“Cuma kamu yang membuat aku
tersenyum, hari ini”. Ah, kata-kata itu.
Entah kenapa bisa meluncur dari mulutku. Meski sebenarnya, senyumku hari ini
memang gara-gara kamu. Tidak ada yang lain. Eh, ada sih. Tapi, senyum itu
kemudian menjadi sangat tidak bermakna. Setelah beberapa waktu kemudian, aku
merasa kecewa karena hal yang aku takutkan selama ini terjadi. Ketakutan itu,
mencambukku hari ini. Meski itu masih sangat ambigu. Tapi, aku yakin, ini
salahku. Aku yang selama ini tidak bisa menjalin hubungan baik pada mereka yang
sangat aku cinta.
“Ah”, penyesalan yang ku ulang.
Kita melajutkan pembicaraan yang
biasa kita bahas. Sedang apa?, adalah pertanyaan yang setiap hari kamu berikan
padaku. Ilmu gombal yang entah darimana aku dapat, membuat aku dengan entengnya
menjawab, “sedang mikirin kamu lah”. Aneh.
Aneh karena aku bisa dengan sangat enteng menjawab seperti itu. Aneh, kenapa
hanya kamu yang membuat aku tersenyum hari ini.
“Pacar kamu nggak ada sms?”. Tiba-tiba, kamu bertanya padaku.
Aku tersenyum. Aku tahu, kamu
mengejekku. Tapi, ejekanmu itulah salah satu sebab membuat aku tersenyum. Kok
kamu yang ingat ya?. Aku saja sudah lupa, tentang pacarku itu.
Beberapa hari yang lalu, aku
bercerita padamu. Aku bertemu dengan seorang teman lama. Dulunya dia pernah
menawarkanku untuk jadi pacarnya. Kalimat yang sangat biasa, ketika seorang
mengungkapkan keinginananya pada orang yang ingin dia jadikan pacar.
“Kamu mau jadi pacar aku?”.
Eh, aku betulkan. Dia menawarkan.
Mau?. Waktu itu aku tidak menjawab mau atau pun tidak. Aku hanya memberi
syarat.
“Dalam waktu satu minggu kamu
buat tulisan, yang berisi 200 kata setiap hari. Terserah, tulisan apa”.
Aku tahu, itu pasti berat
untuknya. Tapi, aku kan cuma mau bantu. Selama ini ia bercerita tentang masalah-masalahnya.
Satu diantaranya, tentang kuliah. Dia yang kuliah di jurusan media, membuat aku
mempunyai ide seperti itu. Siapa tahu, itu menjadi cara untuk dia menyelesaikan
masalah kepenulisannya.
Sifatnya yang mudah menyerah
membuat ia terus-terusan punya masalah. Syaratku tentu menjadi masalah besar
juga untukknya.
Setelah beberapa hari. Dia tidak
pernah lagi muncul. Tidak tau apa sebabnya. Tapi itu artinya aku berhasil.
Berhasil membuat jawaban “tidak”, yang jawaban itu dia sendiri yang
menjawabnya. Sayangnya, itu semua bukan mengartikan bahwa pertemanan antara
kami bisa senggang.
Kemarin itu, aku berjumpa lagi.
Kami berbicara tentang hal yag sangat sederhana, sekedar untuk berbasa-basi.
Tidak lama perbincangan itu, tidak sampai 15 menit. Kemudian ia pamitan. Tiga
puluh menit kemudian dia, berbasa-basi lagi. Lewat sms. Lama juga sms itu
berlanjut. Hingga dia memintaku lagi untuk jadi pacarnya.
“Cuma tiga minggu”, dia bilang
begitu.
“Kenapa mesti begitu?”, tanyaku
heran.
“Please!”.
Dia minta tolong, aku menjadi
pacarnya selama tiga minggu saja. Dia memintaku menjadi pacar bohongan.
Pura-pura, tepatnya.
“Tapi, tidak ada acara
jalan-jalan” lanjutku.
“Iya”, dia setuju,
Waktu aku cerita sama kamu. Kamu
tanya, mengapa aku mau?. Enteng saja alasannya. Dia cuma minta tolong. Lagi
pula tidak ada acara jalan-jalan. Jadi, aku tidak perlu bertemu denganya juga.
Dia tidak menghubungiku, juga tidak masalah. Biarlah, dia ngaku-ngaku aku jadi pacarnya.
Toh, Cuma dia yang anggap. Aku kan tidak. Dia juga pasti punya alasan, meski
tidak dijabarkannya. Punya masalah, itu saja alasannya. Sebagai temannya, aku cuma bantu.
Lagi-lagi kamu mengejekku.
“Kamu saja ya?” aku tanyakan itu
padamu
“Nanti pacarmu cemburu”, kamu
mengejekku, lagi.
“biarin!” aku tidak peduli.
Sekarang, aku yang menawarkanmu.
Kamu tinggal bilang, ya atau tidak. Bukan bohongan, dan tidak untuk tiga
minggu. Jika bisa selamanya.
“Kamu aja jadi pacarku”, kamu
tersenyum. Aku mengulang kalimat kamu yang dulu.
Kamu, yang kini menjadi kekasih.
Komentar