Hari ini
tanggal 22 Desember. Hari Ibu. Ada tugas dari guru Bahasa Indonesia. Kami
diperintahkan untuk membuat surat kasih sayang untuk Ibu. Hampir semua anak di
kelas mengeluh. Sebab menulis menjadi sangat sulit untuk mereka. Waktu itu saja
saat ada PR membuat tulisan tentang liburan. Anak-anak banyak mengoceh setelah
Bu Santi guru kami keluar kelas. Tapi lucunya,
Angga anggota geng ribut di kelas itu tidak hitung-hitung dulu.
Hitung-hitung sudah berapa jauh ibu dari kelas kami.
“Angga tugas
menulis kamu ibu tambah” Ibu Santi kembali lagi masuk kelas. Dia mendengar
ocehan Angga yang malas membuat PR.
“Kamu buat
tulisan setiap hari selama liburan dua minggu ini” Bu Santi melihatkan wajah
sangarnya. Sedangkan Angga melihatkan muka terkejutnya. Heheh rasain!
“Alamak,
sedikitnya”, Angga keberatan dengan tugas itu.
“Tulisan
tentang keseharian kamu, minimal dua lembar setiap hari”, Bu Santi semakin
melihatkan muka seriusnya. Kemudian keluar kelas.
Guru Bahasa
Indonesia kami itu sangat terkenal ramahnya. Jika di luar kelas Ibu juga selalu
mengumbar humornya. Tapi jika sedang pelajarannya jangan coba-coba membuat
keributan. Bisa jadi ada tugas menulis tentang apa yang diributkan itu. Maka
siswa-siswa pun jeraaaa.
Hari ini, ada
tugas menulis lagi. Menulis surat untuk Ibu. Tahun lalu, kami hanya dipinta
untuk menulis tentang kesukaan ibu kita
masing-masing. Dan meminta ibu kita
membuat poin-poin tentang kesukaan anaknya. Ternyata anak-anak banyak yang
tidak tahu apa kesukaan ibunya. Lucu. Lucu karena ibu mereka bisa membuat satu
halaman poin kesukaan anaknya. Anaknya malah hanya bisa dua, tiga, empat paling
banyak sepuluh. Misalnya Ibu suka ngomel, ibu suka belanja, ibu suka masak, ibu
suka nonton sinetron.
Berbeda dengan
tahun lalu, jika tahun lalu kita bisa curang dengan bertanya dengan ibu
masing-masing apa kesukaan ibu. Tapi ini tidak bisa. Mana bisa kita membuat
surat untuk seseorang, yang orangnya ada di depan kita. Eh, ditanya pula isinya
mau apa. Hahahaha!
Menurutku menulis
surat untuk Ibu itu tidak sulit. Cuma mencurahkan apa yang ada di dalam pikiran
kemudian ditulis. Cuma mikir sedikit apa yang akan kita bicarakan sama Ibu.
Cuma ngerutin kening sebentar untuk memilih kata apa yang teoat untuk digunakan
sebagai kata pengungkapan. Begitu saja. Tapi itu menurutku.
Aini teman
sebangku ku juga sependapat denganku. Dia bilang menulis surat kasih sayang
untuk ibu itu tidak sulit. Tinggal ambil
pulpen, ambil kertas, dan ambil amplop. Kalaupun Bu Santi meminta menulis
sepuluh lembar surat kasih sayang untuk Ibunya. Aini juga tidak keberatan. Itu
sangat mudah. Mudah sekali.
“Aku akan
menulis surat kasih sayang dengan empat kata saja”, bisik Aini padaku sewaktu
Bu santi menjelaskan tugasnya. Sempat mengerut alisku.
“Aini sayang
ibu, sangaaat” bisik Aini melanjutkan bisikkan tadi. Dia tahu aku heran dan
minta penjelasannya.
“Sampai
sepuluh lembar, isinya cuma itu.
Hehehheh”. Aini cekikian di telingaku. Parah.
“Iya, aku
tidak perlu banyak omong untuk bilang, bahwa aku sayang sama Ibu. Ibu pasti tahu
kalau aku sayang sama Ibu”. Aini dan Ibunya memang sangat dekat. Mereka sangat
kompak.
“Ibu atau anak
mana juga yang tidak saling sayang” lanjutnya.
Aini anak yang
lembut. AIni mirip sekali dengan Ibunya. Wajah mereka mirip, cara bicara,
bersikap, hobi, mirip meski tidak mirip 100%. Misalnya, Ibu Aini punya tahi
lalat di hidung sebelah kanan. AIni malah punya tahi hidup di samping alis
kanannya. Meski berbeda lokasi, tapi tahi lalatnya sama-sama sebelah kanan dan
kawasan wajahkan. Hem.. pastinya mereka sangat kompak. Akrab, dan seperti yang
AIni bilang, anak dan ibu mana yang tidak saling sayang. Aini dan Ibunya sangat
saling menyayangi. Cium tangan, cium kening, pipi kanan, dan pipi kiri selalu
mereka tunjukkan setiap pagi di depan sekolah. Eh, pulang sekolah juga. Ibunya
Aini selalu antar jemput Aini. Aini bilang, dia akan selalu begitu sama Ibunya
meski dia sudah tidak anak sekolahan lagi.
“Biarinlah
anak-anak sekolah pada heran lihat aku sama Ibu saling cium. Meski pun kita
sudah SMP seperti sekarang, menunjukkan sayang sama Ibu itu tetap perlu
tauk”. Aini malah ngelus rambut aku
waktu itu. Beuh! Sok tua dia.
Aku tidak
meragukan apa yang Aini ucapkan. Namun menjadi hal yang sangat memalaskan untuk
Angga dan geng ributnya itu. Tadi lihat roman muka mereka di kelas, lucu juga.
Garuk kepala, dan saling pandang sesama anggota geng ribut. Angga pasti sudah
kapok untuk ngoceh lagi. Sudah tidak berani dia. Hehehehe. Jadi penasaran juga,
bagaimana surat Angga nanti. Tugas tambahannya yang dia dapatkan tempo lalu
ternyata tidak sia-sia. Bu Santi dengan baik hatinya memberi nilai tambahan
untuknya. Nilai untuk menutupi beberapa tugas yang tidak tuntas. Hem tapi tadi
itu Bu Santi memberi pujian untuk Angga sebab, tulisannya sangat bagus. Selidik
punya selidik, tulisan itu karya asli Angga. Bu Santi sengaja memberitahu kami
bahwa karya Angga memang bagus, dan asli karya sendiri, sebab Bu Santi yakin
kalau ada yang merasa tidak percaya bahwa Angga bisa membuat karya tulis
sebanyak dan sebagus yang dikatakan Bu Santi.
“Kalian pasti
ada yang meragukan karya Angga kan?” Bu Santi memandang kami satu kelas, dari
kiri ke kanan.
“Tapi keraguan kalian itu sebaikny kalian hapus bersih, sebab
tulisan ini memang karya Angga sendiri”.
Bu Santi memang tidak menjelaskan
darimana Bu Santi tahu, pastnya Ibu sudah mengecek semua pekerjaanya. Hemm
ternyata si Angga tidak boleh dianggap enteng ini.
Setelah Bu
Santi keluar kelas dalam waktu yang cukup lama. Penghuni kelas kembali
melihatkan aksi mereka masing-masing. Ada yang mengunjungi meja teman yang
lain. Ada yang melanjutkan makan jajanan yang dibeli sebelum bel masuk. Ada
yang tetap bertahan di meja dan berbincang dengan teman sebangku, ya seperti
aku dan Aini. Tapi, yang lebih parah aksinya Efri. Dia salah satu geng ribut
juga, tapi anggotanya berbeda kelas. Di kelas kami, anggota satu geng denganya
cuma Faisal. Lumayan lah buat si Efri punya teman beraksi di kelas. Hem..
berhubung kelas kita ini paling ujung, jadi ada banyak jeda untuk kami
kedatangan guru mata pelajaran selanjutnya. Lumayan lah buat bereaksi aksi.
Kalau rebut begini Aryo ketua kelas cuma bisa teriak, sayangnya suaranya
tenggelam bersama suara ribut teman-teman yang lain.
“Eiii diam
lah… jangan ribut” kalimat Aryo setiap hari. Setiap hari juga kami tetap ribut.
Sabar ya Yo! Aku dan Aini kasihan juga lihat ketua kelas ini. Tapi mau
digimanakan lagi, geng ribut kelas sudah menguasa. Hem yang ada pita suara bisa
kusut, nasehatin mereka setiap hari. Sabar-sabar!
“Huh, masih
jaman ka ni, buat surat kasih sayang untuk Ibu?” Efri mengheningkan kelas
dengan tingkahnya di depan papan tulis. Aku dan Aini langsung terdiam juga mendengar
suaranya. Maklum juga, sauranya yang ngebass itu memang mengalahkan suara Aryo.
“Hahahhahahaa,
kita kan bukan anak TK lagi, buat yang gituan” Faisal menyahut. Beuh, kesal
lihat aksi mereka. Jelek sekali. Mending lihat topeng monyet. Mondar-mandir
lagi.
“Mama ini
surat kasih sayang buat Mama” Faisal jadi anak, dan Efri jadi Ibu. Lakon mereka
semakin merusak pemandangan. Bawa mimik anak TK lagi, idih tidak ada
tampang-tampang lucunya. Tapi, kenapa teman-teman yang lain banyak yang ketawa
ya. Agrh semakin kesal ini lihat tawa mereka. Aku sebagai orang yang sangat
menjunjung tinggi kasih sayang Ibu tidak terima dengan lakon mereka yang lebih
buruk dari gaya topeng Monyet.
“Eh” aku
berdiri, dan bercekak pinggang. “Ka”, suaraku tertahan.
“Kasihan,
kalau kalian merasa itu sudah tidak jaman. Berarti kalian sudah ketinggalan
jaman”. Eh, itu suara Angga.
“Anak
kecil sampai lansia tahu, kalau kasih
ibu sepanjang masa, ketahuan ya nggak hapal lagunya?”. Loh? Kok, nada suara
Angga malah marah. Tumben Angga tidak nimbrung aksi mereka, biasanya, selalu
mendukung itu.
“Hahahahahahhahahhaaha”
Suara ketawa teman-teman yang lain. Mukanya Efri dan Faisal kelihatan malu.
Tapi, ada muka marahnya sama Angga. Gawat!
“Selamat siang
semua”, Guru Biologi kami datang. Hem syukurlah, jika Bu Riani tidak masuk
lebih cepat, sepertinya ada yang perang.
*
“Eh, Git tadi
si Angga tumben-tumbennya ya” Aku menemani Aini menunggu Ibunya. Pembahasanya
tentang Angga akhirnya dimulai. Benar kata Aini, tumben-tumbennya si Angga
tidak membenarkan ocehan tidak pentingnya Efri dan Faisal.
“Iya, pasti
ada alasannya lah, tapi aku nggak tau, nggak bisa nebak juga” Angga yang
terkenal bikin onar di kelas selama ini memang tidak terlalu dekat dengan aku
dan Aini. Jadi sulit menebak pemikiran anak itu. Kecuali si Aryo, kemana-mana
suka ikut kita. Parah bisa-bisa pakai
Jilbab juga dia.
“Dada Gita”,
Aini melambaikan tangannya. Lumayan lama juga menunggu Ibunya menjemput. Tapi
lamanya itu tetap saja tidak bisa menjawab, apa alasan Angg bersikap
“tumben-tumben” di kelas tadi. Aku juga ikut melambaikan tangan. Kebersamaan
kami hari ini berkahir, besok lanjut lagi.
Aku
melanjutkan perjalanan pulang. Dari setiap langkah kaki, aku mulai berpikir
tentang isi surat kasih sayang nanti. Hem aku jadi senyum-senyum sendiri.
“Kasih Ibu, kepada beta tak terhingga
sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali bagai sang Surya menemani
dunia” sambil senyum, sambil
berpikir tentang surat dan sambil menyanyikan lagu yang Angga bahas tadi di
kelas. Ingat kejadian itu, muka ku semakin tidak karuan. Waduh, aku ketawa
sendiri jadinya.
“Woy” Angga
menepuk pundakku. Eh tumben.
“Numpang?” Dia
menawarkan tumpangan. Sepeda bergigi warna putih miliknya memang tidak ada
boncengan. Tapi ada pijakannya. Aku menyebutnya tapak kuda. Ya, kalau aku
numpang, berarti aku berdiri di belakang. Tidak masalah, boleh juga.
“Tumben” aku
menaikkan alisku, dan naik ke sepedanya.
Berdiri diatas
tapak kuda lumayan menegangkan kaki. Humm untunglah kakiku sudah terbiasa
seperti ini, jadi sepanjang perjalanan si kaki tidak banyak mengeluh. Hai-hai
lumayan jarak rumah menjadi lebih dekat.
“Ibuku
meninggal waktu aku kelas lima” Angga membuka pembicaraan. Mendengar ceritanya
ini, malah kakiku yang terkejut. Hampir jatuh!.
“Kejutnya berlebihan
Git” Angga ngomel,sepedanya belok kanan-kiri.
“Iya, maaf. Ya
Aku kan emang nggak tahu masalah itu” Aku menepuk pundaknya, pelan.
Sekali lagi
aku mesti menyaksikan ketumbenan Angga. Kami
selama ini berteman biasa saja, jadi wajar jika aku heran dan sungguh
sangat heran, mendengar cerita Angga hari ini. Angga cerita tentang Mama nya
sudah meninggal sejak tiga tahun yang lalu. Setahun setelahnya, Ayah Angga
menikah lagi. Semula pernikahan itu tidak ia setujui, tapi kakak dan dua
abangnya merasa tidak keberatan apabila ada Mama baru. Angga tidak mau punya
mama baru, karena banyak yang bilang Ibu tiri itu jahat. Beberapa film
membutikannya. Hal lain, Angga khawatir, kalau Ibu tirinya itu sayangnya sama Angga tidak seperti sayang Mamanya yang
dulu. Mama yang selalu tahu apa yang Angga mau. Pagi sarapan nasi goreng, siang
Angga suka makan sayur bayam campur jagung, malam Angga minum cokelat hangat
dulu sebelum tidur. Angga suka baca komik Detective Conan, Angga suka bekal
roti bakar dan air putih. Angga khawatir Mama barunya tidak mau menemaninya
main di Gor Pangsuma, sekedar untuk senam pagi.
“Kalah suara
aku Git!” cerita Angga dengan nada humornya.
Angga bilang dulu dia tidak tahu kalau ingin memenangkan suara, mesti
ada tim suksesnya. Eh, Angga waktu itu malah meminta teman-teman se kelasnya.
Ya, mana ada hubungannya.
“Teman-temanku
mendukung Gita. Cuma pas pengambilan suara di rumah, mereka tidak ada. Hehehe
lagi pula mana mereka berani sama Ayahku. Ayahku kan guru Matematika di sekolah
kami” Angga malah ketawa.
Ternyata apa
yang Angga khawatirkan memang terjadi, Mama barunya tidak tahu apa yang Angga
suka. Mamanya lebih sibuk dengan pekerjaannya sebagai guru Mandarin. Mama
barunya juga tidak sempat membuatkannya roti bakar selai kacang cokelat setiap
pagi. Tapi Mama barunya mengerti bagaimana mengajak Angga untuk bersikap lebih
baik.
“Mama baruku
mengajarkan aku untuk lebih mandiri. Segala sesuatu yang aku bisa, baiknya aku
yang kerjakan” Angga ketawa
“Aku ini anak
manja, segala sesuatu mesti dilayani. Mandi saja aku masih pakai air hangat.
Seragam sekolah Mamaku yang siapkan semua. Dari topi sampai kaos kaki” Angga
menceritakan bagaimana manjanya dulu. Bahkan hendak tidur Angga mau Mamanya
yang menemani.
“Mama baruku
bilang, aku mesti bekerjasama dengan orang-orang di rumah. Aku tidak boleh
minta dilayan terus hanya karena ingin diperhatikan. Semua orang di rumah
sayang sama aku, termasuk Mama” Angga bilang,
manjannya dia membuat orang di rumah jadi kewalahan. Kak Aisyah sering
telat ke Kampus karena menyiapkan perlengkapan mandi, sekolah, sarapan dan
mengantarnya ke Sekolah. Ayah sering tidur malam, karena bergadang
menyelesaikan pekerjaannya. Sebab di jam-jam awal, Ayah membimbing Angga
belajar, menemani Angga main PS, membuatkan Angga susu cokelat dan menunggu
Angga selesai membaca Komik di kamar. Semua kegiatan malam Angga habiskan di
dalam kamar. Semuanya tidak boleh dibantu sama Mama barunya.
Mama baru itu sok
sibuk dan tidak perhatian menurut Angga. Hingga Angga tahu, bahwa yang
membuatkan Papa kopi setiap pagi, menyiapkan baju mengajar, membuatkan sarapan,
roti selai kacang cokelat dan yang membelikan jam tangan untuk Angga adalah
Mama barunya. Angga yang selama ini tidak mau peduli dengan orang-orang rumah,
bukan orang rumah yang tidak perduli.
“Mamaku atau
Mama baruku sama-sama sayang denganku, setiap mama pasti sayang sama anaknya”
Angga mengakhiri ceritanya. Dia mengerem sepedanya tepat di depan gang rumahku.
Mengucap terimakasih dan mendapat jawaban dari ketumbenan Angga hari ini, aku
pun melanjutkan langkah menuju rumah. Ibuku pasti sudah menunggu kedatanganku.
Kami akan pergi Toko buku. Ibu akan memberiku hadiah satu buku, dan buku itu
aku yang pilih. Beberapa hari yang lalu, Ibu mendapat rezeki lebih dari
pekerjaannya sebagai buruh bangunan.
*
Novel seharga
Rp 35.000 diperbolehkan Ibu untuk aku beli. Novel tentang anak SMP yang
mempermasalahkan aturan-aturan yang berlaku untuk anak seusianya. Beberapa hal
sewaktu SD tidak menjadi masalah untuk dilakukan, menjadi sangat bermasalah
setelah memasuki usia SMP. Buku dengan sampul Hijau putih itu, menjadi pilihan
Gita kali ini.
“Pak Herman,
apa kabar? Sama siapa?” Seorang Ibu yang kira usiany mencapai 40-an menyapa
kami
“Bu Tini, baik
Bu!. Alhamdulillah, ini sama Gita”, langsung mencium tangan Ibu yang kudengar
bernama Bu Tini itu.
“Gita, sudah
besar dia” Bu Tini mengelus rambutku. “Mau beli buku apa lagi?, pilihlah, nanti
Ibu yang bayarin”. Eh benaran Bu? Sumpah? Boleh? Pilih ya? Hem senang tidak
bisa diungkapkan Bu Tini membelikan aku buku.
Buku tentang
lima sekawan mencari harta karun menjadi pilihanku. Hasyek dapat dua buku.
Selesai membayar kami berpisah dengan Bu Tini. Aku bersama Ibu langsung pulang
ke rumah. Dalam perjalanan Ibu bilang, bahwa Bu Tini adalah teman akrab Ibu
sewaktu sekolah dulu. Bu Tini melanjutkan pendidikannya, sedangkan Ibu tidak.
Ekonomi menjadi penghambat untuk Ibu melanjutkan S-1 atau Diploma. Tiga tahun
kemudian Ibu menikah. Dua tahun menikah, aku pun ada diantara Ibu. Beberapa
hari setelah itu, Ibu meninggal.
Aku memang
tidak mempunyai Ibu seperti Ibunya Aini. Ibu yang memiliki banyak kesamaan
dengan anaknya. Aku juga tidak mempunyai mama, seperti mamanya Angga. Mama yang
memilikinya hingga ia kelas lima, dan mama barunya yang ia miliki hingga
sekarang. Aku tidak mempunyai Ibu yang bisa menjemput dan menciumku di depan
sekolah seperti Ibunya Aini. Aku juga tidak punya mama yang membuatkanku roti
cokelat kacang seperti mamanya Angga. Aku memang tidak punya Ibu atau mama yang
keibuan. Tapi, aku mempunyai Ibu yang
tidak hanya keibuan tapi kebapakkan juga.
Ibu dengan
kumis tipisnya yang selalu membuatkan aku sarapan setiap pagi. Ibu berjanggut
tipis yang mengajarkanku untuk membuat
telur goreng mata sapi. Ibuku yang dengan
tangan kasar karena sering mengaduk semen menyuapkanku makan. Ibu yang
memimpinku untuk belajar berjalan. Ibu yang mengajariku untuk memanggilnya bapak. Ibuku yang hingga kini tidak mencarikanku Ibu
baru. Ibu yang sebenarnya bapakku. Ibu yang sejak kecil mengasuhku itu adalah
bapakku. Ibu yang aku anggap Ibu sekarang adalah bapakku. Ibuku memang bukan
wanita, Ibuku laki-laki. Ibuku ayahku.
Dalam
paragraph terakhir di surat kasih sayang Ibu kutuliskan ungkapan cintaku pada
Ibu-ibuku.
Terimakasih
Ibu telah merawatku selama dalam kandunganmu. Ibu yang selalu memberikan
perhatian untuk Gita. Ibu memberiku makanan yang bergizi. Ibu yang selalu
mengelusku dengan kasih sayang. Ibu yang menciumku sewaktu aku lahir, dan Ibu
meninggalkanku pada Bapak yang selalu menyayangi Gita. Terimakasih Ibu.
Terimakasih atas cintamu. Terimakasih memberikan cinta yang banyak untuk kami.
Gita selalu merindukan Ibu dengan bahasa cinta yang banyak. Gita sayang Ibu. Gita
juga sayang Ibu yang kini menggantikan Ibu. Ibu yang tidak sedikitpun
mengurangi kasih sayangnya pada Gita.
Cinta Gita
untuk Ibu dan Ibu. Surat kasih sayang ini Gita tuliskan untuk Ibu seorang
wanita sempurna dimata Gita. Dan untuk Ibu seorang Lelaki luar biasa, yang
memberikan kasih sayang Ibu dan kasih sayang seorang bapak.
Komentar