Jumat tadi
(13/01/2011) saya dan beberapa anggota Club Menulis bertemu dengan tamu
Istimewa. Ceritanya tamu itu sedang
mencari beberapa buku yang berhubungan Tionghoa. Beruntung, kami bisa
berkenalan dengan tamu ini. Dia berasal dari Kalimantan Barat, kini menjadi
dosen Studi Asia dan Indonesia di Universitas Tasmania, Australia.
“Beasiswa”
katanya waktu itu.
Jujur, saya
bangga sekali bisa bertemu dengan dosen berkulit putih ini. Orangnya ramah dan
mau berbagi pengalaman dan informasi. Ingat sekali saya, sewaktu tiba di
ruangan, dosen berkacamata itu langsung
bersalaman dengan kami, dan menyebutkan namanya.
“ Taufiq”
jabatan tangan perkenalannya sangat
berkesan. Tidak bisa saya
gambarakan dengan jelas bagaimana suaranya. Tapi suaranya itu hem…, meyakinkan
saya, dia orangnya optimis.
Siang itu
masih belum menunjukkan waktu shalat Jumat, namun sudah mendekati. Kresek putih yang berasal
dari Apotik ia letakkan di atas meja. Ada botol mineral terlihat di dalamnya. Ternyata ada juga beberapa tempat obat kosong yang resepnya tertulis di situ.
Obat-obat titipan bibinya. Kemudian, dia langsung
heboh dengan kartu namanya. Saat itu saya
masih dalam keadaan bingung dengan kedatanganya, saya hanya mengikuti alur
tingkah bapak berkulit putih ini.
Seingat saya,
belum sempat dia duduk. Tapi dia langsung beraksi berbagi kartu nama pada kami.
Berbagi kartu nama memang bukan hal yang aneh untuk sebagian orang. Apalagi
orang sepenting Dr. Taufiq. Tapi ini, menjadi ssuatu yang langka untuk saya.
Saya yang belum punya kartu nama itu dan belum pernah saling tukar. Hah,
melihat pak Taufiq membagikan kartu nama, ingin juga rasanya punya. Biar
nantinya, jika ada kenalan dengan orang yang kiranya lama berjumpa lagi, bisa
saling tukar. Bisa dengan mudah menghubunginya. Tidak hilang komunikasi. Lebih memudahkan
kita juga untuk tidak repot-repot bertanya contac person.
“Pak, email
bapaka apa? Pak nomor Hp? Pak asal mana?” waktu-waktu seperti itu bisa
disingkat dengan kartu nama.
“Ini ada
bahasa Indonesianya, waktu itu Yus, ada orang tua yang tidak mengerti bacanya”
kira-kira begitulah kalimat yang ia jabarkan saat dia memberikan kartu nama itu
pada kami.
Wow, kartu
nama yang mencantumkan bahwa dia lecturer
School of Asian languages & Studies University of Tasmania itu,
mempunyai translet di bagian belakangnya. Kartu nama yang tanggap situasi
ya?. Omong-omong, sewaktu saya membaca
nama universitas ini, saya langsung teringat Emak saya yang di Mempawah. Mak
saya namanya Tasmaniah, hebat juga Datok saya ya kasi nama. Nama sebuah pulau di
Asutralia. Dan, ternyata Dosen bergelar Doktor itu juga berasal dari Mempawah.
“Pasar ikan”
Pak Taufiq menyebutkan lokasi rumahnya.
“Pasar Sayok”,
saya meminta persetujuan, bahwa pasar ikan yang ia sebutkan adalah Pasar Sayok
Mempawah. Ah, saya malah kelihatan orang amnesia tingkat rendah, seperti lupa
kedekatan pasar ini yang sebenarnya. Pasar ini kan satu lokasi.
Menyenangkan
lagi, dosen pembimbing mahasiswa Tasmania yang sedang magang di Lombok, Bali
ini, tidak pelit informasi. Banyak cara yang ia sebutkan untuk mendapatkan
beasiswa. Apalagi menurut beliau, anggota Club Menulis mempunyai peluang yang
besar untuk mendapatkannya. Bahasa Inggris, tidak perlu dipermasalahkan, bukan
itu yang nomor satu.
“Potensi” hal
yang utama menurut Pak Taufiq.
“Menulis itu
tidak mudah, buatnya bisa setengah mati” lanjutnya lagi sambil melihat-lihat
buku karya anggota Club Menulis.
Lagi, menulis
memberi peluang besar untuk membuat orang semakin sukses.
Banyak cerita
yang ia berikan pada kami. Banyak inspirasi yang di dapat dari Dr. Taufiq
Tasanaldy. Saya yakin, pertemuan kami waktu itu pasti akan menghasilkan
tulisan. Saya yakin, Siti Hanina, marsita Rd, dan Lina Herliyanti pasti sudah
ancang-ancang membuat tulisan tentang pertemuan ini. Apalagi Hanina, dua buku
yang mencantumkan dia sebagai penulis dibeli oleh Dr Taufiq untuk dibawa ke
Australia. Kisah Pelarian 97 dan Tionghoa di Kalimantan Barat. Bukuku terbang
ke Australia judulnya ini. Hehe, tapi saya kebagi juga euforianya Hanina. Hem
tulisan saya juga ada di buku Tionghoa itu. Untungnya menjadi penulis.
Komentar