Langsung ke konten utama

Mengingat Bapak (terbit di Pontianak Post)

“Hhuaaap”, kugosok mataku yang masih menyipit, memandang keadaan di luar rumah dari jendela papan yang telah dibuka Emak sebelum Adzan subuh. Kata Emak membuka jendela atau pintu lebih awal akan mendapatkan rezeki dengan mudah. Malaikat membagi rezeki ketika pagi dan rumah-rumah yang telah terbuka akan disinggahi malaikat.
Entah apa maksudnya, aku tak terlalu mengerti. Yang aku tahu jika pagi tiba, yang kutunggu adalah kue-kue yang tergantung di pintu kelambu. Bapak biasanya menggantung kue dan permen di pintu kelambu itu. Maka ketika aku bangun, aku akan langsung melihat kue-kue itu. Senang rasanya.
Setiap pagi aku selalu merengek memanggil emak, minta gendong, atau dihusapkan wajahku yang masih lemas karena kantuk. Aku si bungsu, saudaraku ada dua, dua-duanya perempuan. Mereka tidak tinggal dengan kami, mereka tinggal dikampung sebelah, ditempat nenek. Kakak-kakaku tidak ada di rumah, karenanya bapak sangat memanjakan aku. Kata ibu, kue yang biasa tergantung di kelambuh tak pernah dilihat kakaku sewaktu mereka masih kecil, hanya aku saja yang biasa mendapat kejutan pagi itu dari bapak.
Tak bermaksud untuk pilih kasih, tapi itu dikarenakan jarak usia kakak pertama dan keduaku hanya berbeda 1 tahun. Jadi! kalau menggantung kue untuk mereka, maka keduanya harus dapat. Sedangkan bapak tak punya uang cukup untuk membeli kue dengan jumlah yang lebih banyak. Jikalau aku, aku si bungsu tak punya adik, kakakpun sudah besar. Mereka telah mengenyam pendidikan, kakak pertamaku sekarang sekolah SMK katanya, dan yang kedua SMP.
“Mm masih kelabu”.
Aku bergumam sendiri di dalam kelambu yang penuh tampalan jahitan. Lusuh sekali, warnanya sudah tak putih. Tampak bintik-bintik hitam menyebar, dan berkelompok, meski tak terlalu banyak tapi merusak pemandangan juga.
Mataku masih menyipit, kukuatkan untuk tetap celang. Kubangkitkan badanku, menggeliut.
“Huaaaap”
Aku menguap, lagi. Sangat lepas. Tak ada tangan yang kuperintahkan untuk menutupi mulutku yang masih bau itu, maklum baru bangun tidur. Puas saja rasanya, jika aku menguap dengan bebas seperti itu. Meski Bapak dan Emak selalu mengajarkan aku untuk menutup mulutku saat menganga itu, tak sopan katanya.
Mataku tertuju pada kantong plastik bening. Serentak dengan katupan mulutku. Aku tersenyum, ketika kulihat kue cup-cup berbungkus merah dengan gambar udangnya bergantung di dalam plastik kresek bening itu. Sebungkus permen susu yang bergambar sapi, juga ada didalamnya. Aku yang tadi hendak memanggil emak, mengurung niat. Kue dan permen itu lebih menggiurkan dari pada letih-letih memanggil emak.
Kuberdiri diatas kasur berisi kabu-kabu tipis, kugapai kue dan permen itu dipintu kelambuh, belum sempat kumembukanya Bapak lebih dulu mengejutkanku.
“Wuaaaah”
Dihintipnya aku dengan sebelah mata, hanya terlihat sebagian wajahnya dengan kumis hitam yang tebal walau ada sedikit berwarna putih. Wajar umur bapakku hampir melewati 50 tahun. Mungkin 55 tahun, aku juga tak tahu betul tentang pastinya umur bapak. Yang aku tahu bapak ada, di masa aku kecil ini.
“Sini anak, bapak”.
Bapak, mengganggukan kepalanya yang artinya meminta aku menghampirinya. Aku melangkah, dan Bapak langsung menyambutku, menggendongku, namun membiarkan aku menggapai kue yang telah menjadi targetku. Aku dibondongnnya hingga pintu luar dapur.
“Cuci muke dulu anak Bapak ni”
Bapak menurunkan aku, dari gendongnya dan megusapkan air di mukaku, pelan dan penuh kasih sayang. Ia suruh aku berkumur-kumur kemudian ia menggosokkan gigiku. Aku yang masih berumur empat tahun, yang suka permen dan coklat. Tapi untunglah gigiku tak ada yang ompong bahkan warna hitampun tak menggerogoti, gigiku yang putih.
Setelah bapak merasa aku lebih bersih. Akupun digendongnya lagi. Kami menuju pintu luar, melihat burung bangau terbang, atau burung keroak yang meninggalkan sarangnya. Terkadang bapak, mengambil telur Keroak itu. dan direbusnya untukku. Telurnya seperti telur Puyuh.
Bapak tau aku ingin cepat-cepat membuka kue kejutan yang ia belikan untukku itu, karena sejak tadi kantung plastik itu, tak kulepaskan. Bapak membelikan itu dari hasil dari menjual kayu, kayu yang ia ambil di hutan yang menuju laut. Dari hutan, yang ketika kesana melawati himpunan pohon-pohon bakau. Ya, batang pohon bakau itu jugalah yang Bapak ambil, tapi Bapak tak sekedar mengambilnya. Bapak juga menanam kembal. Menurut Bapak itu adalah tanggung jawabnya. “Berani bertindak maka berani untuk bertanggung jawab”. Begitulah kata bapak padaku suatu waktu yang lalu. Untuk menuju kehutan, bapak melewati rumah mak ude, tetangga disebrang sana, karena rumahku berada di sebrang jalan, dan untuk mencapai rumah perlu menyelusuri jalan setapak, 100 M jaraknya dari muka jalan.
Ada pohon asam jawa disamping ruma Mak ude, aku dan anak lelakinya yang kembar sering sekali bermain dibawah pohon itu, lelaki kembar itu dua tahun bedanya denganku. Abang kembar aku memanggilnya. Tak hanya aku dan abang kembar yang saja, tapi beserta ester, temanku yang beragama kristen. Bermain dan makan buah asam, sekaligus menunggu bapak pulang dari pencarianya di sarana hutan dan laut. Ya,! untuk menafkahi kami.
Hasil menjual kayu itu memang tidak terlalu banyak, tapi kami bisa makan lebih enak dari telor bebek yang kami pelihara. Paling tidak bisa beli Ikan dengan Pak Abu. Bapak tua yang biasa mengengkol sepedanya dengan keranjang yang berisi Ikan-ikan. Denganyalah Emak biasa beli ikan.
Tapi yang lebih menyenangkan, sedikit dari uang yang bapak dapat, disisihkan untukku. Kemudian ditransaksikannya membeli kue untukku si Bungsu. Kue yang bapak beli itu digantungnya dipintu kelambu dengan tali rapiah, dan tetap didalam kantong bening. Jadi kalau aku terbangun aku akan langsung melihat kue-kue itu.
Bapak, membukakan bungkus kue itu, kemudian menyuapkannya untukku dengan tanganya, jarinya dan kasih sayangnya.
Bapak memang tak punya uang yang banyak untuk menyenangkan aku di masa kecil. Tak bisa belikan mobil-mobilan yang dibuat dari pabrik seperti punya Riyan cucu Wak Uda yang kusebut dengan orang kaya. Hal itu, karena rumahnya sangat besar, beratap genteng, berlantai proselen dan berdiding semen. Beda dengan rumahku, yang Emak dan Bapak sebut dengan gubuk.
Rumah kecil, bertatap daun nipah, berlantai papan, dan berdiding papan juga. Tapi aku senang, rumahku, rumah orangtuaku, dengan kerja keras merekalah rumah itu beridiri. Dan aku hidup bersama mereka.
Permainan di kampungku banyak sekali, bahkan bisa kukatakan bergilir musim. Kalau musim main Guli (kelereng) semuanya akan kalut untuk mengumpulkan mainan yang bulat dan keras itu. Jika musim layang-layang, semuanya juga sibuk mengambil bambu, meraut dan menempel kertas untuk menjadikanya layangan. Lebih seru saat mengejar layangan putus. Permainan-permainan itu semua, mungkin dapat bapak wujudkan untuk anak gadis kecilnya ini. Tapi jika musim bermain mobil-mobilan, mobil-mobilan yang berwarna, punya roda kuat tampaknya, aku ingin Mobil-mobilan itu. Apa daya?, Bapak tak dapat wujudkan itu.
Aku hanya bisa melihat mereka bermain, jikapun aku ikut, aku hanya bisa numpang milik. Ya,! meminjam mobil-mobilan mereka. Sebenarnya aku juga ingin bermain mobil-mobilan dengan punyaku sendiri. Tapi kenyataanya aku memang tak punya. Entah apa yang dipikirkan Bapak melihat anak perempuanya ini bermain mobil-mobilan, membelikan aku mobil-mobilan juga?. Tidak juga seperti itu, tapi Bapak tahu apa yang aku inginkan. Meski Bapak tak punya uang lebih untuk mobil-mobilan itu, Bapak tahu bagaimana menyenangkan hatiku.
Di saat waktunya. Akupun punya mobil-mobilan, mobil itu kudapat dari bapak. Setelah beberapa hari aku bermain dengan sekelompok anak lelaki yang punya mobil-mobilan. Bahkan hebatnya mobilku menjadi rebutan anak-anak laki-laki yang lainya. Meski rebutan itu terkadang menjadikan tangis diantara kami.
Mobilku bukan dari rakitan pabrik yang berwarna dan beroda hitam. Mobilku dari tangan bapak, bapak yang membuatnya. Dengan keahlianya, bapak membuatkan aku mobil-mobilan yang beroda empat itu. Bapak membuatkanya dari papan, roda mobil juga dari papan, Bapak memang hebat.
Hal ini menjadi kejutan yang luar biasa, karena Bapak tak pernah bilang akan membuatkan mobil-mobilan untukku. Padahal aku melihat Bapak sedang menukangi mobil itu, Bapak hanya bilang bahwa ia sedang membuat tempat paku. Papan yang telah ia satukan, dan telah berbentuk kotak itu, untuk tempat menyimpan paku miliknya. Tapi ketika aku tanya mengapa tempat paku itu beroda, Bapak hanya tersenyum.
Hingga mobil itu sempurna rupanya, Bapak langsung memberitahuku.
“Ini Oto (mobil) buat anak Bapak”.
Aku senang sekali, akhirnya aku bisa bermain mobil-mobilan, milikku sendiri. Bapak memang mengikat kepala mobil dengan tali, agar aku bisa menarik mobil yang tak menggunakan baterai itu.
Selain mobil-mobilan, seingatku, Bapak juga pernah membuatkan aku dan Abang sepupuku, Ari. Sebuah senapan dari papan. Bentuknya persis senapan punya Nganga. Seorang lelaki yang postur tubuh tinggi brsar. Ia tetangga depan rumah nenek. Senapan itu biasa ia gunakan untuk menembak Tupai yang menjahili kebun Kelapanya, atau Cicak yang merisaukan rumahnya.
Senapan kayu bapak, tentu tidak menggunakan peluru sungguhan, tapi sekedar gelang karet, yang di ungkit dengan kayu kecil. Jika kayu itu ditekan maka akan ada bunyi “Plok.pak”. kira-kira seperti itulah bunyiny. sedikit seperti suara senapan Nganga. Namanya juga senapan mainan.
Tapi, mobil papan itu tak lama riwayatnya, Setelah Bapak meninggal rodanya satu per satu lepas, walau aku meminta Emak memperbaikinya roda itu tetap saja lepas. Nasib senapan papan buatayapun, juga rusak, Tak seperti ketika bapak ada, bapak pasti bisa memperbaikinya dengan benar
Aku Sayang bapak. Rambutnya yang hitam putih dulu sangat suka k tarik. Aku yang dulunya belum mengerti arti dari hormat pada orang tua, santai saja memainkan kepala bapak. Aku biasanya begitu, jika aku digendong bapak di pundaknya, sehingga aku lebih tinggi dari kepala bapak. Dan sangat sering bapak mengangkut aku dengan pundaknya, apabila kami hendak pulang ke gubuk kami. Setelah kembali dari ladang padi. Bapak tahu aku sangat takut Anjing. Binatang yang kusebut guguk itu, Suara Anjing itu seram, begitu juga dengan wajahnya. Dan biasanya kelibat Anjing itu tampak dari sebrang ladang, Padahal ia tak pernah menghampiriku, tapi bagaimanapun, aku tetap takut dengan binatang bergigi tajam itu.
Kami ketawa, dengan apa yang diceritakan bapak dan bernyanyi berdua. Mak? Biasanya mak menyusul dari belakang, sambil membincing teko berisi kopi dan bakul kecil bekas kue, Nagasari, kacamata atau korkes. Makanan dan minuman untuk memenatkan perut dan hilangkan dahaga, setelah letih dari pekerjaan mereka. Berladang Padi. Kami melewati berbidang-bidang ladang garapan, yang aku tak tau pasti siapa pemiliknya. Mungkin punya mak Oson, mak Ica dan entah siapa lagi, yang pasti dua nama yang kusebutkan itu adalah tetanggaku. Di tempat kecilku ini, sebagian masyarakatnya bekerjai sebagai petani
Aku dan bapak juga melewati rumpunan sayur Kangkung, yang tumbuhnya sangat mudah, apakah kangkung itu ditanam atau tidak, kukatakan lagi, aku tak terlalu begitu tahu. Karena kangkung-kangkung itu selalu ada, hampir di sepanjang jalan setapak. Jalur yang aku dan bapak, emak lewati. Kangkung yang bebas tumbuh itu memberi keuntungan, paling tidak ia menjadi santapan gratis, untuk orang-orang yang pulang dari berladang, yang tidak jarang selalu memetiknya. Termasuk Emak. Kangkung-kangkung itu juga tidak akan habis gundul, meski setiap hari di panen. Karena kangkung sangat mudah tumbuh dan subur di tempat ini. Jadi, dengan bebas saja orang bisa mengambilnya. Karena juga tak pasti siapa yang punya.
Aku juga suka minum Kopi bapak, Kopi yang dibuatnya sendiri, dengan tanganya kasar dan hampir berkerut. Kadang bapak marah dengan Mak jika melihat kopinya habis. “Siape yang Habiskan Kopi ni?”. Bapak biasa menyimpan Kopinya di rak yang beralas papan. Tempat menyimpan kaleng kopi, dan gula. Tak begitu tinggi, karena aku bisa menggapainya, paling tidak aku yang berumur 4 tahun itu akan mencari bantuan sedikit. Salah satunya dengan bantuan kursi yang berjejer di sekeliling meja makan. Entah mengapa, Kopi yang tak terlalu manis dan encer itu nikmat untukku, dan terkadang Kopi bapak memang aku hutangkan, memang sengaja aku minum. Karena aku suka, ketika bapak tahu aku yang menghabiskan Kopinya, bapak tak pernah marah, ia tersenyum dan akan menghampiriku lalu ia mengelus kepalaku, dengan Tanganya yang kasar itu, tangan yang kuat. Aku dimanja bapak, bapak tak akan lama marah bila tahu anak bungsunya yang menyirup kopi miliknya hingga habis pula.
Bapak punya bubu,( penangkap ikan dari anyaman bambu). Biasanya bubu itu tak hanya berisi ikan sepat, gabus, dan osong tapi juga Labi-labi. Labi-labi itu dibawa bapak untukku, karena bapak tau aku suka bermain dengan binatang betempurung itu. jika aku bosan, maka kan dikembalikan lagi kedalam parit. Bapak ajarkan aku mancing, ia juga buatkan pancingan yang berjoran dari bambu untukku.
Masa kecil yang menyenangkan bersama bapak meski sangat singkat, bahkan ketika disaat bapak menikmati detik-detik terkahirnya.aku dan emak pergi ke pontianak saat itu, karena emak diminta untuk menjaga anak adiknya, sepupuku. Sehari sebelum bapak meninggal. Bapak selalu terlihat murung, dan menghabiskan waktu seharian bersamaku. Bapak tak melaut, tak mengambil kayu dihutan, juga tak ke ladang. Bapak mengajakku jalan-jalan dengan sepeda ontel tua miliknya, mengelilingi kampung, menuju pasar dan membelikan kue yang bisa ia gantung untukku dengan jumlah yang lebih banyak, aku senang sekali, senyum dan kegiranganku bersama bapak seharian itu mungkin tak sempat berjeda. Bapak selalu mengelus kepalaku helusan kepala bapak, ini yang aku suka, karena ku merasa bahwa akulah anak yang paling ia sayang.
Ketika malam seperti biasa, menjelang tidur bapaklah yang menimang aku, helusan tangan bapak lebih terasa, sayang yang berbeda dari helusan tangan timangan sebelumnya. Sepintas sebelum aku lelap, kudengar seduhan bapak, dan ia berkata membisik “Bapak sayang anak bapak, berat hati bapak ngelepaskan kau besok pergi nak”, kemudian ia mencium rambutku, ada tetes air mata terjatuh dijidatku, sempat terasa dan akupun lelap menjumpai mimpi anak kecil. Dan ketika esoknya aku dan emak pergi, saat sebelum meninngalkanya bapak kembali memelukku, sangat erat dan diciumnya aku berkali-kali, helusan tanganya selalu mengusar rambutku kulihat bapak benar-benar menampakan wajah sedih.
Pontianak, 22:45 WIB. Pintu rumah bibiku digedor, dalam kantuk emak membukakan pintu, ku lihat abang tetua emak, Along dan abang tetua Bapak, Ishak datang. Aku yang digendong emak, mendengar apa yang mereka bicarakan. Singkat dari yang mereka bicarakan. Bapak sedang sakit, sakit yang parah karenanya emak dan aku dijemput.
Dengan mobil kijang hitam, kami berempat pulang menuju mempawah. Dalam perjalanan emak selalu bertanya, “sakit ape bang, ute?” tanya mak pada kedua abangnya Ute, begitulah emak menyebut bapakku, meski itu bukan nama sebenarnya, itu hanya panggilan mak saja. “liat jak nanti, tenang yak. Kau tidurkan jak anakmu itu, kau juga tidur” kata abang emak.
Dalam panguan emak, aku juga bertanya “mak, nape kite balek? Bapak nape mak?” tanyaku yang juga menangis. Aku sedih melihat emak menangis, terlihat wajah khawatirnya. “sudahlah, ndak ade ape-ape, kau tidur jak” emak juga bersikap seperti sikap kedua pamanku kepadanya. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Dalam perjalanan itu, aku juga bertanya-tanya, ada apa dengan bapakku sayang. Malam
yang penuh bintang dan bulan menderang dengan bentuknya yang utuh, kulihat dari kaca mobil yang tak terbuka. Kulihat bulan utuh itu seperti membututi arah mobil kami, dan karena bulan itu aku terhibur dan terlelap. Sampai di rumah. Kami langsung dibawa oleh kedua pamanku kerumah orangtua bapak, bukan kerumah gubuk kami. Aku digendong emak hingga masuk kedalam rumah, dalam gendongan itu, kulihat rumah nenekku itu sangat ramai. Orang-orang berkerudung dan berpeci, membaca surah Yassin. Tiba-tiba emak, menurunkan aku, “Abaaaang” emak teriak meski suaranya tak keras, “ute bukan sakit, bang, ute uda meninggal” emak menghampiri bapak yang telah tak bernafas, ia deselimuti kain betik, tak ada memar diwajah bapak, mungkin saja bapak dipukuli atau terjatuh, wajah bapak tak cacat sedikitpun, bahkan wajah bapak berseri, tak sedih seperti yang kutinggalkan tadi sore.
Aku masih bediri didalam kerumunan orang-orang yang melayat, emak sudah disamping bapak, ada air mata mengalir dimata emak. Aku juga ingin menghampir bapak, mataku sudah berca-kaca, air mata menutup penglihatanku, kuberteriak “Bapaaaaaaaaaak”, kuinjak kaki-kaki orang-orang yang kuanggap mengalangi jalanku untuk mencapai bapak yeng telah terbaring.
Aku tak menyangka, bapak tak akan mengheluskan tanganya lagi dikepalaku, aku membaringi kepalaku dipangkuan emak yang mulai membaca surah yassin. Aku terus menatap bapak yang berselimut kain, dari kaki hingga wajahnya. Dan aku lelap dalam tidur hingga keesokanya, kulihat orang-orang membawa raga bapak ketempat istirahatnya. Aku sedih dengan tak bernafasnya bapak. Ia takkan lagi menimangku, tak aka lagi bungkusan kue, tak ada lagi helusan tangannya dikepalaku. Ternyata bapak lebih dulu meninggalkan aku, ia tak sempat melihat anak bungsunya ini besar. Dan menulis kisah diriku saat bersamanya ini.
Saat ini.Ya! Aku sekarang mengingat bapak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau