Setelah beberapa minggu buku
Membaca Sejarah Melayu terbit, saya menitipkan buku tersebut pada seorang teman
untuk Mak di Kampung Sana. Ada tulisan saya tentang kampung di buku tersebut.
Saya yakin, Mak pasti senang. Lama sebelumnya, saya pernah melihatkan dan membacakan tulisan tersebut
pada Emak. Emak antusias sekali mendengarnya, hingga dia bertanya “ade agik
ndak?, ade agik? Bacekanlah agik”.
Emak ternyata senang, saya
menulis tentang Kampung. Emak merasa tidak banyak yang tahu sejarah Kampung dan
menuliskannya. Emak menyarankan saya
untuk menulis tentang kampung lebih banyak. Sebagai penyimpan dokumen terbaik keluarga,
puisi Kampung yang pernah saya bacakan sewaktu SD disarankan sebagai bahan tulisan. Emak juga
yakin, Wak Eman tokoh masyarakat di kampung juga senang dengan tulisan saya
ini. Mengingat hal itu, saya pun mengirim buku tersebut. Biar Mak bisa
membacanya lagi. Biar Mak beli juga, hehehehhe.
Emak pernah tanya “Mane bukunye?
Mau gak bace, beli lah”, dulu saya tidak tahu buku ini akan di bukukan. Mak
tanya buku yang lain.
Jadilah buku dengan cover kuning
berkolaborsi hitam itu tiba di rumah. Tak lama, kakak memberi kabar bahwa buku
tersebut sedang di baca Mak. Terbayang Emak yang mengenakan kacamata dan
berkerut keningnya sedang membaca. Sedang mengenakan mukenah pula, kebiasaan
Mak selesai shalat membaca, Alquran, berzanji, atau bacaaan tentang agama
lainnya. Maklum Psikologi Agamanya fase orang tua. Peace!.
Kakak memberi kabar lagi, Mak
serius membacanya. Dari smsnya, serius mak berlebihan, tetangga sekaligus
merangkap teman karib mak datang, dan berhasil tidak diajak bicara. Alamak, tak segitu e pulak. Habis-habis
masa membacanya, saat listrik di sana mati. Lampu tak menyala. Mak tak bisa
lanjut membaca, dan baru bicara dengan tetangga.
Seminggu masa buku di Kampung.
Kakak memberi kabar Emak menyuruh pulkam. Sungguh sangat aneh sekali. Tumben-tumben emak nyuroh balek.
“Benar, barusan Mak nyuruh kakak
nelpon, nyuruh kau balek” kata kakak meyakinkan.
“Suruh lah Ninda balek, biar dia
liat acara di Tanjong ni” kata menirukan omongan Emak
Kakak bilang di Kampung sana ada
MTQ Kecamatan. Ada keramaian di Kampung. Ada banyak orang yang datang.
Rumah-rumah warga dijadikan tempat menginap kontingen. Rupa-rupanya Mak suruh
pulkam biar nulis tentang hal di sana. Mak rupanya menyumbang Inspirasi.
Inspirasi untuk kampungnya.
Pak Long, panggilan saya untuk
abangnya Emak juga pernah memberi inspirasi tentang Kampung. Sewaktu memberikan
buku Membaca Sejarah Melayu padanya, saya sempat takut-takut. Pernah saya
diceramah agar lebih focus kuliah daripada kegiatan kampus sebagai Jurnalis.
Menangis juga saya waktu itu.
Untunglah buku tersebut
melunakkan hatinya, ada tulisan tentang dirinya saat menerima undian telepon
yang saya tulis. Sewaktu membiacarakan tentang buku itu setelah makan malam.
Pak Long menyikut tangan Mak Long, memberi tahu bahwa ada kisahnya yang saya
tulis di buku tersebut. Dari mimik wajahnya dia tampang senang, syukurlah.
Tapi tetap saja harus focus
kuliah.
“Coba kau tulis tentang Tanjong
burong” daerah paling ujung di kampung. Kepala tanjung, di sana banyak orang
menanam padi di sana. Tapi sekarang sudah berganti pohon kelapa dan tumbuhan
lainnya.
“Tentang pisang di Tanjong tu.
Pisang Tanjong tu paling enak” Pak Long manggut-manggut kepalanya. Dia yakin sekali kalau Pisang Nipa, Pisang
Awak di sana adalah Pisang terenak.
Maklum di Pontianak, Pisang seperti itu kempis-kempis, alias isinya masak
karbit.
*Udah deh Pak Long Jangan narsis
gitu!.
Komentar