Hari ini saya meneteskan air mata. Ini bukan karena sakit
hati, kecewa, atau amarah. Ini bisa dibilang karena malu dan terharu.
Seperti biasa, setiap awal bulannya saya akan pergi ke sudut
di jalan Karimata. Ini sudah menjadi hal yang rutin untuk beberapa bulan ini.
Hari ini saya baru tahu, rutinitas itu telah berjalan selama satu tahun. Ternyata sejak setahun yang lalu saya menjadi
donasi di sana. Donasi Dompet Ummat.
Sore tadi (03/08/2012) saya kembali ke bangunan di sudut Karimata
ini. Kali ini uang di dompet benar-benar hanya ada Rp 15.000, dan uang itulah
yang saya serakan. Sejak tahun lalu saya tidak pernah memberi lebih dari Rp
20.000. Bahkan pada awal-awalnya hanya Rp 10.000, terkadang itu uang pinjaman.
Ah, memalukan ya, memberi sedekah tapi uang pinjaman? Tapi
ya, begitulah adanya.
Saya ingat betul tanggal berapa jadwal saya menyerahkan
donasi saya yang tidak pernah lebih dari Rp 20.000 itu. Saat mendaftarkan diri
saya ditanya, kapan donasi akan diserahkan setiap bulannya. Saya pun memilih
tanggal 2 setiap bulannya. Saya yang setiap harinya menjadi “ojek” biasanya
akan mendapat “uang bensin” pada tanggal 1.
Tapi entah apa yang terjadi, kadang ditanggal tersebut uang
yang diharapkan kadang tak ada ditangan. Bisa karena belum diberi, bisa juga
habis duluan, bisa juga saat ingat untuk menyerahkan donasi, uang tidak dibawa.
Ya, ada saja alasannya.
Tapi entah mengapa, itu terjadi setiap bulannya. Bahkan
memalukannya, saya terkadang agak “risih” jika ditelpon dan ditanyai kapan
menyerahkan donasi dan akan dijemput dimana.
Risih ini bukan karena saya tidak suka dimintai uang itu.
Tapi karena saya tidak suka ditanya akan jemput dimananya itu. Saya malu
sendiri, uang tidak seberapa tapi pakai acara penjemputan. Padahal saya sudah
bilang, biar saya yang ke sana. Tapi
itulah, saya sering lupa untuk mampir saat tanggal 2 itu.
Akhirnya saya mencari-cari Sms yang menanyai saya, akan
dijemput dimana. Pencarian ini bukan karena untuk minta dijemput, tetapi
mengingatkan saya untuk segera membayar.
Dan saya selalu mendapatkan rezeki yang tidak terduga
setelah uang yang tidak lebih dari Rp 20.000 itu. Ada saja rezeki lain yang dating
yang jumlahnya lebih dari Rp 20.000. Hal ini membuktikan, banyak sedekah maka
akan semakin banyak rezeki.
Namun saya sadar ini bukan tujuan saya untuk ikut
bersedekah. Bukan untuk mengharap akan dilipatgandakan. Tapi lebih pada menyisihkan uang untuk
kebaikan. Rezeki yang saya dapat setiap bulannya dimiliki oleh orang lain. Sama
halnya, rezeki yang orang lain miliki ada bagian yang diberikan pada saya.
Ya, saya merasakan bagaimana rasanya mendapatkan bagian dari
rezeki orang lain itu. Apa yang ada pada saya saat ini, kesemuanya bersumber
dari orang lain. Laptop yang saya punya, jika bukan karena seseorang yang
membagi uang gaji mengajarnya pada saya, mungkin laptop ini tidak ada. Meskipun
rezeki orang lain itu disebutnya sebagai bagian saya karena membantunya memandu mahasiswanya
untuk belajar computer.
Motor yang saya gunakan setiap harinya, itu juga bukan milik
saya. Itu milik Mak Na, adik nomor dua bungsu Emak. Jika bukan Mak Na yang
meminjamkan, mungkin saya tidak pernah merasakan menaiki motor setiap harinya.
Tas besar yang saya gendong setiap harinya, itu adalah hasil dari beasiswa,
bukan uang pribadi. Sepatu Kets yang saya setiap hari saya injak, itu tidak
akan pernah ada jika bukan berasal dari uang mengojek atau tabungan lain.
Tabungan itu juga berasal dari orang lain, bisa dari bibi, kakak, atau paman.
Makan dan minum yang setiap hari menjadi tenaga saya, itu
juga bukan berasal dari saya. Saya yang tingga di rumah keluarga ini,
menumpangkan diri untuk tinggal, makan, minum dan merasakan kenyamanan yang
ada. Ini bukan milik saya, tapi orang lain.
Dan, saya juga menjadi bagian dari orang yang sering
disedekahkan. Sebagai seorang anak yang ayahnya telah meninggal semasa kecil,
Emak menjadi janda, banyak orang dermawan yang mengulurkan tanganya memberi bagian
rezeki mereka pada kami. Kami ini juga orang yang diberi kami pun berkecukupan.
Tadi siang, sebelum ke sudut Karimata. Seorang dosen
bertanya apa yang ada di dalam tas. Tas gemuk, dan terlihat memang beratnya.
Saya yang asal saja dan kebetulan sedang berpikir tentang zakat langsung
menjawab bahwa yang saya bawa itu adalah sesuatu yang akan dizakatkan, tapi
redaksi saya gunakan hanya “oh ini zakat Pak”.
“Malu lah, orang Kaya kok minta zakat” Pak Dosen member respon.
Ada anggapan yang dikeluarkan oleh Pak Dosen, yakni orang
Kaya. Pengartian untuk Orang Kaya yang dimaksud tentu orang Mampu, Orang yang
mempunyai banyak uang. Orang Kaya yang dimaksud itu adalah saya. Jadi selama
ini Pak Dosen mengira bahwa saya adalah orang Kaya. Orang yang mempunyai banyak
uang. Saya rasa beliau menilai karena penampilan saya.
Padahal penampilan saya ini berasal dari orang lain. Dari
kuncuran orang lain dan Pendidikan saya rasa membuat saya terlihat seperti yang
bapak maksud. Kenapa pendidikan? Karena jika hari ini saya tidak kuliah mungkin
saya tetap akan menjadi orang Kampung yang masih bingung menentukan pilihan
hidup. Bekerja ditempat yang mau menerima saya jadi pekerja. Tapi karena
pendidikan, saya mempunyai beberapa barang yang saya sebutkan tadi.
Apa yang saya alami ini sama halnya apa yang dirasakan oleh
orang-orang yang menerima uang yang saya berikan yang tidak pernah lebih dari
Rp 20.000. Apalagi setelah saya membaca
majalah Dompet Ummat Cahata kemandirian.
Mereka menyajikan tulisan-tulisan mengenai penerima bantuan dari DU. Ah, air
mata saya mengalir uang yang saya berikan selama ini dialirkan pada mereka dan
saya sadar uang yang berikan itu tidaklah seberapa, jumlahnya sangat kecil.
Jumlah kecil itu akhirnya saya lihat dengan jelas dalam
sebuah table. Nama saya tertera dan jumlah uang saya berikan selama satu tahun
ini hanya Rp 165.000. Ah, sungguh sedikit sekali. Dalam setahun ternyata saya
hanya bisa menyisihkan uang sebesar itu. Padahal uang tersebut dialirkan untuk
mereka yang membutuhkan, semisalny Afrizal. Salah seorang pelajar yang
mempunyai semangat untuk sekolah. Dia bekerja sebagai tukang Las untuk
meringankan beban orang tuanya. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci baju,
penghasilannya Rp 20.000-25.0000 setiap hari, itu pun jika ada baju yang
dicucinya. Diusia 72 tahun Ibu membantu suaminya mencari nafkah untuk keluarga.
Ayah Afrizal sudah tidlah 80zak mampu bekerja menjadi tukang pikul di
pelabuhan. Diusia Ayah yang telah mencapai 80 tahun, Ayah Afrizal sering
sakit-sakitan. Menyadari kondisi orang tuanya Afrizal ikut mencari penghasilan,
malam harinya dia menjadi tukang cuci piring di warung pecel lele, dan malamnya
mengajar mengaji untuk mendapatkan satu botol minyak tanah setiap bulannya.
Perjuangan Afrizal lebih berat dari saya.
Semoga rezeki semakin bertambah agar bagian untuk Humanity -meminjam tema ramadhan DU
tahun ini- lebih besar. Amin.
Komentar
terima kasih telah mengingatkan...
semoga makin banyak orang yang memiliki pemikiran seperti anda, yang dengan kerendahan hati anda (terutama aku) semoga bisa menyisihkan uang untuk bersedekah..