Langsung ke konten utama

Ketupat Enggang buatan Nenek




Sudah lama Aku tidak melihat suasana seperti ini. Mungkin, sudah lima tahun. Dulu, sewaktu Aku kecil Aku suka ikut Abangku ke tempat itu. Bersama-sama membincing ceper yang dibungkus dengan kain persegi empat. Padahal, Bapak sudah membawa Ceper lain, yang ukuranya jauh lebih besar dari punya kami. Namun, yang terpenting untuk kami, bukan bungkusan ceper. Melainkan isi yang ada di dalam bungkusan ini.
Bungkusan yang kami punya, memang kecil dan ringan. Isinya juga tidak banyak. Satu jenis makanan saja, dan hanya dua buti’. Satu untukku, dan satu untuk Abang. Berbeda dengan punya bapak, yang cepernya lebih besar itu. Bapak biasa membawa kue Bingke berendam, Roti Kap, Doko-doko dan Ketupat lemak. Meski Bapak lebih banyak, kami sangat senang dengan apa yang kami bawa. Makanan, yang kami bawa ini, sangat berharga untuk kami. Selama kami ikut, ke acara itu, kami belum pernah melihat orang-orang membawa makanan, seperti yang kami bawa. Ketupat burung Enggang. Bangga.
Ketupat burung Enggang, sebenarnya ketupat yang berisi pulut putih yang direbus dengan santan. Ketupat ini, disebut dengan ketupat lemak. Namun, ketupat lemak milik kami berbeda. Bentuknya, tidak seperti kelayang, tapi mirip dengan burung. Nenek memang sengaja membuatkanya untuk kami. Nenek bilang, ketupat ini dinamakan ketupat burung Enggang. Kami tidak tahu, bagaimana rupa burung Enggang. Pastinya, ketupat buatan Nenek memiliki ekor yang panjang dan menjuntai. Nenek, juga bilang burung Enggang adalah burung daerah. Daerah Kalimantan Barat.
”Ape yang kita’ bawa?”, tanya orang-orang kampung biasanya. Penuh dengan kebanggaan, berteriak, senyum dan serempak, kami menjawab;
”Ketupat burung Enggang, buatan Nenek”.
“Cuman dua’ tak boleh bagi orang laen agik”, Abang selalu berkata seperti itu, jika ada yang bertanya.
“Sekek, eh”. Kadang orang-orang yang bertanya, balik menimpali jawaban Abang dengan kata itu, sekek yang artinya pelit.
Kami, rasa kami wajib sekek. Sudah jelas ketupat kami hanya dua saja. Tidak bisa lagi berbagi dengan orang lain. Lagi pula rasa ketupatnya juga sama dengan ketupak lemak lainnya.
“Minta same Bapak jak, ketupat e same. Buatan Nenek”. Aku juga selalu bilang seperti itu, jika ada yang meminta ketupat burung Enggan buatan Nenek.
Nenek, raut mukanya masih jelas dalam ingatanku. Siput rambutnya yang rapi. Bibirnya yang merah karena sirih, hidungnya juga mancung. Nenekku yang cantik, yang selalu memakai kebaya dengan kain batik, sepadan dengan warna bajunya. Sayangnya, cantinya Nenek tidak terturun padaku. Rapinya juga, dan pandainya tangan Nenek membuat karya. Bunga tali rapiah, Ketupat, Tikar Pandan bahkan, Nenek juga liha membuat Tempirai, dan Bubu penangkap ikan. Huhft!. Nenek, Aku bangga padamu.
Nenek sayang pada kami, dan kami tahu itu. Ketupat burung Enggang yang selalu ia buatkan adalah salah satu bukti dari kasih sayangnya pada kami. Meski, penglihatanya sudah tidak jelas, ia tetap menganyam daun kelapa yang masih muda itu, menjadi blasong ketupat burung enggang. Biasanya, jika Nenek sedang menganyam ketupat, kami membantu Nenek menyiapkan sirihnya. Aku bertugas, membungkus kapur, pinang dan gambir di dalam sirih. Sedangkan Abang, ia lebih suka menumbuk sirih. Agar mudah untuk Nenek kunyah.
”Hah, Aku benar-benar rindu Nenek”, Batinku memanja. Kerinduanku, padanya sudah tidak bisa Aku lampiaskan dalam dekapanya. Usiaku yang kini sudah mencapai 20 tahun, menyamakan 10 tahun, kepergian Nenek menghadap sang Khalik. Hingga Aku sengaja menunggu hari ini. Hari kamis di awal bulan Syafar.
Kerinduan pada Nenek lah, yang membuatku menyempatkan diri untuk pulang kampung. Meski hanya beberapa hari. Aku tahu, meski Aku pulang berminggu-minggu lamanya, Aku tetap tidak bisa lagi melihat Nenek dan memakan burung Enggang itu. Tapi, paling tidak Aku bisa menghilangkan rasa rinduku itu, dengan melihat suasana ini. Lagi pula, setelah Nenek meninggal, Aku dan Abang memang sudah tidak lagi bisa memakan ketupat itu. Ya, kami memang sudah terbiasa dengan keadaan ini. Sudah sepuluh tahun. Tapi, lima tahun terakhir jangankan untuk makan ketupat burung Enggang, melihat suasana ini pun Aku sudah tidak pernah lagi. Merantau untuk belajar, itulah alasannya.
”Ape yang kita’ bawa?”, tanya orang-orang kampung biasanya. Penuh dengan kebanggaan, berteriak, senyum dan serempak, kami menjawab;
”Ketupat burung Enggang, buatan Nenek”.
“Cuman dua’ tak boleh bagi orang laen agik”, Abang selalu berkata seperti itu, jika ada yang bertanya.
“Sekek, eh”. Kadang orang-orang yang bertanya, balik menimpali jawaban Abang dengan kata itu, sekek yang artinya pelit.
Kami, rasa kami wajib sekek. Sudah jelas ketupat kami hanya dua saja. Tidak bisa lagi berbagi dengan orang lain. Lagi pula rasa ketupatnya juga sama dengan ketupak lemak lainnya.
“Minta same Bapak jak, ketupat e same. Buatan Nenek”. Aku juga selalu bilang seperti itu, jika ada yang meminta ketupat burung Enggang buatan Nenek. Semua itu, masih segar dalam memori otakku. Aku dan Abang yang benar-benar menikmati masa kecil di Kampung ini. Nenek memang pandai menarik minat kami, untuk ikut serta melestarikan budaya kampung kami.
Dengan busana muslim seadanya, Aku dan Abang menuju tikar panjang yang telah dihampar. Seprah, begitulah namanya. Di tikar itu, orang-orang akan duduk bersama dan berhadapan. Membaca doa-doa dan mengakhirinya dengan kumandang Adzan.
Aku tidak tahu, doa-doa apa yang dipanjatkan oleh orang-orang kampung. Tapi, Aku tahu, kami sedang memohon pada yang kuasa untuk terus melindungi kami. Dari Bala’, atau bahaya. Dalam ketidaktahuanku dengan doa-doa yang dibacakan, Aku tetap ikut mengamini. Memohon perlindungan. Aku juga berdoa sambilan, yakni Aku sambil berdoa agar Nenek selalu bisa bersama kami. Jika Nenek, selalu bersama kami, itu artinya kami selalu bisa memakan ketupat burung Enggang.
Abang.
”Deeeek, deeeek, nyaaa!”.
Abang berlari. Ia terbirit-birit sambil mengangkat kain sarungnya. Abangku, yang umurnya hanya beda satu tahun denganku itu membawakan ketupat burung Enggang padaku. Ketupat yang ikut dibacakan doa oleh kaum laki-laki di Kampungku. Saat Tolak Bala berlangsung, Aku sudah tidak bersama Abang. Tapi, Aku sengaja meninggalkan diri di rumah Wak Eman. Melihat, acara Tolak Bala dari teras rumahnya. Rumah Wak Eman tidak jauh dari tempat tolak bala dilaksanakan. Sudah menjadi aturanya, Tolak Bala hanya diikuti oleh laki-laki saja.
Dulu, Aku hanya tahu, bahwa Tolak Bala di kampung ini adalah kebiasaan orang kampung saja. Adatnya orang Tanjung, masyarakat di kampungku. Tapi, kini Aku juga tahu, sejarah dari ini semua. Tolak Bala Pokok Bulo, tidaklah tertuju pada Pokok Bulonya. Namun,lebih pada lokasi, adanya Pokok Bulo itu.
Tolak bala dilaksanakan sebelum membuka perkampungan. Dulu, kampung ini adalah hutan. Daeng Haji Brahima, atau yang dikenal dengan Haji Tuah bersama temannya Pak Jamila, membuka perkampungan yang disebut dengan Kampung Tanjung ini. Mereka adalah orang-orang Bugis perantauan, kerabat dari Opu Daeng Menambon, raja di kerajaan Mempawah.
Kedatangan, mereka ialah ingin membuka hidup baru di Kalimantan barat. Bercocok tanam, dengan berkebun pohoh kelapa. Hingga akhirnya, Haji Tuah dan Pak Jamila menemukan daerah kepala Tanjung. Namun, sebelum membuka lahan ini, mereka memutuskan terlebih dahulu mencari informasi mengenai kondisi daerah. Terutama yang berkaiatan dengan maluk halus. Hingga akhirnya mereka meminta petuah, mengenai cara yang baik untuk membuka lahan hutan, menjadi perkampungan.
Haji Tuah dan Pak Jamila mendapatkan petuah itu, yakni; Pada hari Kamis, di awal bulan Syafar, bacalah doa Tolak Bala, tahlil dan doa lainya serta diakhiri dengan adzan lAkukan tiga kali berturut-turut setiap hari Kamis dan jangan lupa membawa makanan kecil berupa ketupat dan kue-kue lainnya.
Jadi, jika tiba masa Tolak Bala dilakukan, orang-orang Kampung akan sibuk membuat kue-kue untuk dibawa, dan dimakan bersama di Seprahan itu. Untuk itu pula, ketupat burung Enggang, selalu Nenek buatkan untuk kami.
Setelah Tolak Bala dilakukan, oleh Haji Tuah dan Pak Jamila terbentuklah kampungku ini. Kampung Tanjung Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak. Ya, hingga kini Tolak Bala tetap dilaksanakan oleh masyarakat Tanjung, khususnya keturunan Haji Tuah dengan Pak Jamila. Dimana lokasinya tidak berubah, sejak kali pertama Haji Tuah dan Pak Jamila mengadakan Tolak Bala. Sejak kamis 4 Syafar 1112 tahun, 1772 M lalu.
Jika, Haji Tuah dan Pak Jamila tidak membuka perkampungan, jika Haji Tuah tidak mencari petuah untuk membuka kampung. Sudah pastinya Aku tidak pernah merasakan nikmatnya ketupat buatan Nenek. Ketupat burung Enggang. Jelas, tidak ada mereka tentu tidak ada pula Aku.
Kamis ini, baru kamis pertama dilaksanakannya Tolak Bala. Masih, ada dua kali lagi Tolak Bala, sebelum Ritual Robo’-robo’ di Kuala. Rasanya, Aku ingin mencari orang yang bisa mengajarkan Aku membuat ketupat burung Enggang. Agar Aku bisa membuatkan untuk keponakanku, yang sekarang sudah mulai ikut bapaknya pergi Tolak Bala.




LATAR BELAKANG
Tolak Bala Pokok Bulo, adalah ritual yang kerap dilakukan oleh masyarakat Kampung Tanjung, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak. Sejarahnya, ritual ini adalah petuah yang mesti dilaksanakan untuk pembuka kampung, yakni Daeng Haji Brahima bersama temannya Pak Jamila (nama yang diambil dari nama anaknya).
Pada tanggal 04 bulan Syafar, atau pada tahun 1772, ritual ini resmi dilaksanakan. Tolak Bala dilakukan di tempat, Haji Tuah dan Pak Jamila kali pertama melakukan Tolak Bala. Jadi, hingga saat ini, Tolak Bala tetap dilakukan di tempat yang sama. Khususnya keturunan Daeng Haji Brahima dan Pak Jamila.
Namun, Tolak Bala yang bagian dari cipta, karya leluhur kampung ini, secara umum hanya diketahui oleh masyarakat setempat saja. Bahkan, untuk generasi mudanya banyak yang tidak tahu, apa maksud dan sejarah adanya ritual Tolak Bala ini. Bertujuan untuk, mengenalkan sejarah dan budaya di kampung Tanjung, serta melestarikan budaya itu, agar tetap terjaga oleh keturunan selanjutnya.
Cerita dengan latar belakang sejarah ini, memang sengaja dikemas dengan mengenalkan makanan-makan khas kampung. Agar makanan tradisional itu, dapat eksis di era modern yang kerap memunculkan resep-resep baru. Antara lain makanan-makanan itu ialah Bingke Berendam, Doko’-doko’, Roti Kap dan Ketupat Lemak. Selain itu, Ketupat Lemak yang disebut dengan ketupat burung Enggang ini, juga diharapkan dapat lebih mengekpos Burung Enggang yang dikenal sebagai Ikon Kalimantan Barat.

Komentar

Anonim mengatakan…
sama disemua perkampungan pesisir yang dibuka oleh pendatang bugis, pasti ada acara tolak bala.
Teluk Pakedai Kab. Raya sejak ratusan tahun lalu acara tolak bala dilakukan setiap tahun tapi bukan pada tanggal tertentu bertepatan dibukanya kampung tersebut, tapi setiap awal musim tanam padi dan setelah panen. menua utama seperti itu, ketupat, dan untuk anak2 pasti dibuatkan ketupat burung yg terkadang basi tidak dimakan saking sayangnya.

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau