“Aku dah dapat gambaran tentang
bapak ini” kata salah satu teman di kelas sebelum kuliah di mulai.
Teman menyebutkan salah satu nama
kakak tingkat yang memberinya informasi. Saya kenal dengan kakaknya, dia teman penghuni tetap di kelas yang
semester lalu itu saya tumpangi. Hanya saya tidak selesai mengikuti
perkuliahan. Penasaran, saya bertanya bagaimana gambaran yang teman tadi
maksudkan.
“Bapak ni, kalau diajak kenalan
dia dia”, sudah pasti dia tidak akan mengajak bapak untuk berkenalan di
pertemuan pertama ini.
Ya, benar. Benar kata teman tadi.
Di kelas kakak tingkat, dosen senior ini memilih untuk tidak mengenalkan diri,
saat kakak-kakak memintanya. Sudah menjadi hal yang lumrah, pertemuan pertama
ada sesi perkenalan antara dosen dan mahasiswanya. Tapi ternyata hal tersebut
tidak berlaku untuk bapak yang sudah 20 tahun menjadi dosen di kampus ini.
Mungkin saat itu banyak yang
tidak tahu siapa dosen yang selalu mengenakan peci putih ini. Mungkin banyak
yang mengenal beliau sebagai dosen senior yang selalu berjalan kaki. Dosen yang
berpenampilan sederhana. Dosen yang biasa datang membawa buku dan amlop besar
berwakna cokelat ditanganya. Dosen yang jika ditawari untuk diantar akan
menolak. Mungkin hanya itu yang mereka tahu, seperti saya, sebelum mengenal
beliau, siapa beliau sebenarnya.
Jika teman yang di kelas saya
yang sekarang ingat, di semester III dulu, kami pernah diberi pengantar oleh salah
satu dosen mengenai kesederhanaan. Orang yang dicontohkan beliau waktu itu
adalah orang yang sekarang mengampuh mata kuliah kapita selekta di kelas kami.
Bapak dosen juga bilang bahwa orang yang sangat ia sanjungi ini adalah
Konsultan Pendidikan. Menurut saya keserhanaan
beliau tidak hanya ia lihatkan dari penampilannya. Tapi juga dari ia
mengenalkan siapa dirinya
Mengenai
dirinya, saya memang tidak tahu banyak. Namun, yang saya tahu dia tidak sekedar
konsultan pendidikan. Dia Tokoh di Kalimantan Barat. Dia tidak hanya ahli di
pendidikan. Budaya, sejarah, Agama, dan kepenulisan dia juga ahlinya. Banyak
tahunya. Bahkan saat bedah buku Abang maspura di Rektorat Untan tahun 2011,
saya sempat mendengar salah satu dosen bertanya pada rekannya, tentang keahlian ilmu beliau. Rekan yang ditanya juga
bingung menjelaskannya.
“Bicara
tentang apapun, beliau tahu” begitu rekan mejawab.
Saya
pernah satu ruangan bersama beliau di suatu acara bedah buku. Salah satu orang
yang membedah buku tersebut adalah beliau. yakni bedah buku Tokoh Pendidikan
Islam di Kalimantan barat, yang ditulis oleh mahasiswa Club Menulis STAIN
Pontianak, dan buku Abang Maspura, buku yang ditulis oleh Nur Iskandar. Di
rumahnya yang menurut saya nyaman di mata itu, beliau mempunyai banyak buku.
Sudah tentu beliau suka dan banyak membaca. Saya lihat dari jendela rumahnya,
banyak sekali buku-buku di salah satu ruangan. Buku-buku tersusun rapi di
raknya. Saya dengar, bacaan beliau tidak
hanya yang ilmiah saja, tidak yang serius saja. Novel karya Habibburahman
El-Shirazy pun beliau baca.
Ahhh, pastinya beliau itu orang hebat di Kalimantan Barat.
Beliau sangat dikenal. beliau itu menginspirasi banyak orang. Beliau Man Of The
Year 2011 Borneo Trbune sebagai Motivator Penulisan Buku. Seperti yang ia
katakan pada mahasiswa di kelas kakak tingkat waktu itu. Saat ada teman meminta
beliau mengenalkan dirinya. Beliau memang tidak mengenalkan diri. Beliau menolak,
beliau hanya bilang, orang-orang mengenali dirinya. Bahkan di perbatasan.
“Saya tidak akan mengenalkan diri saya. Tidak akan saya
lakukan. Ini prinsip” itulah yang saya
tangkap dari pembicaraan beliau.
Ah, makna yang dapat saya ambil adalah dia tidak ingin
mengenalkan dirinya yang terkenal sebagai tokoh Kalimantan Barat, ahli
diberbagai ilmu, bahkan di dunia pendidikan. Dia tidak ingin mengenalkan siapa
dirinya yang sebenarnya.
Biarkan orang mengenal dirinya, dengan cara mereka
masing-masing. Ia terima apa pun tanggapan orang tentang dirinya. “Bahkan
menghina”, kata beliau.
Komentar