“Hati-hati Nda” kata Mia teman
dekat saya, ketika saya pamitan setelah mengantar dia pulang ke asrama Utin
Candramidi. Rabu, 26 Oktober 2011 lalu. Kata “hati-hati Nda”, mengingatkan saya
kembali pada cerita paman dan bibi saya beberapa bulan lalu. Kata-kata ini pun, menjadi kata-kata wajib
yang saya ucapkan, ketika saya berpisah dengan orang lain. Baik itu teman
dekat, orang tua, tetangga, tamu atau siapapun yang berpamitan.
Kata-kata ini memang kata-kata
yang sederhana. Namun, saya merasa bahwa kata-kata sederhana ini bisa mengunggah perasaan siapa saja. Termasuk
paman dan bibi saya tadi. Kata-kata “hati-hati” ini ia dapatkan dari seorang
anak yang baru saja masuk dalam lingkungan keluarga mereka. Seorang anak rantau yang berasal dari Sanggau.
Sengaja “menyerahkan diri” untuk membantu paman dan bibi saya mengurus rumah.
Masak, mencuci, mengepel, menyapu dan mengurus anak bungsu mereka.
Anak ini memang sengaja
“diserahkan” orangtuanya pada paman dan bibi saya. Tapi, paham
serah-menyerahkan ini bukan disebabkan mereka ingin anaknya tersebut bisa
mencari uang sendiri. Namun, lebih pada membebaskan anaknya dari “kebodohan”.
Bapak si anak tidak ingin anaknya
ini bernasib sama seperti anak perempuan yang ada di kampung mereka. Anak di
usia sekolah, memilih untuk menikah muda.
Alasan yang saya dapatkan karena jarak sekolah dengan rumahnya sangat
jauh. Sedangkan bapak si anak ingin anaknya ini bersekolah. Melanjutkan
pendidikan. Bapak pun “menyerahkan”
anaknya pada paman dan bibi saya. Dia tahu paman dan bibi saya dari seorang
guru SMP. Sekolah tempat si anak menimba ilmu waktu itu. Sekolah yang jauh juga
dari tempat tinggal mereka. Tempat tinggal yang mengharuskan orang-orang di
sana naik gunung, jika ingin mendapatkan sinyal telepon seluler.
Guru, si anak memang bukan orang
asing di keluarga paman dan bibi. Dulu dia pernah tinggal bersama paman dan
bibi, dan disekolahkan. Hingga tamat, kemudian kembali ke kampungnya. Mengabdi menjadi
seorang guru SMP, meski honor, meski tamatan SMK.
Singkat cerita si anak pun
tinggal bersama paman dan bibi, dan disekolahkan di salah satu SMA di Mempawah
sana. Anak ini memang anak yang ramah dan penuh perhatian. Dari sikapnya inilah
saya mendapatkan cerita yang membuat paman dan saya dengan bangga
menceritakannya.
“Bu, hati-hati ya” bibi saya bercerita, sambil menirukan gaya dan
raut wajah si anak bicara. Mata bibi saya berair, mungkin telalu banyak tertawa
teringat dengan kepolosan si anak yang memberinya nasihat. Matanya berair, bisa
juga karena ia haru dengan sikap si anak.
Bibi bilang, ia merasa tersentuh
saat si anak berkata seperti itu. Tidak menyangka ia akan mendapatkan kata-kata
itu. Anak yang benar-benar melihatkan perhatiannya. Kata-kata itu bibi saya
dapatkan saat menunggu paman menjemputnya, karena mereka akan pergi ke Pontianak.
Berselang waktu yang tidak terlalu lama, ketika paman saya menelpon rumah, si
anak juga berkata “Pak, hati-hati ya”, pada paman.
“He’e rupenye mamak digitukannye
gak, bukan cume bapak” kata paman saya saat bercerita pada saya dan anaknya
waktu itu. Paman juga tersentuh rupanya mendengar kata-kata itu.
“Ha’a, anak jak ndak kayak gitu”
salut karena mendengar dan melihat kekalutan si anak memberi nasehat.
“Dia tu perhatian” salut mereka
lagi.
Ya, memang sikap dan kata
“hati-hati ya” adalah hal yang biasa. Namun tidak semua orang sempat mengatakan
hal seperti itu, atau mengungkapkan itu sebagai tanda perhatian mereka pada
orang-orang terdekat. Baik itu anak, teman dekat, tetangga atau kenalan yang
lain. Padahal, kata-kata itu bisa sangat berarti untuk orang yang mendapatkan
kata-kata itu. Rasanya seperti ada kasih sayang dalam kata-kata tersebut. Seperti
itulah wajah dan cerita yang saya dapatkan dari paman dan bibi saya. Sesuatu
yang biasa, yang membuat mereka
tersentuh.
Dan, saya juga merasakan hal yang
sama ketika teman saya itu berkata “Hati-hati Nda”.
Komentar