Seorang teman membuat status di Facebooknya mengenai rasa syukur
bisa berkumpul bersama keluarga besarnya.
“Subahanallah jarang" dapet momen kayak gnik, makan
ngumpul bareng kluarga besar =,=”
Moment ini dianggapnya sebagai moment yang tidak biasa,
jarang-jarang. Membaca itu, saya mengangguk kepala, saya setuju. Apa yang
dirasa teman ini sama dengan yang saya rasa. Tahun ini saya merasa keluarga
sangat utuh.
Keluarga yang saya maksud mungkin tidak sama dengan teman
tadi, yang mungkin lengkap beserta kakek, nenek, paman, bibi, ayah dan ibu. Utuh
untuk saya, karena keluarga inti benar-benar ada di rumah tahun ini. Emak, dua
kakak beserta anak dan suaminya. Menyambut bulan Ramadhan di kampung halaman
adalah penyebab utamanya.
Membahagiakan memang bisa berkumpul seperti ini. Biasa
berkumpul bersama keluarga menyambut bulan yang penuh berkah. Apalagi saat
Terawih saya bisa berjumpa dengan orang-orang yang saya anggap sesepuh kampung.
Bersalaman, cium tangan, bersilaturahmi. Orang-orang yang didatangi juga
senang, mereka tidak merasa dilupakan. Bahkan seorang guru SD kelas II sempat
berkata “Ninda, bukanye nak Muji, dibalek daun pon tetap negur”. Ah,
mengharukan. Beliau benar merasa senang
apabila kita beramah tamah dengannya.
Nikmat kesempatan yang diberikan oleh Allah memang patut
kita syukuri, dilalui dengan penuh manfaat. Khikmat. Berkumpul bersama keluarga
dan bertemu dengan tetua-tetua di kampung, rasanya tidak semua orang bisa
merasakannya. Belum lagi mendapatkan
kesempatan merasakan kebiasaan di kampung.
Saya tertawa juga, setelah shalat Tarawih, tepat setelah
salam. Anak-anak hingga remaja masih saja mengeluarkan suara “Buud”. Saya
sendiri tidak tahu apa sejarahnya. Apa karena menirukan bacaan subhanalmalikil ma’bud dan subhanalmalikilma’ujud atau menirukan
suara (maaf kentut). Dua puluh tiga rakaat lumayan juga untuk menahan angin,
hehehe. Ya, itu andai-andai saya saja. Namun seorang teman menjelaskan, itu
dikarenakan yang membaca doa suka memanjangkan bagian Bud, menjadi buuud, sehingga anak remaja saat itu ikut
menirukannya.
Saat ini Pak Imam
sudah meninggal, lama, tapi kebiasaan itu masih saja. Berapa lama kebiasaan
ini, entah. Sepuluh tahun, mungkin lebih. Hingga kebiasaan ini berlanjut, saya
belum mendengar kebiasaan itu dilarang. Jujur, dulu, sahutan itu benar-benar
saya tunggu, bersahutan menyebut “buuuuuud” “buuuud”, hanya dua kali . Sebenarnya
hingga saat ini, saya juga masih menunggunya. Ah seru saja.
Belum lagi saat saya sendiri melewati kuburan yang disebut
dengan kuburan kawat. Disebut kuburan kawat, mungkin dikarenakan ada kuburan
yang dikelilingi dinding-dinding seperti rumah dan jendelanya ada kawatnya.
Sejak dulu kawasan ini sangat ditakutkan, dianggap angker. Apalagi saat saya
masih kecil, belum ada lampu jalan tiang listrik. Hanya lampu jalan dari tiap
rumah, dan di dekat kuburan itu lampunya tidaklah terang. Saat pulang, saya
beserta yang lain biasanya saling mengenggam tangan, dan berjalan lurus. Tidak
berani ,melirik ke arah kuburan. Bahkan ada pula yang memejamkan mata.
Buka-buka mata, ya pas di depan rumah warga.
Lucu juga ingat itu.
Ah kesempatan ini
benar-benar berharga. Banyak diantara kita yang tidak sempat meluangkan waktu
untuk keluarga, bahkan waktu yang diidamkan seakan tidak didapatkan. Ada
pekerjaan yang menjadi penghalang. Pendidikan untuk masa depan. Bisa juga rasa
amarah yang memenangkan. Ada juga kematian.
Semoga tahun berikutnya Allah kembali memberi kesempatan
ini. Semua rahasia Ilahi.
Komentar