Beberapa hari yang lalu saya dapat kabar gembira. Kabar yang sangat manis sekali. Semanis ubi kayu rebus yang dikasi gula ditambah lagi madu asli. Santaapan suatu sore di puket III. Hum sangat manis.
Manis yang saya rasa ternyata tidak sama ketika saya mau minta tanda tangan transkip di Prodi. Saya yang apesnnya Jumat itu ingat kalau mau minta transkip tapi tak ingat harus pakai kostum yang sesuai dengan aturan Prodi.
tidak boleh sandal jepit
baju kaos
celana lepis.
Hari itu, sorenya saya akan membimbing peserta Perjusami yang diadakan anak Pramuka di Kampus. Jadi saya pikir, saya pakai baju yang santai saja.
Hem ternyata, pikiran saya sangat dangkal. Tidak memikirkan yang lain lagi. Saya kok jadi pelupa sekali ya. Beuh gara-gara penyakit ini, kalau saya kelupaan sesuatu atau apa pun, teman dekat ak ekan bilang "hem, ape si yang tadak kau lupakan tu?" mukanya sambil manyun, bibirnya akan lebarkan sedikit, tapi bibirnya tetap mengatup. Matanya menjadi mata yang sangat pemalas. Sendu-sendu tak kuasa melihat ekpresi saya yang baru ingat kalau ada yang lupa.
Sebab saya mau daftar Kuliah Kerja Lapangan (KKL) tahun ini, saya pun mengurus nilai. Sebab jumlah SKS, dan transkip nilai menjadi syarat dalam pendaftaran. Kedua hal ini sangat memerlukan tanda tangan Kaprodi dan Cap Prodi.
Saya pun nekat juga.
Baju kaos saya tipu dengan jaket berban kain
Dan tetao memakai celana kain tapi agak botol dikit
Sepatu kets saya yang paling keyen itu. Talinya kemanakemana.
Masuk ruangan saya di sambut salah seorang dosen laki-laki.
"Eh tak bole, tak bole" saya masih maju jalan grak
"mau transkip nilai pak"
"eh tak bole, baju mu ni.." muka heran
"kamu adap bu ,, dulu" sambil mengarahkan bola matanya pada si Ibu tadi
"Eh-eh sapa tu? Ibu Dosen" suaranya agak meninggi, gaya khas, tapi bukan mau marah. Saya langsung mengarahkan badan sama ibu tadi
"Nindit?" Si Ibu semakin menaikan suara
"Kamu laki atao perempuan?" pertanyaan yang sangat tidak saya duga
Akhirnya saya benar-benar tidak mendapatkan apa yang saya ingin hari itu.
Sabtu, saya berpakaian rapi, seperti yang diingin dosen, tidak lupa pakai sepatu yang berkaki agak tinggi. Ah, sepatu yang menyebalkan.
Terlalu kepedan, sabtu adalah hari libur akademik, lalu kenapa saya datang dengan berpakaian seperti itu. Penampilan saya hanya dilihat oleh gedung tinggi yang baru saja dihuni. :(
Senin, berpakaian rapi seperti yang diinginkan. Lalu masuk ruangan dengan senyum sumringah, membawa berkas untuk diminta tanda tangan, dan kesahihan.
Membekas kesal pagi Senin, sang bapak tak mau lihat, "malas" adalah kata yang diucapkannya. Panas, hati memanas. Lalu mengocehj banyak tak berarah dalam hati. Malas untuk memeriksa kembali dan cari berkas yang lama, biar langusng di kasi cap. Sayang saya tak punya, dan jika ada, tak atau simpan mana.
Hati semakin kesal, malas, adalah kata yang menimbulkan amarah.
Sabar, dan menghembuskan nafas mengajak damai. Perlahan, dan berpikir positif.
Akhirnya melakukan berbagai hal untuk memenuhi berbagai yang diharuskan.
Hingga siang lewat jam 12, saya mendapatkan apa yang diinginkan, sebelumnya saya banyak mendaapatkan ekpresi bersahabat sang bapak. Padahal, si bapak sudah buat saya perang rasa, untuunglah senyuman dengan bicara yang mengenakan mata dan telinga membuat semua reda.
Akhirnya, semua didapatkan.
Berusaha, dan banyak pengalaman.
Meski harus perang rasa, tinggal berpikir, bercengkarama dengan hati.
Bagaimana mengatur emosi, sebab bisa jadi kena batu batu untuk diri.
Manis yang saya rasa ternyata tidak sama ketika saya mau minta tanda tangan transkip di Prodi. Saya yang apesnnya Jumat itu ingat kalau mau minta transkip tapi tak ingat harus pakai kostum yang sesuai dengan aturan Prodi.
tidak boleh sandal jepit
baju kaos
celana lepis.
Hari itu, sorenya saya akan membimbing peserta Perjusami yang diadakan anak Pramuka di Kampus. Jadi saya pikir, saya pakai baju yang santai saja.
Hem ternyata, pikiran saya sangat dangkal. Tidak memikirkan yang lain lagi. Saya kok jadi pelupa sekali ya. Beuh gara-gara penyakit ini, kalau saya kelupaan sesuatu atau apa pun, teman dekat ak ekan bilang "hem, ape si yang tadak kau lupakan tu?" mukanya sambil manyun, bibirnya akan lebarkan sedikit, tapi bibirnya tetap mengatup. Matanya menjadi mata yang sangat pemalas. Sendu-sendu tak kuasa melihat ekpresi saya yang baru ingat kalau ada yang lupa.
Sebab saya mau daftar Kuliah Kerja Lapangan (KKL) tahun ini, saya pun mengurus nilai. Sebab jumlah SKS, dan transkip nilai menjadi syarat dalam pendaftaran. Kedua hal ini sangat memerlukan tanda tangan Kaprodi dan Cap Prodi.
Saya pun nekat juga.
Baju kaos saya tipu dengan jaket berban kain
Dan tetao memakai celana kain tapi agak botol dikit
Sepatu kets saya yang paling keyen itu. Talinya kemanakemana.
Masuk ruangan saya di sambut salah seorang dosen laki-laki.
"Eh tak bole, tak bole" saya masih maju jalan grak
"mau transkip nilai pak"
"eh tak bole, baju mu ni.." muka heran
"kamu adap bu ,, dulu" sambil mengarahkan bola matanya pada si Ibu tadi
"Eh-eh sapa tu? Ibu Dosen" suaranya agak meninggi, gaya khas, tapi bukan mau marah. Saya langsung mengarahkan badan sama ibu tadi
"Nindit?" Si Ibu semakin menaikan suara
"Kamu laki atao perempuan?" pertanyaan yang sangat tidak saya duga
Akhirnya saya benar-benar tidak mendapatkan apa yang saya ingin hari itu.
Sabtu, saya berpakaian rapi, seperti yang diingin dosen, tidak lupa pakai sepatu yang berkaki agak tinggi. Ah, sepatu yang menyebalkan.
Terlalu kepedan, sabtu adalah hari libur akademik, lalu kenapa saya datang dengan berpakaian seperti itu. Penampilan saya hanya dilihat oleh gedung tinggi yang baru saja dihuni. :(
Senin, berpakaian rapi seperti yang diinginkan. Lalu masuk ruangan dengan senyum sumringah, membawa berkas untuk diminta tanda tangan, dan kesahihan.
Membekas kesal pagi Senin, sang bapak tak mau lihat, "malas" adalah kata yang diucapkannya. Panas, hati memanas. Lalu mengocehj banyak tak berarah dalam hati. Malas untuk memeriksa kembali dan cari berkas yang lama, biar langusng di kasi cap. Sayang saya tak punya, dan jika ada, tak atau simpan mana.
Hati semakin kesal, malas, adalah kata yang menimbulkan amarah.
Sabar, dan menghembuskan nafas mengajak damai. Perlahan, dan berpikir positif.
Akhirnya melakukan berbagai hal untuk memenuhi berbagai yang diharuskan.
Hingga siang lewat jam 12, saya mendapatkan apa yang diinginkan, sebelumnya saya banyak mendaapatkan ekpresi bersahabat sang bapak. Padahal, si bapak sudah buat saya perang rasa, untuunglah senyuman dengan bicara yang mengenakan mata dan telinga membuat semua reda.
Akhirnya, semua didapatkan.
Berusaha, dan banyak pengalaman.
Meski harus perang rasa, tinggal berpikir, bercengkarama dengan hati.
Bagaimana mengatur emosi, sebab bisa jadi kena batu batu untuk diri.
Komentar