Cerita ini didapat dari selembar kertas yang memang mengisahkan sejarah kampung Tanjung. Kisah itu diterbitkan saat memperingati Ulang Tahun kampung Tanjung yang ke 221 di tahun 2002 yang lalu. Disusun oleh Himpunan Pemuda Pemudi (HIPAPI) Kelurahan Tanjung. Selain itu, cerita ini juga diambil dari cerita orang-orang tua yang sedikit banyaknya mengetahui sejarah ini.
Sekita tahun 1772 M, datanglah kerabat Opu Daeng Menambon dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan ke Mempawah. Pada saat itu, Opu Daeng Menambon telah menjadi raja di kerajaan Mempawah. Dari rombongan itu, ada yang bernama Daeng Haji Brahima yang biasa dipanggil dengan Haji Tuah.
Setelah lama Haji Brahima datang ke Mempawah, ia pun diusulkan oleh penembahan kerajaan Mempawah untuk pergi ke Pontianak, mendatangi Sultan Syarif Abdurrahman yakni menantu Opu Daeng Menambon. Kedatangannya ke Pontianak itu bertujuan untuk menanam kelapa dan menetap ditempat tersebut.
Bersama anak dan istrinya serta kawannya yang bernama Pak Jamila (Jamila diambil dari nama anaknya), Daeng Haji Brahima pergi ke Pontianak. Pada zaman itu, perantauan Bugis memang membanjiri Kalimantan Barat. Mereka menjadi penduduk, membuka pemukiman di kawasan pantai dan menguasai tanah sekitar.
Pada saat menuju Pontianak, ketika rombongan Daeng Haji Brahima keluar dari muara sungai Mempawah. Mereka ditimpa hujan yang deras beserta angin kencang (hujan ribot). Maka, rombongan berlindung di pesisir pantai Kepala Tanjung. Setelah berhenti dan cuaca membaik rombongan Daeng Haji Brahima turun ke darat untuk makan siang.
Sebagaimana pelayar lainnya, rombongan Daeng haji Brahima juga membawa bekal makanan. Sayur yang tahan lama adalah makanan yang sering dibawa seperti ubi, keladi dan keribang.
Maka, untuk makan siang mereka pun memasak sayur yang mereka bawa itu. Sayur Keribang, adalah adalah makanan kesukaan istri Daeng Haji Brahima. Karena saking sukanya istri Daeng Haji Brahima itu pada sayur keribang, maka ia dikenal dengan Mak Keribang.
Setelah mereka makan siang, cuaca sudah membaik dan memastikan air laut tenang. Rombongan pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Pontianak.
Sesampai disana, Daeng Haji Brahima mencari lokasi yang cocok untuk ditanami kelapa di sekitar kerajaan Sultan Syarif Abdurrrahman. Namun daerah yang baru mereka temukan itu, tidak ada yang cocok untuk ditanami kelapa. Sehingga setelah bberapa bulan mencari lahan di Pontianak, akhirnya rombongan Daeng Haji Brahima, memutuskan untuk kembali ke Mempawah.
Setelah beberapa minggu rombongan tiba di Mempawah, Daeng Haji Brahima teringat dengan daerah tempat dia beserta rombonganya berlindung dari hujan ribot, yakni Kepala Tanjung. Maka, tergerak lah hati Daeng Haji Brahima untuk kembali ke tempat tersebut, dengan tujuan untuk mengetahui apakah daerah itu cocok atau tidak untuk menanam kelapa.
Tiba di Kepala Tanjung, Daeng Haji Brahima mendapatkan pandangan yang luar biasa. Daeng Haji Brahima menemukan tumbuhan Keribang di tempat ia dan rombongannya berlindung beberapa minggu yang lalu. Tumbuhan itu tumbuh, dari bekas irisan sayuran yang mereka masak. Bahkan, Keribang itu sudah berisi umbinya.
Melihat hal itu, Daeng Haji Brahima mempunyai kesimpulan bahwa daerah Kepala Tanjung memiliki tanah yang subur dan cocok untuk ditanami kelapa. Daeng Brahima pun langsung menceritakan apa yang ia temukan itu pada kerabat-kerabatnya. Sehingga ia memutukan untuk membuka lahan baru di tempat itu. Seperti tujuan utamanya, ia akan menanam kelapa di daerah Kepala Tanjung.
Sebelum membuka lahan, Daeng Haji kerabatnya mencari tahu tentang kondisi Kepala Tanjung. Terutama berkaitan dengan adanya cerita mahluk halus yang menghuni Kepala Tanjung ( Maklom jaman dulu Utan semue). Maka pergila Daeng Haji Brahima menemui orang pandai, meminta petuah bagaimana cara yang baik untuk membuka lahan Kepala Tanjung.
Didapatkanyalah petuah yang diharapkan. Dimana ketentuan untuk membuka lahan, yakni: Pada hari Kamis di awal bulan Syafar, bacalah Tolak bala, tahlil dan doa lainnya serta mengakhirinya dengan Adzan. Lakukan tiga kali berturut-turut setiap minggunya, pada hari Kamis. Jangan pula lupa untuk membawa makanan-makanan kecil berupa ketupat dan kue-kue lainnya”, kue yang dibawa itu dimakan bersama-sama.
Maka pada hari Kamis, pada tanggal 04 Syafar 1112 tahun 1773 M. Tolak Bala mereka melakukan, tempat mereka melakukan Tolak Bala ini, sama dengan tempat yang sekarang ini digunakan untuk Tolak Bala. Nama Tolak Bala itu pun di sebut dengan Tolak Bala Pokok BuLo.
Maka setelah, melakukan Tolak Bala Daeng Haji Brahima bersama kerabatnya pak Jamila mulai menebang hutan dan membuka kampung di daerah Kepala Tanjung dan bernama Kampung Tanjung. Hingga kini pula, tradisi Tolak Bala tetap dilaksanakan oleh masyarakat Tanjung. Terutama keturunan Daeng Haji Brahima dan pak Jamila.Tolak Bala pun tetap dilaksanakan di tempat yang sama. Di daerah bagian tengah Kampung Tanjung. Kampung kita yang kita kenal dengan bagian Ujong, dan Pokok.
Kini, Kampung Tanjung telah bergelar Kelurahan Tanjung. Dimana dulu kampung yang penuh hutan itu kini telah dipadati bangunan penduduk, bahkan bangunan untuk kesehatan, pendidikan serta pemerintahan. Seperti yang diinginkan Daeng Haji Brahima, Pohon-pohon kelapa tumbuh subur di daerah ini. Bahkan tertata dalam kebun dan menjadi penghasilan untuk masyarakat Kampung Tanjung. Tidak hanya penghasilan tanahnya saja, dari airnya di daerah laut sana, banyak sekali rezeki yang diapatkan dari sana.
Terima kasih Daeng Haji Brahima, terima Kasih Pak jamila. Kalian telah memberi kami kampung subur dan penuh kedamaian. Akan kami jaga untuk anak dan cucu kami nanti.
Kalaulah ade, yang salah mohon lah dimaafkan, baeknye kite same-same membenarkan. Yang punye pengetahuan lebih, yok lah kite ceritekan, dibagikan dalam lewat tulisan.
Sekita tahun 1772 M, datanglah kerabat Opu Daeng Menambon dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan ke Mempawah. Pada saat itu, Opu Daeng Menambon telah menjadi raja di kerajaan Mempawah. Dari rombongan itu, ada yang bernama Daeng Haji Brahima yang biasa dipanggil dengan Haji Tuah.
Setelah lama Haji Brahima datang ke Mempawah, ia pun diusulkan oleh penembahan kerajaan Mempawah untuk pergi ke Pontianak, mendatangi Sultan Syarif Abdurrahman yakni menantu Opu Daeng Menambon. Kedatangannya ke Pontianak itu bertujuan untuk menanam kelapa dan menetap ditempat tersebut.
Bersama anak dan istrinya serta kawannya yang bernama Pak Jamila (Jamila diambil dari nama anaknya), Daeng Haji Brahima pergi ke Pontianak. Pada zaman itu, perantauan Bugis memang membanjiri Kalimantan Barat. Mereka menjadi penduduk, membuka pemukiman di kawasan pantai dan menguasai tanah sekitar.
Pada saat menuju Pontianak, ketika rombongan Daeng Haji Brahima keluar dari muara sungai Mempawah. Mereka ditimpa hujan yang deras beserta angin kencang (hujan ribot). Maka, rombongan berlindung di pesisir pantai Kepala Tanjung. Setelah berhenti dan cuaca membaik rombongan Daeng Haji Brahima turun ke darat untuk makan siang.
Sebagaimana pelayar lainnya, rombongan Daeng haji Brahima juga membawa bekal makanan. Sayur yang tahan lama adalah makanan yang sering dibawa seperti ubi, keladi dan keribang.
Maka, untuk makan siang mereka pun memasak sayur yang mereka bawa itu. Sayur Keribang, adalah adalah makanan kesukaan istri Daeng Haji Brahima. Karena saking sukanya istri Daeng Haji Brahima itu pada sayur keribang, maka ia dikenal dengan Mak Keribang.
Setelah mereka makan siang, cuaca sudah membaik dan memastikan air laut tenang. Rombongan pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Pontianak.
Sesampai disana, Daeng Haji Brahima mencari lokasi yang cocok untuk ditanami kelapa di sekitar kerajaan Sultan Syarif Abdurrrahman. Namun daerah yang baru mereka temukan itu, tidak ada yang cocok untuk ditanami kelapa. Sehingga setelah bberapa bulan mencari lahan di Pontianak, akhirnya rombongan Daeng Haji Brahima, memutuskan untuk kembali ke Mempawah.
Setelah beberapa minggu rombongan tiba di Mempawah, Daeng Haji Brahima teringat dengan daerah tempat dia beserta rombonganya berlindung dari hujan ribot, yakni Kepala Tanjung. Maka, tergerak lah hati Daeng Haji Brahima untuk kembali ke tempat tersebut, dengan tujuan untuk mengetahui apakah daerah itu cocok atau tidak untuk menanam kelapa.
Tiba di Kepala Tanjung, Daeng Haji Brahima mendapatkan pandangan yang luar biasa. Daeng Haji Brahima menemukan tumbuhan Keribang di tempat ia dan rombongannya berlindung beberapa minggu yang lalu. Tumbuhan itu tumbuh, dari bekas irisan sayuran yang mereka masak. Bahkan, Keribang itu sudah berisi umbinya.
Melihat hal itu, Daeng Haji Brahima mempunyai kesimpulan bahwa daerah Kepala Tanjung memiliki tanah yang subur dan cocok untuk ditanami kelapa. Daeng Brahima pun langsung menceritakan apa yang ia temukan itu pada kerabat-kerabatnya. Sehingga ia memutukan untuk membuka lahan baru di tempat itu. Seperti tujuan utamanya, ia akan menanam kelapa di daerah Kepala Tanjung.
Sebelum membuka lahan, Daeng Haji kerabatnya mencari tahu tentang kondisi Kepala Tanjung. Terutama berkaitan dengan adanya cerita mahluk halus yang menghuni Kepala Tanjung ( Maklom jaman dulu Utan semue). Maka pergila Daeng Haji Brahima menemui orang pandai, meminta petuah bagaimana cara yang baik untuk membuka lahan Kepala Tanjung.
Didapatkanyalah petuah yang diharapkan. Dimana ketentuan untuk membuka lahan, yakni: Pada hari Kamis di awal bulan Syafar, bacalah Tolak bala, tahlil dan doa lainnya serta mengakhirinya dengan Adzan. Lakukan tiga kali berturut-turut setiap minggunya, pada hari Kamis. Jangan pula lupa untuk membawa makanan-makanan kecil berupa ketupat dan kue-kue lainnya”, kue yang dibawa itu dimakan bersama-sama.
Maka pada hari Kamis, pada tanggal 04 Syafar 1112 tahun 1773 M. Tolak Bala mereka melakukan, tempat mereka melakukan Tolak Bala ini, sama dengan tempat yang sekarang ini digunakan untuk Tolak Bala. Nama Tolak Bala itu pun di sebut dengan Tolak Bala Pokok BuLo.
Maka setelah, melakukan Tolak Bala Daeng Haji Brahima bersama kerabatnya pak Jamila mulai menebang hutan dan membuka kampung di daerah Kepala Tanjung dan bernama Kampung Tanjung. Hingga kini pula, tradisi Tolak Bala tetap dilaksanakan oleh masyarakat Tanjung. Terutama keturunan Daeng Haji Brahima dan pak Jamila.Tolak Bala pun tetap dilaksanakan di tempat yang sama. Di daerah bagian tengah Kampung Tanjung. Kampung kita yang kita kenal dengan bagian Ujong, dan Pokok.
Kini, Kampung Tanjung telah bergelar Kelurahan Tanjung. Dimana dulu kampung yang penuh hutan itu kini telah dipadati bangunan penduduk, bahkan bangunan untuk kesehatan, pendidikan serta pemerintahan. Seperti yang diinginkan Daeng Haji Brahima, Pohon-pohon kelapa tumbuh subur di daerah ini. Bahkan tertata dalam kebun dan menjadi penghasilan untuk masyarakat Kampung Tanjung. Tidak hanya penghasilan tanahnya saja, dari airnya di daerah laut sana, banyak sekali rezeki yang diapatkan dari sana.
Terima kasih Daeng Haji Brahima, terima Kasih Pak jamila. Kalian telah memberi kami kampung subur dan penuh kedamaian. Akan kami jaga untuk anak dan cucu kami nanti.
Kalaulah ade, yang salah mohon lah dimaafkan, baeknye kite same-same membenarkan. Yang punye pengetahuan lebih, yok lah kite ceritekan, dibagikan dalam lewat tulisan.
Komentar