Langsung ke konten utama

Marsih Muhammad Ada masalah? Cuek aja!.

Marsih Muhammad
Ada masalah? Cuek aja!.


Siang itu kulihat sosoknya, duduk diantara beberapa orang yang asyik menonton pertandingan Tenis lapangan Sutera. Aku tersenyum melihat pria yang rambutnya telah dikerumuni uban meski tak sepenuhnya berwarna putih. Sudah kuduga ia akan hadir dipertandingan. Sudah beberapa kali aku melihatnya berada dilapangan, sekedar untuk menonton pertandingan. Senyum mengumbar diwajahku, kuhampiri dia. Akan kuutarakan rencana aku bersama klub karya ilmiah yang akan membuat profil dosen di kampusku, STAIN Pontianak. Tentu aku akan memberitahunya bahwa dosen yang aku buat profilnya adalah dia, Drs Marsih Muhammad, M.Ag.
Aku memang sengaja memilihnya, karena ia pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Tarbiyah. Kali pertamanya di semester IV aku ia diampuhnya, yakni mata kuliah Materi Dasar Pendidikan Agama Islam (PAI), kemudian di semester V aku bertemu denganya lagi di mata kuliah yang sama. Namun, di dua semester ini ia amahkan mata kuliah itu pada asistenya. Tapi, terkadang ia hadir mendampingi kami, yang mengagumkan ia selalu tersenyum dan menghargai penampilan kami meski tidak sempurna ketika presentasi.
Dengan keramahanya ia menyanggupi keiginanku. Ia mempersilahkan aku menemuinya lagi, untuk mendengar cerita lain tentang kehidupanya. Pembicaraan sabtu siang itu ia mengaku sangat menyukai olahraga yang cukup elit itu. Bahkan Tenis menjadi salah satu permainan yang dapat mengalihkan permasalahan yang sedang ia hadapi. Memang benar, aku semakin sering melihat dia ada dilapangan bersama anak lelakinya. Setia menonton pertandingan.
“Kalau saya sedang pusing saya main Tenis, di lapangan Sartika” ungkapnya, sambil melihat pertandingan.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku menemuinya di ruang dosen Tarbiyah dan setelah beberapa kali aku tak mendapatkanya berada diruangan. Ya, saat itu ia sibuk dengan pengujian skripsi mahasiswanya. Saat aku memasuki ruangan ia sedang membaca koran, jika tidak melakukan wawancara mungkin aku tak akan menganggu waktu sitirahatnya. Kuucapkan kata salam dan mengingatkanya mengenai penulisan pfofil . Ia tersenyum, senyum yang membuat gugup kalah sehingga tak mengangguku. Tak memakan waktu bermenit lamanya, ia telah ingat dengan apa yang aku maksud. Ia pun memejamkan mata mulai bercerita dan mengingat perjalanan hidupnya.
“Saya lahir dari keluarga petani Semata Hilir di Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas,” matanya masih terpejam, dan tetap bicara. Aku pun dengan gesit mencatat apa yang ia ceritakan, tentu tak ingin kehilangan info yang berikan.
Dari ceritanya saya tahu bahwa bapak dosen yang mengampuh mata kuliah, Materi Pendidikan Agama Islam (PAI) Dasar itu, anak ke delapan dari sembilan bersaudara. Lima perempuan empat laki-laki. Sebenarnya jumlah saudaranya adalah tiga belas sudara (13), namun empat saudara lainya meninggal.
Di masa kecilnya ia tidak mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari seorang ibu karena diusianya yang ke dua, sang ibu meninggal dunia. Ia pun hidup bersama orang tua laki-laki dan dua kakak permepuannya. Jaimah dan Raminah, sedangkan saudaranya yang lain sudah ada yang berumah tangga, ada pula yang tinggal bersama keluarga, seperti nenek. Meski begitu, Marsih mengaku bahwa ia tidak pernah sedih, ia merasa biasa-biasa saja dan bermain layaknya anak kecil diusianya. Ia sangat mandiri, keadaanlah yang mengajarknya. Ia sering ditinggal sendiri, ditinggal ayahnya pergi kehutan untuk mengambil kayu yang kemudian dijadikan sebagai tiang, dikala subuhnya sang ayah pergi menoreh karet. Meski ayahnya sibuk dengan pekerjaanya dan tak pernah memberi motivasi. Marsih tetap disiplin pergi sekolah, nalurinya mengajarkan ia menjadi seorang yang disiplin. Marsih mengaku ia terkadang tidak mau ikut kakak-kakaknya pergi beladang atau noreh, bukan untuk menjadi anak yang malas, tapi karena ia ingin mengubah dirinya untuk menjadi seorang pelajar.
“Saya memang tidak mau,karena saya memang tidak kuat”. Alasanya yang lain.
Motivasi tersebut semakin kuat, ketika Marsih menjalani pekerjaan yang bisa dikatakan menguras tenaga itu. Ia pernah menoreh karet sendirian dan ia juga pernah mengambil upah menggali parit dengan upah Rp. 600 per harinya, selama tiga bulan, bahkan di saat bulan puasa pekerjaan itu tetap ia tekuni, berteman dengan lumuran lumpur ia tidak hiraukan. Selain itu ia juga pernah menebang kayu, karena fisiknya tidak kuat ia diolok-olok kawanya dengan sebutan empau, yang artinya tidak kuat. Hal inilah yang membuatnya semakin yakin untuk sekolah.
Marsih sangat menikmati masa kecilnya, ia pun bercerita dengan penuh kesan bahwa dulu ia sangat hobi mandi di parit, jika sepulangnya dari sekolah ia langsung melorotkan celananya dan terjun ke dalam parit.
“Saya suka mandi di parit depan rumah, pulang sekolah saya langsung buka celana dan mandi sambil main kejar-kejaran”.
Celana. Ada yang menarik mengenai ini. Ialah celana kendor yang diikat dengan tali bundung. Ya! Sebagai ikat pinggang. Menurutnya tali dari tumbuhan yang biasa melarat diselasar parit itu digunakan sebagai anyaman. Apakah anda bisa membayangkan bagaimana bentuk tumbuhan yang disebut Bundung itu?. tali bundung ia digunakan Marsih sebagai ikat pinggang. Tapi, jika tali bundung yang tak kuat itu putus, maka Marsih akan rela memegangnya celananya meskipun ia berlari. Tentu agar celana tak melorot.
Mendengar ini aku teringat ketika ia melakukan pembelajaran di kelas, ia pernah mengaku bahwa menaikan celana sudah menjadi kebiasaanya meskipun celana itu telah diikat dengan tali pinggang berkulit dan mengkilap. Bahkan ia juga bercerita bahwa ia pernah disebut sebagai guru yang suka menaikan celana. Ini pemikiranku. Mungkin, celana tali bundung yang menjadi penyebabnya.
Kebiasaan itu dibenarkan oleh pembimbingku di klub menulis. Setelah ia membaca sedikit dari tulisan ini, dengan respon tawa kecilnya ia mengaku bahwa ia dan teman-teman sekelasnya dulu juga terheran-heran dengan kebiasaan Marsih, karena kebiasaan itu celana Marsih menjadi kotor karena terkena kapur dari tanganya. Ceritanya, kebiasaan Marsih juga menjadi hiburan ia dan kawan-kawanya.
“Bahkan ada yang menghitung berapa kali ia menaikan celana,” lanjut pembimbingku yang pernah diajar oleh Marsih.
Beralih dari cerita tentang mandi dan tali bundung. Ternyata Marsih juga ahli dalam menangkap ikan, ikan yang ia dapat, membantu lauk dirumahnya.
“Saya juga suka mancing ikan gabus dan betok. Umpanya telor kerengge atau kodok. Saya selalu dapat banyak, rejeki lauk. Jadi jarang beli ikan, terbantulah”. Ia tersenyum lagi.
Lain lagi ceritanya jika musim kemarau tiba. Marsih pun beraksi dengan keahlianya “ngemal”, begitulah sebutan dari bahasa sambas untuk mencari ikan dengan meraba-rabanya di dalam lumpur. Jika sudah kemarau tentu air di parit mengering, dan ikan berenang di dalam lumpur. Saat bercerita hal ini marsih pun tertawa sambil berkata
“Terkadang saya tertangkap ular”. Bola matanya hampir tak terlihat karena ia tertawa matanya menyipit.
Cerita unik nan cerdas dari masa kecilnya yang lain ialah, Marsih suka menggunakan minyak kelapa yang dicampur dengan daun kenanga sebagai minyak rambut. Menurutnya minyak kelapa akan menjadi sangat wangi.
“Rambut saya mengkilap setiap hari” akunya bangga.
Minyak kelapa yang banyak fungsinya itu tak sekedar digunakan Marsih sebagai minyak rambut, tapi digunakannya juga sebagai lotion. Kata Marsih dulu kulitnya suka kering, kalau digaruk, bekas garukan itu berubah menjadi putih. Karena itu minyak kelapa adalah siasatnya menjadikan kulit tetap lembab.
Tak hanya kelapa yang melengkapi penampilanya, pelepah pisang ternyata dapat ia gunakan sebagai sandal. Pelepah pisang dibentuknya layaknya seperti sandal dan kemudian diikat dengan tali. Sandal itu ia kenakan untuk pergi sekolah yang berjarak 500 meter, karena saat itu hanya orang mampu yang bisa membeli sandal, yakni sandal cap kereta api.
Ada-ada saja cerita masa kecil bapak kelahiran 20 juni 1959 ini.
Pendidikan dasar Marsih dimulai di sekolah SDN Pudu’ Simpang 4. Di sekolah ini ia mengidolakan seorang guru Bahasa Indonesia. Seorang yang dihormati masyarakat karena ia pandai mengobati orang kerasukan. Tapi, bukan Ilmu perdukunanya yang Marsih kagumi, tapi guru tersebut sangatlah sabar dan pandai, ia juga berwibawa Guru itu adalah wali kelasnya. Hari sabtu guru yang berhidung mancung berasal dari keturunan pakistan itu akan mengajar, hal yang paling ditunggu Marsih adalah cerita. Guru yang ia kagumi itu sangat pandai bercerita hai itulah menurut Marsih membuat pelajaranya menjadi menarik. Aku teringat lagi, mengenai cerita seorang siswa SD yang suka berbicara tidak sopan di sekolah. Gurunya terhera-heran mengapa anak seusianya dapat berkata seperti itu dan merasa biasa saja tanpa ada rasa malu. Saat ketika sang guru mendatangi rumahnya dan ingin mengetahui bagaimana anak tersebut berada dilingkungan keluarganya. Guru pun mengetahui apa penyebab siswanya bisa mengeluarkan kata itu bahkan santai. Karena guru melihat dan mendengar langsung orang tua siswanya berulang-ulang kali menggunakan kata itu untuk memarahi anaknya. Dari cerita itu, aku menjadi paham dengan pendidikan yang dipengaruhi oleh lingkungan, terutama dalam lingkungan keluarga. Cerita itu aku dapati dari dosen yang sedang aku tulis profilnya , pak Marsih. Sedangkan guru yang ada didalam cerita itu adalah dirinya. Satu hal lagi, aku mengerti bahwa guru tidak boleh diam ketika siswanya melakukan hal yang tidak baik, guru harus bertindak dan berhubungan dengan orang tuanya. Agar tahu apa yang terjadi dengan siswanya.
Marsih, saat menjalani pendidikanya ia tidak suka dengan pelajaran berhitung, karenanya di saat pelajaran berhitung ia tidak pernah mempermasalahkan angka-angka merah yang didapatnya. Meskipun ia mendapat angka kursi atau angka bebek. Kata Marsih angka kursi itu adalah angka empat sedangkan angka bebek adalah angka dua, begitula ia dan kawan-kawanya menyebut angka merah itu. Bahkan, Marsih juga tidak peduli jika Pak Idrus guru berhitungnya yang garang dan suka menghukum muridnya dengan semabatan Rotan atau berdiri di depan kelas.
“Saya lemah di pelajaran berhitung itu. Saya tidak masalah jika dapat angka kursi atau angka bebek, kena marah? biasa saja,” kata Marsih pasrah dan tidak terlalu mempersoalkan apabila ia menjadi korban pak Idrus yang pernah didik oleh orang Jepang itu.
Ia memang tidak bisa dipelajaran berhitung, tapi Marsih mengaku ia selalu bisa di pelajaran yang menghapal, seperti Ilmu sosial dan agama Ia sangat suka dengan pelajaran fiqih dan tauhid. Ia mengahapal dengan tekun karena ia mengerti hanya denga cara itulah ia menyerap pelajaranya, ia tidak punya buku di saat itu, untuk mencatat yang ia gunakan adalah garip. Aku heran dengan kata itu, aku pun bertanya denganya.
“Apa tu pak?”
“Untuk nulis, dulu kita nulis pakai garip tidak punya buku, garip itu dari batu seperti map, tapi setiap pelajaran habis dan dinilai tulisan pun dihapus, karena dipakai untuk pelajaran lain, makanya yang diandalkan adalah menghapal” jelas Marsih yang kemudian melanjutkan ceritanya, jika ia belajar mengandalkan sinar pelita ketika malam. Marsih sangat menyenangi Ilmu-Ilmu agama, ia juga pandai mengaji, bahkan ia pernah mengikuti musabaqah saat kelas V hingga tingkat SD kecamatan, kabupaten dan Provinsi. Kepandaianya mengaji inilah ia sebut sebagai modal utama.
Tidak ada sedikitpun niat Marsih untuk putus sekolah, selesai dengan pendidikan dasarnya ia melanjutkan ke Pendidikan Agama PGA simpang 4 selama 3 tahun, tahun ke 4 ia pindah ke Pemangkat. Saat akan pindah ia mendapat sedikit kendala, saat itu ayahnya tidak mempunyai uang untuk membiayai sekolah dan ongkos berangkat ke Pemangkat. Marsih merasa sedih. Tapi, kesedihan tak berlama menghinggapi perasaan Marsih, karena Alhamdulliah kakaknya menerima uang arisan. Uang tersebutlah ia gunakan, selain itu ia juga membawa beras. Di pemangkat Marsih tinggal bersama empat orang temanya di kost di sebuah Gg yang bernama nelayan. Orang yang tinggal di Gg itu adalah nelayan, tetangga Marsih yang baik hati sering memberinya ikan sebagai lauk untuk menyantap nasi yang berasnya ia bawa dari kampung. Selesainya ia di PGA pemangkat ia melanjutkan sekolahnya di PGA Pontianak.
Mengajar mengaji, inilah yang disebut Marsih sebagai modal utama. Setelah tiga hari berada di Pontianak marsih ditawari untuk mengajar mengaji dari satu rumah ke rumah lainya, menghabiskan waktu sorenya hingga menjumpai malam. Uang dari hasil mengajar itulah ia gunakan untuk membiayai hidupnya.
Pendidikan PGA nya pun selesai, tapi Marsih bingung harus melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak. Ia ingin kuliah tapi uang menjadi kendala. Ia sengaja tidak mengambil Ijazahnya bahkan ia nekat untuk pulang kampung. Tapi, seorang Kepala sekolah yang bijak bernama Khusnadi mengambil Ijazah itu dan meminta Marsih untuk mengahadapnya. Marsih ditanya mengenai kuliah dan ingin kuliah dimana. Marsih juga tidak tau harus menjawab apa, karena yang ia tau saat itu hanya UNTAN dan IAIN. Karena Marsih sangat senang dengan pelajaran agama, ia memutuskan untuk kuliah di IAIN. Tapi bagaimana dengan biayanya?. Marsih pun mendapat tawaran dari kepala sekolahnya itu, Ia dibantu oleh pak Kepsek dan Marsih membantu Pak kepsek mengajar di Sekolah Muhammadiyah Kota baru.
SPP IAIN saat itu Rp. 18.000, ia pun mendaftar hingga kemudian ia lulus sebagai mahasiswa di kampus pilihanya. Sepulang dari kuliah ia mengajar mengaji dan mengajar les. Pak Kepsek yang bijak ternyata memperhatikan Marsih selama mengajar di SD Muhammadiyah, karenanya Marsih ditawari untuk menjadi guru Pegawai Negeri (PN) SD, tapi Marsih menolak karena ia belum mau untuk terikat dengan pekerjaanya itu.
Ketekunan Marsih benar-benar membawa keberuntungan untuk dirinya, di semester II, nilainya sangat baik sehingga ia mendapatkan kebebasan biaya utnuk pembayaran SPP. Setiap mengikuti ujian ia selalu lulus. Hebat, meski sibuk marsih bisa membagi waktunya untuk belajar bahkan ia telah mempunyai target dalam waktu satu minggu ia telah membaca tiga buah buku. Buku pegangan dosen adalah sumber bacaanya untuk mengahadapi ujian. Buku pegangan tersebut telah ia ringkas.
“Menjelang satu bulan ujian satu buku rujukan dibaca dan dikuasiai” cerita Marsih yang tidak akan membaca lagi setelah hari-hari mendekati ujian.
Marsih benar-benar memegang perkataanya yang tidak ingin sama dengan ayahnya, ya!, mengenai pekerjaan. pembuktian itu terlihat jelas ketika Dosen Psikologi Abdurrah Abror mengangkatnya menjadi asisten dosen, dan marsih menjadi orang yang pertama menjadi asisten. Saat itu metode pembeajaran yang ia gunakan ialah ceramah kadang ia juga mencatat. Tapi, hal itu diakuinya tidak berlaku untuk di zaman sekarang.
Marsih berhasil menyelesaikan kuliahnya ditahun 1984 dengan gekar sarjana muda, di tahun 1984, dan mendapatkan gelar S1 di tahun 1987. Setahun setelah selesai S1 ia ditawari untuk menjadi dosen di IAIN. Ia pun mengikuti tes di Jakarta dan lulus pada tahun 1988. Namun, sebelum pengumuman kelulusan tersebut Marsih diambang kebingungan. Ia menunggu pengumuman itu hingga satu tahun lamanya dengan perasaan yang meragu. Pengumuman belum jelas antara lulus atau tidak, membuat Marsih untuk memutuskan mengikuti tes untuk menjadi guru Aliyah. Tiga bulan setelah mengikuti tes guru, ia mendapatkan informasi bahwa dirinya lulus dalam tes itu, dengan surat keputusan sebagai guru di madrasah Aliyah Negeri 1. Namun, tidak lama kemudian pengumuman menjadi dosenpun keluar.
“Jadi, ketika gaji pertama ada dua nama sehingga saya memilih salah satunya. Saya memilih menjadi dosen”. Ungkap Marsih yang kini telah bergelar M, Ag sejak tahun 2002 sebagai lulusan IAIN Wali Songo semarang.
Dalam dunia Organisai, Marsih mengikuti Organisasi pendidikan Muhammadiyah, Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) dan kemudian menjadi KAHMI. Selain itu Marsih juga di amanahi sebagai ketua Muhada Kecamatan Pontianak kota.
Sedangkan untuk karyanya ia pernah melakukan penelitian mengenai pandaangan dan sikap hidup Ulama Indonesia dan mewakili Kalbar.Untuk penelitian Marsih mengaku ia tidak banyak melakukan penelitian atau membuat karya, jikapun ia membuat itu semua ia akan lebih cenderung untuk mengangkat permasalahan mengenai pendidikan atau keguruan. Hal tersebut ia maksudkan sebagai hal yang sama dengan bidang yang ia geluti. Pendidikan. Marsih menanggapi Pendidikan di Indonesia masih harus diperbaiki, baik kemampuan guru, metode, sarana pra sarana, kebijakan pemerintah dan kompetensi.
Tidak sekedar melakukan pembelajaran di kampus, dosen pernah menjabat sebagai ketua jurusan dengan misinya mengharmoniskan pegawai dan membina disiplin dosen mengajar ini juga aktif dalam kehidupan sosialnya. Ia biasanya berkhutbah atau berceramah di sekolah-sekolah Islam. Di tempat tinggalnya yakni di Jalan Danau Sentarum, tepatnya di Gg. Nawawi. Marsih mendapat kepercayaan sebagai ketua RT dan pengurus Masjid Syuhada. Masjid yang kiranya berjarak 200 meter dari rumah bernomor 25, rumah itu kini berwarna merah muda, dengan halaman yang cukup untuk ke empat anaknya bermain bola. Sebuah rumah yang telah disiapkan Marsih sebelum menikah dengan Heni Eka Kartika Sari di tahun 97. Seorang mahasiswi Tarbiyah yang pernah diajar olehnya, yang kini menjadi istri setia, menjadi Ibu yang kasih pada ketiga putra dan putrinya, dan seorang pendidik di SMP Muhammadiyah.
Cukup banyak amanah yang ia dapati, tentu banyak juga persoalan yang ia hadapi. Menghadapi itu Marsih mengaku untuk tidak terlalu memikirkan masalah-masalah yang silih berganti. Karena ia percaya apapun maslahnya pasti ada jalan keluarnya.
“Jika ada masalah cuek aja, cari jalan keluarnya, jika tidak berhasil cari yang lain. Tidak berhasil lagi, ya sudah lah,” lanjut Marsih yang akan bermain tenis atau berenang jika persolanan yang ia hadapi itu memusingkan kepalanya.
“Pusing? Berenang, maen tenis” lanjutnya dengan bahasa yang ringan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau