Aula FKIP Untan malam itu (senin,
05/02/12) terlihat ramai. Pintu masuk dipenuhi oleh orang-orang yang berpakaian
rapi. Keberadaan mereka di tempat itu, sudah jelas apa tujuannya. Temu
Sastrawan D. Zawawi Imran, jawabnya.
Seperti tujuan mereka, saya
bersama teman saya, Wardah “menyelitkan” diri diantara keramaian. Bertemu
dengan seorang Sastrawan yang terkenal, tentu tak mau saya lewatkan. Belum
tentu, kemudian hari akan mendapatkan kesempatan ini.
Mendapatkan Inspirasi itulah
tujuan utama saya.
Setelah “menyelit” saya berhasil
masuk ruangan. Penuh, itulah kenyataanya. Hampir tak ada kursi kosong.
Untungnya saya mendapatkan satu kursi di
depan pintu. Merasa menutup jalan, saya memindahkan kursi ke samping kanan, dan
menyuruh teman tadi untuk duduk. Selanjutnya saya mendaftarkan diri kepada
panitia, sebagai peserta dalam acara temu sastra D. Zawawi Imran.
Kembali “menyelit”, saya
merapatkan diri di bagian ujung kanan. Saya berhasil mendapatkan satu kursi.
Dari ujung ini, saya malah memilih untuk berdiri. Benar-benar serasa tak ingin
melewatkan moment penting ini.
Tak lama kemudian, penyair
ternama itu berdiri di mimbar. Berkaca mata, kemeja putih, rapi, dan tampak
segar, semangat. Mengucap salam dan kemudian mengajak semua orang yang ada di
ruangan untuk tersenyum. Menurutnya senyum itu penting.
“Sebab siapa yang tidak bisa
senyum malam ini, maka tak bisa tersenyum di pagi hari”, sontak, suara riuh
dari peserta menyambut kata-kata indahnya.
Selanjutnya dia mengarahkan pada
pembicaraan mengenai masalah. Masalah, menurut Zawawai kita tidak boleh kalah
dengan Masalah.
“Katakan pada masalah, Eh masalah
aku punya tuhan yang maha dasyat “, Zawawi meninggikan suaranya, dan mengangkat
tanganya ke arah atas dengan satu tunjukkan.
“Menolongku dan mengusir kamu
dari dalam diriku”. Dia semakin mengagumkan dengan kata-kata indahnya.
Penyair kelahiran Madura yang baru
saja mendapat penghargaan sastra Asia pada tanggal 16 Februari lalu dari
kerajaan Thailand ini mengaku, bahwa pendidikannya hanyalah Sekolah Dasar.
Namun, dirinya sudah menjejakkan kaki ke beberapa Negara. Puisinya adalah sayap
yang membawanya ke Negara-negara tersebut. Bahkan dia pernah menjadi dosen Pasca
Sarjana di salah satu perguruan tinggi di Malang. Pendidikannya tidak berakhir
hingga SD saja, Dia melanjutkan pencarian Ilmunya di dunia pesantren.
Jujur, sebenarnya saya malu
mengaku ini. Sebenarnya saya tidak pernah mengetahui siapa Zawawi Imran, yang
saya tahu, dia adalah sastrawan dari Madura yang akan membagi ilmunya mengenai
puisi. Ini pun saya tahu dari SMS berantai.
Akhirnya, saya merasa tidak
penting untuk memikirkan betapa ketinggalan saya di dunia sastra. Yang penting
adalah, saya bertemu dengan sastrawan terkenal itu, secara langsung, langsung
dengan puisinya, suaranya, semangatnya, ilmunya, ceritanya, tawanya, dan
inspirasinya.
Dia Sastrawan hebat dari Madura,
Indonesia. Meski usianya sudah lanjut, tapi dia selalu menjadi remaja bersama
karyanya.
“Cukup menulis puisi, menjadi
putera Ibu, menjadi remaja lagi. Tua itu waktu, muda karena
pengalaman-pengalaman” cara jitu menjadi muda ia berikan kepada seluruh orang
yang berada di ruangan.
Zawawi Imran mengaku bahwa
karyanya “jelek”. Jelek jika Zawawi Imran. Tapi Jika Zawawi Imran menjadi
Putera Ibunya, maka putera ibunya itu harus membanggakan Ibunya.
“Karena saya anak ibunya saya,
saya harus bagus, Zawawi Imran jelek, tapi anaknya ibu saya, membanggakan ibu
saya” begitulah ungkapan dari penulis puisi Ibu ini.
Zawawi Imran sangat mencintai
ibunya. Cintanya itu dituangkan di dalam puisi berjudul Ibu. Puisi yang dianggapnya sebagai puisi Eror.
Satu bait yang saya tangkap, “Ibu
jika ujian aku ditanya siapa nama pahlawan, namamu Ibu yang akan kutulis”.
Zawawi menjelaskan anggapannya
mengenai puisi Ibu yang eror tersebut. i,Jika benar, saat ujian ketika
ditanya nama pahlawan, dan menjawabnya Ibu. Bisa jadi, tidak lulus Ujian.
Kebenaran Estetik tidak sama
dengan kebenaran Ilmiah. Jelasnya mengenai puisi Eror.
Sungguh, semua yang keluar dari
mulut seorang Zawawi Imron menaburkan inspirasi yang banyak untuk semua yang
hadir dan mendengarnya.
Malam itu, Dia, Zawawi Imran,
menghangatkan darah di antara jantung saya.
Komentar