Jadi ceritanya buku perdana saya
Otakku Cenat-cenut terbit, Kamis lalu bersamaan dengan buku Club Menulis yang
lainnya. Saking senangnya punya buku pribadi saya pun menjadi autis mempromokan
buku tersebut. Dari teman dekat hingga teman tak pernah bertemu. Pastinya semua
sodara-sodara saya kasih tahu. Untung-untung ada yang minat mau beli. Selain
itu memberi kabar bahwa saya sudah punya
buku.
Ingat dengan sambutan Pak
Haitami, nanti kasi tahu Ibu di Kampung bahwa nerbitkan buku, kasi tau sama
orang Kampung. Waktu itu, saya pun langsung menujukkan buku Aku Anak Kampong
karya anggota Club. Pak Haitami ketawa juga melihat sampulnya, beliau bilang
foto kami dijadikan sampul.
Ya, memang senang punya karya
sendiri. Narsis, emang iya sih, tapi bukan maksud untuk membuat diri jadi sok,
tinggi hati tapi ingin juga ada yang ikutan di dunia kepenulisan. Beberapa
teman, memang ada yang mendalami dunia satu ini. Ya, divirusi lagi lah.
Selain itu, setelah beberapa buku
terbit, meski masih keroyokan ada keluarga terdekat yang sudah menunggu karya
ini, “Ciaelah, kepedean”. Ya saya manfaakanlah rasa penasaran mereka
dengan tulisans aya yang sekedar-sekedar kurang kadar itu. Kadar sempurna dalam
kepenulisan, kadar bagusnya. Tapi tidak apa-apa. Mengutip Pak Haitami lagi,
“tulis saja, buat saja, terbitkan saja, biar pembaca yang menilainya”.
Akhirnya saya mendapatkan SMS
dari kakak sepupu. “Bawa buku yang tadi ya”, saepupu ini sebelumnya selalu
menagih buku yang ada saya nulis. Saya pun membawa buku tersebut ke
pangkuannya. Kebetulan, Sabtu malam itu, saya dan sepupu saya ini menginap di
rumah sakit. Anaknya yang umurnya lima tahun, sedang sakit, masuk ICU, sudah
belasan hari, sempat tak sadarkan diri (mohon doa untuk kesembuhanya). Sesampainya
di kamar tunggu, ternyata ada abang sepupu di sana. Saya pun tidak lagi menunggu waktu
berbasa-basi.
“Bang beli buku kamek”, saya pun
menyodorkan buku bersampul biru itu.
Abang pun membawa buku
OCc-singkatan Otakku Cenat-cenut-, kemudian masuk kamar dan tanya berapa harga.
“40, sama abang 50”, saya
sumringah.
Abang pun mengeluarkan uang
berwarna biru. Beli buku. Hadooh, hati
saya pun bergetar-getar, sumringah saya tak habis-habis. Senang, penjualan
perdana.
“Mau pembatas buku gambar apa?,
pembatasnya boleh pesan”, kata saya semakin sumringah. Abang senyum-senyum.
Saya bilang dengan kakak sepupu
dan temanny, bahwa uang perdana ini akan saya simpan, akan saya scan, akan saya
laminating, akan saya bingkai. Saya lalu teringat dengan Mr. Krabs, bosnya Spongebob
yang sangat menjaga koin kesayangannya. Ah, saya langsung merasa menjadi Mr. Krabs. Saya harus jada uang ini
baik-baik.
Uang pun saya masukkan ke dalam
tas, HP saya simpan di atas bantal kepala. Saya tidur. Tidur di kamar
tunggu.
Subuhnya saya bangun, dan mencari
HP untuk melihat jam, tidak ada. Mungkin ditimpa sama sepupu.
Setelah shalat, cari lagi. Tidak
ada.
Cari lagi, gulung tikar. Tidak
ada.
HP tidak ada.
Ingat duit lima puluh ribu, uang
perdana menjual buku dalam tas.
Tidak ada. Uangnya tidak ada.
Uang ribuan untuk parkir juga tidak ada.
Tuan Krabs kecewa.
Jikalau ketemu sama orang yang
ambil, ingin rasanya menukar uang tersebut. Uang jumlah yang sama. Tapi
kembalikan duit yang abang kasi itu. Uang perdana OCc.
Hem, apa mau dikata, rasa senang
pun raib sudah. Meski akhirnya saya
dapat warisan Hp canggih dari Hp saya yang hilang itu, dan dapat pemesan buku
lagi. Saya masih ingin yang perdana itu. Ikhlas Nda.
*Makanya jaga baek-baek, sikap
baek-baek
Komentar