Selain memang ingin mengenal banyak orang, menjadi mata kuliah wajib, ada Visi lain yang saya pegang saat KKL ini. Mempebanyak Investasi. Bukan sehari dua hari saya berada di Sungai Terus, tetapi kurang lebih selama dua bulan. Ini saja baru menempuh waktu dua minggu, enam jam. Sebelumnya, ada berbagai proses sehingga saya berada di sini, dengan beberapa teman yang tidak asing.
Keinginan membuat Rumah Menulis (RM) di desa menjadi alasan utama agar saya bisa bergabung dengan teman-teman ini. Apa yang saya inginkan berjalan, meski peserta, anak-anak tidak semuanya ikut bisa diajak membuat karya tulis. Sebab yang ikut serta tidak semuanya anak-anak yang sudah bisa membaca dan mengarang.
Siswa kelas I, II, dan III menjadi peserta kelas khusus. Saya mesti memberi contoh untuk tulisan yang akan dibuat. Oke, ini masih lumrah. Tapi saat mereka telah memegang pensil, mereka melihat saya, dan menunggu. "Bu, apa tadi?", si anak, meminta saya megulang contoh yang saya berikan.
"Hobi saya bermain bola".
Siswa pun menulis.
"Bu, apa lagi?"
"Bolanya Rizal warna apa?"
"Hitam dan Putih"
"Iya, tulislah", tulis.
"Bu, apa lagi?"
Begitu-begitu terus. Ya, ini menjadi cerita unik dalam perjalanan membuat rumah menulis.Lain lagi, ketika Marsita menyarankan peserta untuk membuat tulisan mengenai pohon.
Pohon
Pohon Pinang
Pohon Pisang
Pohon Rambutan
Pohon Durian
....................
Semua tulisannya berisi nama pohon.
Mengarang, membuat karya tulis berdasarkan imajinasi pribadi, tampaknya masih belum dikenal oleh anak-anak di Sungai Terus. No, Problem! Ini menjadi tugas yang semakin menarik.
Tapi ada hal lain yang menjanggal di hati. Visi untuk pribadi belum terlaksana dengan baik. Masih banyak lembaran-lembaran yang menjadi hutang dari janji keberadaan di Sungai Terus. Seratus lebih lembar mesti saya buat, dan ini mesti ditulis dengan hati yang menyenangkan, bukan karena bagian dari tugas atau pemenuhan janji. Semoga, Visi saya dapat terwujud dengan baik.
Keinginan membuat Rumah Menulis (RM) di desa menjadi alasan utama agar saya bisa bergabung dengan teman-teman ini. Apa yang saya inginkan berjalan, meski peserta, anak-anak tidak semuanya ikut bisa diajak membuat karya tulis. Sebab yang ikut serta tidak semuanya anak-anak yang sudah bisa membaca dan mengarang.
Siswa kelas I, II, dan III menjadi peserta kelas khusus. Saya mesti memberi contoh untuk tulisan yang akan dibuat. Oke, ini masih lumrah. Tapi saat mereka telah memegang pensil, mereka melihat saya, dan menunggu. "Bu, apa tadi?", si anak, meminta saya megulang contoh yang saya berikan.
"Hobi saya bermain bola".
Siswa pun menulis.
"Bu, apa lagi?"
"Bolanya Rizal warna apa?"
"Hitam dan Putih"
"Iya, tulislah", tulis.
"Bu, apa lagi?"
Begitu-begitu terus. Ya, ini menjadi cerita unik dalam perjalanan membuat rumah menulis.Lain lagi, ketika Marsita menyarankan peserta untuk membuat tulisan mengenai pohon.
Pohon
Pohon Pinang
Pohon Pisang
Pohon Rambutan
Pohon Durian
....................
Semua tulisannya berisi nama pohon.
Mengarang, membuat karya tulis berdasarkan imajinasi pribadi, tampaknya masih belum dikenal oleh anak-anak di Sungai Terus. No, Problem! Ini menjadi tugas yang semakin menarik.
Tapi ada hal lain yang menjanggal di hati. Visi untuk pribadi belum terlaksana dengan baik. Masih banyak lembaran-lembaran yang menjadi hutang dari janji keberadaan di Sungai Terus. Seratus lebih lembar mesti saya buat, dan ini mesti ditulis dengan hati yang menyenangkan, bukan karena bagian dari tugas atau pemenuhan janji. Semoga, Visi saya dapat terwujud dengan baik.
Komentar