Beberapa hari
ini saya semakin sensi sama yang namanya Moge alias motor gede atau motor
besar. Memang aneh dengan sikap saya ini. Tapi, rasa sensi itu semakin
menjadi-jadi, semakin bulat dan tidak meragu. Ditambah lagi dengan hujan yang
semakin hobi turun tanpa memberi isyarat. Mulanya saya tidak suka dengan motor
ini karena dia memakai kopleng, saya tidak bisa memakai motor kopleng. Sudah
belajar tapi tidak berhasil, rumit.
Saya tidak suka, karena saya tidak bisa pakai.
Saya iri dengan abang saya yang bisa pakai. Selain itu saya juga kurang suka
dengan body jok nya yang sedikit menjulang. Boncengan dengan motor seperti ini,
pinggang bisa ngilu, mesti pandai-pandai imbangkan badan. Jika tidak, bisa-bisa
badan yang oleng. Kalau begini, mesti pegangan dengan besi yang dibelakang itu.
Ah, apa itu namanya. Salah satu Comic Stand Up Pontianak bilang, para perempuan
yang boncengan di Moge sudah seperti orang yang sakit Osteoporosis. Saya setuju. Sakit
Tulang, bongkok, mirip orang 70-an. Saya tidak suka dengan boncengan model
seperti orang Osteoporosis, saya
pun semakin sensi sama Moge.
Hah,
Moge juga beraksi saat BBM langka. Para pengecer bisa senyum-senyum saja karena
Moge ini. Tangkinya yang besar, tidak akan menyusahkan mereka untuk antri
membeli premium atau pertamax di Pom. Jika dilarang membawa ken minyak. Oh,
tidak masalah untuk Moge. Moge bisa menampungnya, banyak. Setelah habis dikuras
dan masuk ke dalam ken-ken kecil, Moge bisa kembali lagi ke Pom. Tidak
dilarang, tidak perlu repot-repot membawa ken. Moge egois juga ini, dia tidak
memikirkan bebek atau matic yang tangkinya lebih sedikit. Beuh, saya jadi sensi
lagi sama Moge. Moge bisa memudahkan para pengecer yang bisa dengan mudah
membeli premium dengan jumlah banyak. Dijual lagi, mahal pula, wadooh.
Pontianak
yang sering kali diguyur hujan, dan menyisakan genangan, membuat saya semakin
sensi dengan kuda bermesin ini. Beuh, bagaimana tidak, si Moge dengan sangat
entengnya bisa lewat. Pengendaranya tidak perlu menaikkan kaki, agar tidak
terkena genangan. Lain dengan matic atau bebek, pengendara mesti menaikkan
kakinya agar tidak terkena air genangan atau percikkan. Jelas, lebih rendah
pijakan kakinya. Kaki pengendara bisa nyentuh air. Beda sekali dengan moge, dia
tinggi, pijakan kaki juga tinggi. Jadi Pengendara Moge kecil kemungkinan
terkena percikan air genangan.
Saya
pengguna bebek. Saya merasakan bagaimana harus menaikkan kaki jika ada genangan
air. Mesti sabar-sabar jika ketemu jalan-jalan berair dan lubang-lubang berair.
Pelan-pelan, nanti sepatu, kaos, baju bisa kotor. Mesti hati-hati, khawatir ada
yang terkena percikan air sewaktu saya lewat. Tapi itulah, semakin menyebalkan
dengan apa yang dilakukan si Pengendara Moge. Apa dikarenakan motornya itu
tinggi, kakinya tidak kena air, dia bisa saja dengan santainya mengegas Moge lebih
cepat. Cepat dari bebek atau matic. Jadi, tidak perlu memikirkan percikkan air
yang bisa kena kakinya.
Baiknya
kan, memikirkan juga pengendara yang lain. Pengendara yang terkena percikkan
air karena moge lewat. Seperti Pengendara
seperti saya ini. Padahalkan, kita sama-sama lewat di jalan yang ada genangan
airnya. Sama-sama mau pergi, sama-sama juga mau bersih. Sama-sama mau
laksanakan tugas. Baiknya jangan egois meski sebagai pendengara Moge. Hadohh,
saya jadi berpikir tidak positif sama Moge. Padahal motor atau pengendara lainnya ada juga yang begini. Semoga pengendara Moge
atau pun yang lain, bisa lebih berbaik hati saat melewati genagan air.
Mikir-mikir dengan orang yang disekitarnya juga. Pentingnya lagi jika melewati
saya dan The Master saya itu. Loh, kok saya juga jadi egois ini. Cuma mau saya
saja yang tidak terkena percikan dari Moge, parah ini. Maaf!.
Komentar