasa cinta yang banyak. Gita sayang Ibu. Gita juga sayang Ibu yang kini menggantikan Ibu. Ibu yang tidak sedikitpun mengurangi kasih sayangnya pada Gita.

Cinta Gita untuk Ibu dan Ibu. Surat kasih sayang ini Gita tuliskan untuk Ibu seorang wanita sempurna dimata Gita. Dan untuk Ibu seorang Lelaki luar biasa, yang memberikan kasih sayang Ibu dan kasih sayang seorang bapak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau