Langsung ke konten utama

Bekennya Parit Banjar (dusun masyarakat Bugis)


Lewat pukul 12:00 aku merasa cuaca mulai menghawatirkan, mendung. Seingatku sejak malam hujan sudah turun, melewati subuh hingga pagi. Sekitar pukul 10:00 hujan mulai reda. Tapi sekitar pukul 12:00 angin kembali beralun lebih kencang, seng atap rumah s penahanya.
Kibasan dahan pohon belimbing disamping kamar sebelah juga kedengaran. Khawatir hujan akan lebat hingga sore menjelang, lebih-lebih melewati waktu yang telah ditetapkan untuk berkumpul di Kampus. Sempat berpikir hujan akan lebat nantinya dan membatalkan rencana hari ini untuk pergi ke lokasi penelitian. Di sebuah dusun yang jalanya tak mulus, berlubang hingga akan mengenangkan air hujan yang telah turun ini, apalagi aku telah mendengar dari radio bahwa daerah dibagian lokasi penelitian sedang banjir, lokasi yang menyulitkan pertemuan antara Hp dengan sinyalnya. Tapi ini hanya dalam pikiranku, sebuah pikiran yang terbentuk karena mendapat gambaran lokasi itu dari Pak Yus. Namun, aku juga berandai-andai, mungkin akan ada penekatan untuk pergi membantai hujan sehingga nantinya laporan perjalanan akan semakin panjang.
Angin sebagai permulaan mendatangkan hujan, selesai. Hujan bergemuruh. Kawasan kota baru. Bagaimana dengan tempat tinggal kawan-kawan yang lainya?. Entah, tapi sepertinya hujan turun dengan rata membasahi Pontianak.
Belum ada barang satupun masuk ke dalam tas yang telah sahih akan dibawa. Mengingat itu, barulah berkemas. Mukenah, handuk, celana panjang dua helai, baju memenuhkan tas coklat itu. Gemuk. Tas itu menjadi sangat gemuk, melihatnya membuat diri tertawa sendiri “Macam nak balek kampong”. Seperti perjalan jauh sekali atau menginap selama semiggu, padahal masih kawasan didekat kota Pontianak dan hanya sati hari. Bagaimana lagi rupanya, jika mengikuti instruksi Pak Yus, membawa bantal.
Mendekati Waktu Ashar, volume hujan mulai mengecil. Bersiap dengan mantel merah manggis yang besar. Memakainya menimbulkan rasa was-wasan, takut mantel itu akan melambai-lambai tak sengaja dan masuk kedalam putaran roda ban motor. Akibatnya?, hal itulah yang dikhawatirkan. Tapi, karena hujan hanya gerimis, maka sweater tebal masih dapat diandalakan. Jadi mantel yang besar berkepala dua dan memang untuk dua orang itu, disimpan di dalam jok motor. Menunggu waktu yang memang akan diperlukan.
Menjemput bunda. Kak Ambar adalah seniorku di LPM, di pohon keluarga ia adalah ibuku, dan aku memanggilnya Bunda. Bunda keluar dari pintu kosanya, ia mengenakan almamater PPL nya yang berwarna biru dongker. Membondong ransel hitamnya yang lebih besar dan lebih berisi dari tasku.
“Ala bunda, malu nya tas besar amat, macam nak pegi satu minggu” kataku melihatkan tas gemukku. Bunda yang tasnya memang telah gemuk, membenarkan, dan ia juga mengaku bahwa baran-barang bawaanya sebelumnya telah disuir-suir. Mengeluarkan barang yang telah dimasukan di dalam tas, dengan rela menganggap barang itu tidak terlalu penting.
Gerimis masih enggan berhenti. Tapi lebih menguntungkan daripada deras. Lupa dengan lotion anti nyamuk. Satu hal lagi, lokasi yang akan ditadangkan ini banyak nyamuk katanya. Dianjurkan untuk membawa pelindung sengatan serangga penghisap darah itu. Kami berhenti di salah satu warung di jalan Surya sekaligus mengisi cairan untuk The Master, panggilan untuk motor Silver hitamku. 3 liter, debit yang dipercaya tidak akan habis hingga ke lokasi dan berharap bisa dijadikan modal untuk pulang nantinya.
Bunda memberiku 2 bungkus lotion anti Nyamuk berwarna merah muda, kemudian kusimpan di kocek kecil dari tas coklat yang telah menyelepang dibahuku. Berat.
Tiba-tiba ada mak Nyah yang tadi melayani bunda belanja, menghampiri Bunda. Ia ingin melihat ransel hitam Bunda, dan meminta untuk membuka mantel ranselnya. Aneh. Tiba-tiba. Ada apa?. Pikirku sibuk bicara. Ternyata mak Nyah hanya ingin bilang bahwa ransel Bunda itu sama dengan punya anaknya, persis. Ia juga ingin tahu harga jual ransel bunda. Mak nyah lebih beruntung, ia mendapatkan Rp.10.000 lebih murah. Rp.135.000.
Tak ada cerita lagi tentang mak Nyah. The Master melesut dengan kecepatan melebihi dari 30 Km/h. Meski di Jalan Surya ada terpampang papan peringatan. Dilarang ngebut, maksimal 30 Km. Seperti itu jika tidak salah. Udara yang telah terasa dingin dari tadi, membuat pegangan tanganku pada gas The Master melebihi kecepatan yang ditetapkan. Tak ingin berlama-lama menahan dingin. Ingin cepat tiba di kampus.
Tiba di kampus. Menuju ruang malay Corner. Sudah ramai. Hampir semuanya mengenakan sweater, jaket atau kardigan. Tentunya pula semuanya membawa tas yang dialamnya berisi perlengakapan yang mereka perlukan. Ada yang berdiri di teras perpustakaan. Berbicara dengan lawan bicaranya mengenai dengan bahasan yang tidak aku tahu. Orang yang kali pertama dengan sigap kupandang ialah bang Janggot, hem maksudku abang-abang yang sudah berkeluarga bernama Maududi. Maaf, panggilan itu tiba-tiba datang dan menwarkan diri menjadi panggilan sementara saat aku belum tahu namanya, dan fasih memyebut namanya, Hisbul maududi. Didepanya ada seorang lelaki tinggi berkacamata, dengan jaket hitam yang tidak diseletingnya hingga baju blaster jingga, putih dan biru dongker yang ia kenakan terlihat. Ia juga menggendong ransel hitam dipunggungya. Pak Ismail Ruslan namanya.
Memarkirkan The Master. Ikut berkumpul dengan beberapa yang sudah ada di depan cairue. Wajah yang kuingat ada disana ialah, kak Ica, kak erika, dan dua wanita ramah dari balai bahasa yakni kak Nindwi dan bu Martanti. Saat mata dan kepalaku mengalih pandangan ke arah tangga yang menuju ruang Mc, ada tiga mahasiswa Untan binaan bang Dedy Ari Asfar, di ujung tangga itu. Surprise dengan keikutsertaan mereka, tentu akan menambah daftar nama kawan. Mendekati mereka dan mengulurkan tangan untuk berkenalan. Yaya, Fifi dan Ian. Yaya, berjilbab dan dengan sepatu kets putih yang dinjak tumitnya. Fifi, kakak yang punya postur tubuh cukup tinggi itu mengenakan kacamata bergangang hitam. Ketiga ialah Ian, yang tergambar dalam ingatanku tentang anak laki-laki ini, ialah mengenakan sweater coklat dan ada butiran kalung berwana putih yang melingkar dilehernya.
Selain season perkenalan ialah potret. Hehehe. Siap siaga dan sadar kamera. Dengan pose masing-masing dan “cirrss”. Foto. Entah kamera siapa yang pastinya beberapa dari kami tak ingin ketinggalan dengan moment itu. Tapi, anehnya waktu kak Ica yang jadi fotografer, objek yang diambilnya adalah kaki-kaki kami, kemudian dia bilang “Cantik ye kaki-kakinye” Huft, parah!.
Waktunya berkumpul, menghela tas gemukku menuju ruang MC. Pak Ibrahim mengumumkan nama-nama kelompok yang telah dirombak. Selain karena dalam satu kelompok banyak personil-personilnya memilih tema penelitian yang sama, hal tersebut juga dikarenakan ada nama yang keluar dan masuk untuk mengikuti penelitian ini. Tak berubah rupanya, aku tetap berada di kelompok VI. Kemudian Pak Ibrahim mempersilahkan kotak-kotak bekalan logistik untuk setiap kelompoknya. Setelah semua selesai, kami siap berangkat. Nyuuuuuuuuuuut, ngeng...!
Sebelum keluar dari gapura, tepat di depan gedung pasca Sarjana aku dan bunda bertemu pak Hermansyah. Bunda yang kubonceng menyapa beliau “pegi yok pak”. Pak Herman menyahut “saye tak bise” dan tetap berjalan membawa wajah dengan senyumnya. Aku yang mengarahkan kepalaku padanya hanya dapat berkata “da da pak”.
Hujan reda. Mungkin ia tidak tega melihat kami menerobos tetesan airnya. Sekitar pukul 16:20, meninggalkan kampus. Menyusuri jalan Letjen Soeprapto dan keluar ke jalan raya A.Yani. Ketika melewati tingkungan di depan pom Bensin kulihat Romi yang satu motor dengan Kak Yanti masuk kesana.
“Oh Omy nape tak ke kios jak, kan lebih cepat situ’tu antri agik”. Aku berbicara sendiri. Bunda hanya mengaminkan dengan kata iya. Khawatir dia akan ketinggalan rombongan, kemdian akan linglung karena tidka tahu jalan yang mana akan dituju. Omy kan tidak tahu jalan. dijelaskan pun mesti berulang-ulang dan dengan sangat detail. Tapi ternyata Mutamakin yang membonceng Kak Ica juga singgah ke sana.
Bersama The Master terus saja berjalan tanpa menunggu mereka, menuju Kota baru dan akan melewati jalan Ampera, menembus Pal yang banyak nomornya itu. Melewati sekelompok Mahasiswa yang entah dari PT mana, sedang menggalang dana untuk korban gunung merapi Jogja dan Tsunami di Mentawai. Tiba di simpang Empera, kami berhenti sejenak menunggu rombongan yang masih tertinggal di belakang. Ya, si Omy dan Mutamakin. Setelah semua dipastikan berkumpul kami melanjutkan perjalanan.
Menikmati perjalanan dari Pal ke Pal akhirnya memasuki gerbang jalan Punggur. Tidak ada tikungan, dan jalanpun belum ada yang rusak seperti dalam bayangan. Daerah masih ramai. Hingga akhirnya aku memberhentikan The Master ketika ada rombongan yang telah memasuki jalan itu. Sudah kelihatan deretan batu tak beraturan, batu yang tampak merah karena bersatu dengan tanahnya.
Batu itu rata-rata sebesar genggaman tangan orang dewasa. Di muka jalanya ada segunduk pasir berwarna coklat yang diatasnya tertancap tiang dengan papan peringatanya. MOHON MAAF!! SEMENTARA INI TRAK/ DILARANG LEWAT ADA KEGIATAN PROYEK!!! PAHAM.!!. Serasa, digunakannya tanda seru itu, berarti penekanan. Paham!!!. Diantara kata Lewat dan Ada, diatasnya tertulis kata ENGKHEL dengan ukuran yang lebih kecil, entah apa artinya itu. Disampingnya papan pemberitahuan itu, ada pula papan dengan bentu panah menuju arah jalan kecil itu, DUSUN MELATI, tertulis KKM FEKON 2010 dengan tulisan lebih kecil berwana hijau di bawah nama dusun. Dibelakang The Master ada bang Janggot dengan motor Varionya berwaran merah hitam. O’oo The Master Seakan mendapat jodoh, nomor plat Vario Bang Jenggot memiliki angka-angka yang sama dengan The Master. KB 2730 AB, sedangkan The Master KB 2307 BJ, suit-suit.
Sebelum memasuki jalan dusun melati, kami menunggu beberapa orang yang tertinggal dan salah satu yang namanya disebut ialah pak Ibrahim. Ada yang menduga pak Ibrahim melewati jalan lain di kota baru tadi dan kemudian langsung tembus di Dusun melati ini, karena kata Mahmud si kepala jalan alias penjuk jalan, untuk menuju daerah ini ada jalan tembus di Kota Baru, namun jalan rusak.
Disamping jalan dusun ini, ada parit yang menampung air berwarna coklat, penuh. Parit yang sebelumnya aku tidak tahu bahwa parit yang cukup lebar membentang dengan perkiraan 3-4 M itu bernama Parit Banjar. Hebatkan?, parit saja punya nama. Bahkan parit ini ternyata lebih beken dari nama Dusun Melati, karena sebelum aku tahu nama dusun Melati, nama lokasi penelitian selalu disebut dengan parit banjar. Di Facebook pun, kubuat status tetang lokasi ini, dengan sebutan Parit Banjar. Parit Banjar menjadi beken di deretan status Facebookku.  salah satunnya, status yang kubuat tadi pagi ialah “Ujan, Parit Banjar becek. Hem. .siap2 menempuh medan belumpur. Becek yang masih dalam perkiraan, dan membuatku membawa dua celana panjang. Yakin, melewatinya celana dipakai akan kotor.
Di samping kanan jalan ini ada ladang padi, tapi padi-padi itu masih sangat pendek, baru ditanam. Diantara padi-padi itu berdiri pohon-pohon kelapa. Melihat ini bunda bilang, bahwa ciri khas dari orang bugis sudah terlihat, karena mata pencaharian orang bugis itu mayoritas ialah koprah.
Ada laporan, katanya pak Ibrahim meminta kami untuk jalan lebih dahulu. Meski belum ada yang tahu kami akan berhenti ketempat siapa, hingga ada yang memberi saran untuk berkumpul di Masjid nantinya. Perjalanan dilanjutkan.
Meninggalkan muka jalan dan siap melewati medan berbatu. Diawal jalan belum ada pemukiman, namun tidak terlalu jauh dari tempat kami berhenti tadi, ada rumah kecil berdinding dan beratap daun, disekeliling rumah itu tertanam padi-padi yang tingginya kurang lebih dengan yang dilihat dari sebelumnya. Rumahkah itu?, atau sekedar pondok padi. Tapi sepertinya, ada baju-baju yang terdedai. Jika ia maka, itu adalah rumah pertama di Dusun melati. Tak jauh dari rumah itu, aku melihat lagi satu rumah yang sedikit lebih besar dari rumah yang pertama.
Setelah dua rumah itu, tidak ada lagi rumah yang lain. Mungkin 10 menit mengendarai The Master di jalan batu itu, barulah terlihat pemukiman. Sebelumnya lebih dahulu melewati dua pemakaman. Pemakaman pertama, cukup banyak nisan, namun dipemakaman kedua, tetangkap oleh mataku hanyalah satu nisan, tidak ada nisan-nisan yang lain. Pukat yang tergantung di teras salah satu rumah, setelah itu ada pondok kecil yang tidak berdinding, beratap daun, yang melindungi kotak besar berwarna persis, yang biasa ada di tempat penjualan ikan. Mungkin ada yang berdagang ikan, pikirku.
Selama perjalanan itu, tidak menemukan jalan yang berlumpur yang menakutkan. Hanya batu-batu itu rasanya sangat licin, karenanya tidak ada niat untuk mengajak The Master berjalan dengan kecepatan diatas 20 Km/h, apalagi mesti berhati-hati menjaga ban dibagian depan yang mulai plontos. Selain itu kekahwatiran memuncak setelah menyaksikan Mutamakin dan kak Ica hampir saja terjatuh, dan lebih menakutkan saat motor itu oleng disamping tiang listrik. Untunglah mereka tidak apa-apa. Padahal jahatnya pikirnaku, aku sudah membayangkan mereka terjatuh dan tertahan tiang listrik jika mereka jatuh dibagian kanan. Tapi jika ke kiri tampaknya akan menjadi kecelakaan beruntun, ada Omy dan Mak gembar disampingnya. Huft!
Tapi, aku lega, karena medan berbatu itu tak terlalu lama, terpaksa aku nikmati. Mungkin hanya 2 Km saja kami lewati, karena Alhamdulillah jalan berganti dengan jalan beraspal, meski tak mulus seperti jalan raya A.yani. Hem memudahkan perjalanan. Lagi pula, bukan berniat sombong  jalan di dusun biasa-biasa saja dibandingkan dengan jalan menuju rumah Bunda, di Satai Sambas. Sewaktu Aku dan LPM melakukan Ekspedisi lebaran.
Tapi, jalan di Dusun ini mengingatkan aku dengan jalan menuju rumah Kiki di Semparuk. Hampir mirip. Tentu kiki biasa-biasa saja dengan jalan seperti ini, dan terbukti kiki melewati kami. Santai saja berleha dengan motor barunya.
Parit yang lebar didepan tadi semakin disusuri ternyata lebarnya mengecil, mungkin 2-3 divisit sekitar 1-2 M.. Masjid belum ditemukan, tapi Mahmud berhenti di sebuah rumah, yang ternyata adalah rumah saudaranya, tempat ia tinggal semasa bersekolah di SD yang ada di Dusun ini. Mansyur pemilik rumah itu, yang aku rasa lebih nyaman memanggilnya dengan panggilan Datok karena usianya memang sudah lewat dari setengah abad.
Tok Mansyur menyambut kami dan ia duduk di kursi teras rumahnya, menyilakan kami masuk. Ia telah siap dengan baju koko dan sarung kotak-kotaknya untuk shalat. Aku mengikuti Rendi dan Mutamakin ke dalam rumah. Bukan tak sopan masuk rumah orang tanpa permisi, apalagi baru dikenal. Tapi, ini berdasarkan instruksi dari Mahmud.
Melewati pintu samping. Hal yang pertama dalam pikiranku. Tok Mansyur orang kaya. Orang mampu. Dari depan pintu, kulihat lantai proselen putih mengkilap, ada sofa tampaknya berwarna biru tua berderet rapi sesuai urutanya. Anggapanku tadi, membuat aku berpikir, sekaligus mengingat berbagai rumah warga lainya. Ingatanku mengarah pada beberapa rumah yang bagus bentuknya. Berdinding semen yang kokoh. Jikapun papan, tetap saja besar. Apa karena terlalu fokus pada jalan berbatu dan licin tadi aku tidak meilhat rumah-rumah yang kiranya, kurang bagus. Kecuali dua rumah diawal. Aku berpikir lagi, jika semua rumah seperti rumah Tok Mansyur yang berproselen dan bertingkat ini, atau rumah-rumah bagus yang kulihat tadi, sama dengan beberapa rumah yang akan aku lewati nanti. Maka, pasti banyak anak-anak yang ada di dusun ini yang mengenyam pendidikan. Aku sudah punya paradigma berpikir, pendidikan anak-anak mereka pasti tidak terbelakang. Maksudku orang tua mereka pasti mempu menyekolahkan mereka.
Tak berlama-lama berpikir tentang pendidikan dan rumah bagus. Karena rombongan tidak lama berada di rumah Tok Mansyur. Kami sekedar beristirahat disana.
Saat Magrib benar-benar mendekat, kami semua memutuskan untuk shalat ke Masjid. Pak Ibrahim pun telah datang, bersamannya kami menuju Masjid. Tok Mansyur juga pergi, menuju tempat yang sama dengan kami. Sebelumnya aku berpamitan dengan seorang perempuan tua, yang mungkin istri dari tok Mansyur. Tak mungkinkan, sudah menumpang tak pamit pula, tak sopan. Aku SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) saja memanggilnya dengan Nenek. Bersalaman dan mengucapkan terimakasih.
Kami semua hijrah menuju Masjid. 31 orang dengan kendaraanya meramaikan jalan yang tak luas itu. Tidak terlalu jauh letak Masjid dari rumah Tok Mansyur, kira-kira menghabiskan waktu hanya 3 menit saja untuk tiba disana. Ternyata shalat Magrib telah dimulai.
Wow. Besar. Mewah. Penilaianku tentang masjid itu.
Penilaian masih dalam pandangan pertama, aku belum mengenalnya jauh lebih dalam, masih berada disebrang jalan. Terlihat lampu hias dihalaman Masjid, berwarna putih, bulat dan cukup besar. Bola ajaib mama Lauren, kataku menyebutnya.
Menuju masjid itu mesti melewati jembatan. Bukan sekedar beralih ke Masjid saja, tapi jembatan itu juga menjasi penghubung jalan yang telah beralih posisinya. Tadinya berada di kanan Parit. Tapi, setelah menyeberangi jembatan semen yang lebar itu, arah jalan berubah, berada di sisi kirinya.
Menyeberang, belok kiri. Masuk jalan masjid. Kini berada dibawah atap parkir,dari depan parkir, nama masjid itu dapat dilihat. Masjid Misbahuddin namanya. Di ujung parkir ini, ada dua kamar Water Close. Memasuki halaman Masjid, di ujung kirinya tampak jelaslah dinding kokoh putih, bersih yang dibadan bagian bawahnya tertancap kran-kran air. Berjejer, tentu untuk mengambil wudhu.
Rata semua berproselen, lantai teras masjid, WC pun, kecuali area parkiran pastinya. Padahal dusun ini jauh dari kota, tapi ia sangat mewah. Hebat. Meski, pagar yang berukir agak berlumut. Aku tidak akan berbohong mengenai ini. Sebelumnya aku berpikir bahwa masjid yang ada di dusun melati biasa-biasa saja, sederhana. Maaf, hal ini dikarenakan dusun melati jauh dari perkotaan. Sekarang, anggapan itu kucabut, aku mengaku salah.
Memarkir The Master. Lebih dekat memang lebih baik. Semakin dekat dengan masjid indahnya masjid itu semakin terlihat. Lampu-lampunya menderang, hijau-hijau kaligrafi terlihat dari kaca beningnya diluar. Kaca yang juga berkaligrafi. Namun, penduduk asli tidak terlalu ramai yang shalat berjamaah dimasjid, terlebih kaum wanita satu pun tidak ada.
Ngebut dalam langkah untuk segera mengambil wudhu, ternyata kran yang berjejer itu tidak hanya sekedar cantik, tapi cantik luar dan dalam. Kran itu mengeluarkan air dari mulutnya lancar, sangat lancar. Tidak sendat-sendat, seperti ledeng yang ada di rumah. Alirannya kecil, dan jarang sekali lancar. Ada tempat duduknya pula, berbentuk kubus, yang semenya juga beralas proselen, putih warnanya. Nyaman saat diduduki, tidak terlalu tinggi, tidak pula rendah. Pas, untukku. Di ujung kanan kirinya ada bunga asoka berwarna merah.
Waktu magrib tidak akan menunggu, ia akan lekas pergi. Masuk dalam masjid. Lampu hias nan besar semakin menakjubkan, benar-benar indah semakin menderangkan, Kaligrafi-kaligrafi berwarna hijau padu dalam rangakaianya. Belum waktunya untuk memperhatikan itu semua.
Waktunya untuk shalat berjamaah, Bu Cucu Nurjamilah yang menjadi Imam. Kami para perempuan berjamaah sendiri. Kaum laki-laki sejak tadi telah membaca do’a.
Selesai shalat. Kembali memperhatikan ruang masjid, ada mimbar cantik berukir didepan, dibelakangnya ada dinding proselen berwarna hijau dengan gambar Ka’bah. Ada lima jam dinding yang warnanya juga hijau, berjejer tergantung didinding, tentu sebagai penunjuk waktu shalat. Karpet sajadah berwarna hijau membentang yang dialasi kain berwarna kuning yang panjangnya sama dengan panjang sajadah hijau, tapi lebarnya berbeda. Sepertinya kain kuning itu untuk alas kepala ketika sujud.
Saat semuanya telah selesai berdoa, kami berkumpul diteras depan. Telah berkenalan dengan beberapa orang yang shalat tadi. Di samping Tok Mansyur, pak Zulkifli sementara yang mulai banyak berbicara. Mencairkan suasana. Kita kan baru pendatang. Hehehhe.
Ada pak Sulaiman yang katanya tanggal 02 November akan berangkat untuk menunaikan ibadah Haji. Pak Sulaiman warga asli dusun melati, sedangkan bapak yang disebelahnya berbaju hijau adalah pendatang. Siapa ya namanya?.
Mereka sebagai informan pertama bagiku. Memberi informasi tentang mata pencaharian secara umum penduduk dusun melati. Ternyata yang bunda bilang sore tadi tentang orang bugis mayoritas pencaharian mereka adalah Koprah, benar. Bapak-bapak itu bilang Koprah adalah mata pencaharian utama. Berkebun kelapa lebih mudah, begitu alasanya. Selain kelapa penduduk juga berkebun langsat dan durian, tapi seperti alasan tadi. koprahlah diutamakan. Langsat dan durian panennya sangat lama. Saat perbincangan ini, rasanya banyak sekali yang bertanya. Rasanya teralu bergerombolan dan “mengeroyok” bapak-bapak penduduk asli itu dengan pertanyaan demi pertanyaan. Memang cara bicaranya dengan nada santai. Tapi, tetap saja ramai. Ya!, begitulah adanya namanya juga mencari data,
Bahkan pertanyaan yang sudah ditanya dan dijawab pun ditanya lagi. Contohnya saja ketika ada yang bertanya mengenai perkebunan. Informan sudah mengatakan bahwa masyarakat ada yang berkebun kelapa, langsat dan durian bahkan kopi juga ada. Namun, si Informan terpaksa mengulang, karena masih ada yang belum mendapatkan data itu. Wajarlah, penelitian yang tidak sampai 24 jam ini tentu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Bapak-bapak itu seakan sedang jumpa pers. Menjawab berbagai pertanyaan.
Saat berbicara tentang kelapa dagang, dan ada yang bertanya harga kelapa dagang. tiba-tiba Mak gembar, menyahut, “Kalau kelapa dagang Rp. 1.000 ye pak?”. Seakan berbicara dengan bapak-bapak Informan, padahal jarak mereka jauh. Ujung ke ujung, bapak-bapak inforn. Mak gembarpun sambil juga cengengesan dan bukan menghadapkan wajahnya dengan bapak-bapak Informan. Bapak Informan juga tidak mengiyakan. Hem. Siapa yang ditanya siapa yang menjawab.
Mak gembar maksudnya Nur Azizah dan Nur Rabiyah. Panggilan singkat itu kugunakan karena masih belum bisa membedakan mereka. mana Iza dan mana Ira.
Aku meninggalkan perkumpulan, perkenalan dan season tanya jawab. Mencoba untuk menyibukkan diri. Mendokumentasi. Terutama di dalam masjid, sempat kuperhatikan gerak-gerik bang Dedy, karena sejak tadi ia benar-benar mendokumentasikan area masjid, dari halaman hingga dalam masjid itu sendiri. Termasuk kran-kran wudhu yang kuceritakan tadi. Dia yang sewaktu pertemuan tatap muka di MC menawarkan cara mudah menulis data dengan kamera, benar-benar mempraktekanya. Aku rasa semua sudut di Masjid ia potret.
Aku mengalihkan posisi dari teras depan, melangkah teras belakang. Atau dari teras kiri ke teras kanan. Memasuki masjid, dan mengambil beberapa gambar yang akan dijadikan bahan tulisan. Seakan Candi yang baru saja ditemukan oleh masyarakat. Semua ruangnya, semua ukiranya, bagaimana lebar, tinggi, warna dan segala rupanya. Semua ingin mengetahuinya. Semua juga ingin mengabadikannya dengan bidikan kamera, Mencari-cari angel yang pas untuk dijadikan objek. Ya, Masjid yang kumasuki ini, layaknya candi. Peneliti riset wisata adalah arkeolognya. Selayaknya candi, kami juga mencari tahu sejak kapan bangunan ibadah ini didirikan. Hingga aku juga mendapatkan datanya. Masjid ini direhab pada tahun 87. Kapan pembagunan pertama kalinnya. Aku tidak tahu.
Masih menganalogikanya dengan Candi, ukiran-ukiran candi yang bermakna, sama halnya dengan susunan-susunan tulisan kaligrafi, tentu indah dan mempunyai nilai estetika yang sangat tinggi. kami juga memotretnya. Dari sorotan kamera,hingga blits semakin mengkilatkan masjid.
Aku mengarah ketujuan utamaku, teras belakang. Disana ada susunan meja panjang, dari papan dan berwarna putih. Sepengetahuanku, papan seperti itu digunanakan untuk anak-anak belajar di TPA. Berjejer rapi, dengan hitungan 3x5 +1=16, semoga tidak salah. Hem, maksudnya meja itu berjejer tiga dengan lima tingkatan dan yang satunya berada paling atas, dengan posisi kaki ke atas dan muka papanya kebawah. Jadi, ada 16 kursi TPA.
Melihat ini tentu aku berpikir bahwa di dusun Melati ada TPA, tentu akan menjadi bahan penelitianku, yakni pendidikan. Aku ingin tahu masyarakat disini lebih memperhatikan pendidikan yang berbasis agama atau yang umum. Masih sendiri di teras ini, aku pun kembali ke acara jumpa pers tadi.
Tak lama kemudian, setelah aku duduk kembali ke kelompok. Aku melihat kelibat seseorang di teras samping. Kemeja biru muda itu kemudian duduk menyandar di kaca masjid. Aku yakin, ia pasti warga sini. Mataku masih menyorotnya, hingga aku sadar ada seorang berbaju putih sedang menyapu teras itu. Tadinya aku melihat memang banyak daun-daun dan debu dilantainya. Tak ada waktu berpikir dua kali, aku langsung melangkah kesana. Disini terlalu ramai. Aku mengajak kiki yang duduk disampingku. Bersamanya aku mengalih sudut pandang.Melangkah dan duduk di samping, bapak berbaju biru muda itu. postur tubuhnya besar, lumayan tinggilah.
Ternyata yang mencium bau kehadiran bapak berbaju biru ini banyak. Padahal saat aku melihat kelibatnya. Ia sedang duduk menyandar. Alam pandanganku memang hanya dia dan baapk baju putih itu.
Seingatku, ada bu Cucu, bu Jun, Kak Amalia Irfani, Pak Ibrahim, Kiki dan Mahmud. Pak Ibrahim mengenalkan bapak berbaju biru ini. Pak Syafruddin namanya, ia RW di sini. Tapi dia ia ragu mengakunya. Ceritanya, jabatan itu sudah ingin ia tinggalkan, tapi tidak ada yang mau menggantiknnya. Kemudian yang baju putih adalah pak husni.
Sebelum Pak Ibrahim mengenalkan pak RW, Pak sudah banyak bicara diantaranya ia mengaku bahwa memang ada TPA disini. Sekitar 50 orang muridnya. Sedangkan gurunya berasal dari kampung sebelah, Kalimas. Murid-murid itu mempunyai seragam katanya. Tapi, sayang, TPA sudah mogok selama 6 bulan terakhir. Menurut pak RW, hal ini dikarenakan anak-anaknya yang tidak terlalu semangat. Sehingga TPA tak berjalan lagi. Padahal gurunya datang kayuhan sepedanya. Mungkin ia mengabdi untuk tempat tinggal asalnya, karena si guru awalnya berasal dari dusun melati, namun ia menikah dengan pemuda Kalimas, hingga akhirnya ia harus mengajar dari desa sebelah itu. Ini kata Pak RW.
Ternyata, meja-meja yang kulihat tadi, hanya tinggal kenangan dan mangkir di teras. Pantas banyak barang lain yang terletak sembarang diatasnya, seperti mangkuk plastik tertutup berwarna merah muda, kantong merah berisi Gypsum dan ember hitam kecil.
Halnya tampak sama dengan pertemuan di teras samping. Meski tidak setenar Tok Mansyur Cs. Pak Syaf dan Pak Husni lumayan banyak penggemarnya. Penggemar datanya he . Melalui mereka, data kami menmabah, kami lebih mudah mendapatkanya karena volume orang yang berrtatap muka dengan pak Syaf pun tak terlalu ramai. Jadi berbagai pertanyaan yang dilontarkan, teratur dan tidak rebutan.
Pak Syaf lebih semangat bicaranya, meski ia tak setenar Tok Mansyur Cs. Mungkin karena ia lebih muda dari Tok Mansyur Cs. Apalagi saat bicara soal pak Yapandi. Tampaknya pak Syaf adalah penggemar pak Yapandi. Saat pak Ibrahim memberi kabar pak Yapandi akan datang. Pak Syaf pun mengeluarkan kata-kata sanjunganya. Dari bicaranya ia sangat suka dengan pidato-pidato pak yapandi. Meski ia tidak bisa menggambarkan bagaimana besarnya rasa bangga dan bagusnya pidato itu. Aku hanya dapat menyimpulkan. “Pidato Yapandi itu bagus, ee, pidatonye tu suke saye ee” begitulah kiranya. Kalimat yang paling aku suka ialah “kamek tu bapak bakar lemaang ape, hem” saat ia menyebut kata lemaang. Hatiku menyahut “lemak e gak bunyi bapak ni nyebutkan e, Lemaaang”. Begitulah pendengaranku merangkap suaranya.
Ternyata sejarahnya pak Yapandi permah KKN di dusun ini, karenanyalah pak Syaf kenal dengan beliau. Bersamaan dengan sejarah itu, Parit Banjar mempunyai nama cantik dengan dusun Melati. Kesimpulanku berdasarkan dari yang aku dengar bicara pak Syaf, nama dusun Melati dibuat oleh anak-anak KKN zaman Pak Yapandi. Yakni Drs Yahya. Ada dusun Mawar juga loh.
Rokok yang berada antara jari telunjuk dan tengahya tetap kokoh terjepit di dua jari itu. Asap mengepul. Layaknya Tok Mansyur Cs. Pak Syaf juga tampak sedang jumpa Fans. Kemudian ia memberitahu kami, bahwa di dusun Melati terbagi menjadi 8 RT. Mulanya ia ragu, antara 7 dan 8. Hitungan RT dimulai dari RT 10 sampai RT 17, dengan 3 RW.
Masjid, tempat kami berbincang ini berada di RT 12. Dari 8 RT, 5 RT merupakan hunian orang bugis. Pak Syaf saat menyebutkan orang bugis juga tampak ragu, sepertinya ia lebih suka dengan sebutan Bugis melayu. Sebut bugis melayu lah. Begitulah ia menawarkan identitasnya. Pikirku apa karena mereka sudah meninggalkan adatnya, sehingga ragu mengaku Bugis?. Kemudian ia melanjutkan infonya lagi. 2 RT yang berada di ujung dusun ini, dihuni oleh orang Madura.
Pemukiman mereka tidak menyatu, saat ada yang bertanya apakah Parit Banjar adalah tanda pemisah dari pemukiman dua suku ini. Pak Syaf menjelaskan bahwa Parit Banjar tidak terputus. Kesimpulannya bukan paritlah menjadi tanda pembedannya. Pemukiman mereka memang tidak menyatu. Bugis-bugis, Madura-madura. Jika bukan Parit Banjar menjadi tanda dari perbatasan antar dua pemukiman ini, lantas?. Rupannya hanya lahan kosong saja yang menjadi pembeda.
Setelah rumah-rumah warga di RT Bugis mencapai RT 15, maka setelah itu ada lahan kosong, menjumpai pemukiman lagi barulah pemukiman orang Madura, tak lain tak bukan berada di RT 16. Jadi, Pemukiman Bugis-Lahan Kosong-Pemukiman Madura.
Memang tampaknya mereka terpisah dan menjauh. Tapi, itukan hanya sekedar rumah. Menurut Pak Syaf RW kita itu, tidak pernah adanya konflik antar dua suku ini.
“Bagus, bagus. Kamek si bagus. Tak pernah komplen. Bantuan pemerintahpun ndak” kata pak RW.
Pak Syaf kemudian melanjutkan, mengenai hubungan antar dua suku ini. Biasanya jika orang bugis punya acara, misalnya resepsi perkawinan. Mereka akan mengundang suku Madura, dan begitulah sebaliknya.
Pernikahan. Ternyata ada pernikahan antar orang Bugis dengan Madura. Namun, hubungan suami istri itu tidak lama, kini mereka berpisah. Tapi tidak hanya satu pernikahan saja, kata Pak Syaf mertua Pak Husni juga menikah dengan orang Madura itu. Mertua Pak Husni yang mempunyai dua istri itu, mempunyai dua rumah untuk dua Istrinya. Dengan tawa pak Syaf, “Langkau nye pun ada dua”.
Dari Pak Syaf pula aku mengetahui jumlah kepala keluarga yang ada di dusun melati, meski hanya dengan penaksiran saja. Kurang lebih 200 KK berada di RT 10-15. Rt 16-17 kira-kira 100 KK. Hingga semuanya kata Pak Syaf 300 lebih KK.
Adat dari dusun ini, tidak semuanya di gunakan oleh masyarakat. Mereka yang tidak memakai adat-adat Bugis seperti makan dalam kelambu, Makan Sepulung dan Lasuji ialah para Jama’ah Tabligh yang merupakan warga dusun melati. Biasanya para Jama’ah itu datang ke Dusun Melati, dengan waktu satu bulan sekali atau tiga bulan hingga ada satu tahun. Orang yang mengunakan baju Jubah panjang yang ikut shalat berjamaah tadi, mungkin dia lah salah satu dari Jama’ah Tabligh.
Isya. Adzan Isya memutuskan pembicaraan kami dengan pak Syaf malam ini. Kami bubar dan bergegas bersiap diri untuk shalat berjamaah.
Setelah berwudhu, kulihat pak Yus dengan motor Supranya yang berwana silver biru tiba. Pak Yus baru tiba dari Mempawah. Aku sudah berpikir ia akan membuat tulisan yang pastinya akan dimulai dari kota asalku itu, tentunya dengan perjuanganya bersabar pada hujan. Saat di depan Masji aku melambainya. Sayang tidak diperdulikan. Entah siapa yang menjadi fokus pandanganya.
Selesai shalat. Pak Ibrahim mengumukan lagi nama-nama kelompok baru. Kelompok yang mulannya ada enam itu dilebur menjadi lima, dan aku berada di kelompok II, kelompok enam menghilang sudah. Hanya Mutamakin dan Bang Dedy yang namanya aku simak, sedangkan yang lain diantaranya tidak kukenal. He,,.
Kata pak Ibrahim kelompok II menginap di rumah pak Radit. Radit?, nama yang keren. Meski aku tidak terlalu tahu pasti apa arti keren itu, yang pastinya aku tahu keren itu bagus, he. Heran, biasanya orang Bugis itu namanya, ya nama ODD alias Orang dolok-dolok. Seperti nama-nama petugas masjid yang terpampang di Whiteboard. Nama-nama yang tersusun di jadwal petugas Masjid itu adalah Ismail, Mansyur, Sulaiman, Syukur. Bapak-bapak ini mengampu dua tugas sekaligus, yakni Imam dan Khatib. Sedangkan yang bertugas menjadi Bilal ialah Dallek, Syafruddin, Jumadi, Bahtiar dan Ridwan. Jangan mengira bahwa aku memvonis nama-nama itu tidak bagus, Maksudku nama-nama itu identik dipakai oleh bugis ODD. Aku hanya berpikir bahwa orang tuanya Pak radit termasuk termasuk orang tua gaul. Di zaman sekarang nama Radit kerap digunakan di sinetron-sinetron. Selainnya yang aku tahu orang bernama Radit salah satunya adalah Blogger Raditya Dika, si penulis Kambing Jantan. Tapi umurnya baru 20-an geto!. Kalau begitu salutlah buat orang tuanya pak Radit. bisa memberi nama anaknya sebeken ini.
Ternyata kelompokku sudah berada di rumah Pak Radit, rumah yang tepat berada di sebrang Parit Banjar dihadapan Masjid. Mengemasi barang-barang dan The Master, aku yang telah ketinggalan kelompok langsung menuju rumah penginapan. Mutamakin berada dijalan sendirian. Ternyata dia mencariku atas instruksi pak Ibrahim mungkin. Sebab saat melihatku Mutamakin langsung bilang pak Ibrahim mencariku. Maaf.
Aku memasuki halaman yang cukup luas dan memuat dua rumah. Ada satu jalur jalan yang bertembok tanah, aku membawa The Master ke jalan itu. Kulihat dari halaman, Pak Ibrahim berbicara dengan tuan rumah.
Duduk seorang lelaki tua di teras rumah itu. Dahinya sudah berlipat-lipat, mengerut. Mungkin dia adalah orang tua pak Radit. Langsung masuk dan mengucapkan salam. Lagi, aku menemukan lantai berproselen. Rumah pak Radit beproselen berwarna krim. Dari muka pintu, kita akan melihat ruangan lagi yang ukurannya lebih kecil dari ruangan yang dihadapan kita. Ruangan itu berada di sebelah kanan. Disana ada sofa biru yang tampak sangat empuk, besar dan tinggi, tidak tersusun mepet seperti yang dirumah Tok Mansyur. Unik juga ruang tamunnya. Pak Ibrahim mengenalkan aku dengan tuan rumah itu. Aku lah Farninda Aditya, mahasiswa dari Tarbiyah. 
Tak lama Pak Ibrahim berpamitan, ia akan pergi ke rumah lainnya. Aku kira Pak Ibrahim satu kelompok denganku. Mantanku si kelompok VI, aku satu tim dengannya. Direktur utama MC itu, selalu mengingatkan aku pada Helmi Yahya. Tidak tahu apa sebabnya, pastinya Pak Ibrahim mengingatkan aku pada Helmi Yahya. Apa mungkin karena rambut belah sampingnya, atau bentuk wajahnya. Hah mirip rasanya terlebih jika ia mengenakan kaca mata. Inikan berdasarkan kacamataku.
Di rumahnya ini, aku menginap bersama Ibu-ibu Dosen, -baru kukenal-. Cucu Nurjamilah, Fitri Kusumayanti, Amalia Irfani dan Helva. Helva dan Irfani itu adalah Ibu-ibu muda, jadi aku memanggilnya dengan kakak. Canggung rasanya berada ditengah-tengah mereka. Mereka para dosen yang berasal dari jurusan Dakwah, kata bunda kak Helva yang berkacamata dan tampaknya mengerti style berpakaian adalah dosen Tarbiyah. Jika benar, aku tetap saja tidak mengenalnya. Huh, tidak ada yang sebaya denganku. Pandai-pandailah membawa diri. Adapun hanya Mutamakin, ia duduk bersama bang Dedy, di dekat Sofa.
Akupun tahu yang mana Pak Radit. Tinggi, kurus, berkulit hitam, rambutnya sedikit cepak, berkumis meski tak lebat seperti pak Raden. Ia mengenakan Jaket parasut Biru dan celana lepis.
Bu Cucu pergi bersama kak Amalia, mungkin mencari data. Tinggallah Bu Fitri dan Kak Helva. Dan, mereka berdua layaknya semangat Cut Nyak Dien, bertanya dengan suara yang cukup lantang. Terbukti dalam rekaman, tidak percaya?. Pinjam rekaman bang Dedy.
Rasannya arena diambil alih oleh dua wanita ini, mereka banyak bertanya tentang perekonomian masyarakat. Merasa belum saatnya mendapat jatah bertanya, aku menggerling gadis kecil yang tidak jauh duduk disampingku. Ia mengenakan piama, dengan gambar, hemm sepertinya Ultramen merah.
PDKT. Aku mendekatinya. Untunglah anak pak Radit itu tidaklah pemalu, bisa saja karena saking malunnya ia pergi ke dalam dan meninggalkan aku. Pupus sudah harapan mencari data.
Namanya Meli. Meli Agustin. Kelahiran 12 Agustus 1998. Sekarang ia sekolah di SMP 5 Kalimas dan masih kelas 1 (VII). Aku bertannya dengannya, apakah banyak teman-temannya dari Dusun melati melanjutkan ke SMP?. Mely menjawab, banyak. Dugaanku sepertinya benar.
Anak-anak disini banyak yang bersekolah. Meski tidak bisa dipungkiri ada yang tidak melanjutkan. Angkatan Meli berjumlah 30 orang, 26 lainnya melanjutkan sekolah, dan sisanya tidak. Kemauan untuk sekolah ada, hanya menurut Meli orang tua mereka tidak mampu. Informan kecilku bilang, pekerjaan orang tua mereka hanya sebagai tani. Guru-guru ada yang mempertanyakan mengapa mereka tidak lanjut sekolah pada mereka, sebabnya. Ya tadi itu, tidak ada biaya.
Dari beberapa yang tidak sekolah itu, kini ada yang bekerja di pontianak. Kemudian aku meminta Meli untuk menemaniku besok, menemui beberapa kawannya itu. mereka yang tidak melanjutkan sekolah itu. Meli bersedia. Senangnya.
Mengenai cita-citannya, Meli mengaku tidak tahu, mungkin gadis kecil ini masih mengambang dengan cita-citannya. Tapi biasannya, sepengetahuanku, dan pada umumnya, anak-anak itu sudah mempunyai cita-cita, umumnya menjadi Dokter, guru, polisi bahkan Presiden. Seperti lagunnya Susan, cita-citaku.
Sebelumnya Meli sekolah di SDN 20, di sekolah itu tidak ada guru yang berasal dari Dusun Melati, semuannya dari Pontianak. Ada 6 kelas di sekolah ini, juga perpustakaan. Buku-bukunya banyak, dari dana Bos, kata Meli.
Mengenai adannya TPA, Meli membenarkan, ia juga bilang bahwa TPA itu hanya berjalan selama satu tahun, dan ia juga ikut. Tidak tahu apa sebab TPA itu tidak ada lagi. Aku juga bertannya soal mengaji dengannya, Meli bilang ia mengaji dengan pak Juas, ada 15 orang murid pak Juas itu.
Oh, iya. Ternyata Meli tidak tahu bicara dengan bahasa Bugis. Tapi, ia mengerti artinya jika orang berbicara dengan bahasa itu.
Tidak jauh dari Meli, duduk seorang perempuan berkulit putih dan tampak sipit. Tadinya Ibu itu menyediakan kami teh panas. Ia adalah Istri pak Radit. Aku memanggilnya kak Mila. Aku mendekatinnya, beralih tempat duduk, masuk ke dalam, hingga kulihat ada dua kamar saling berhadapan di ruang itu. Berdiri tiga karung besar di dinding, saat kutanya apa isinya, ialah padi.
Dapur terlihat dari ruangan itu, dari pintu yang tak berpintu. Ada kulkas, kompor gas 3 Kg, dan tungku api. Dapur yang rapi dan bersih. Ada tkar pandan kecil terbentang di depan kulkas, berarti mereka makan pakai talam, pikirku. Terlihat pintu berwarna merah muda dengan dengan paduan warna putih, dan dengan ganggan putar kataku menyebutnya. Pintu itu adalah pintu Wc. Berarti Jamban tidak berlaku di rumah ini.
Kak mila berasal dari sambas, dia bukan asal Parit Banjar rupannya. Tepatnnya jikalau tidak salah Karimunting. Saat kak Mila menyebutkan asalnnya Kak Helva langsung bilang bahwa bibinya tinggal disana juga, di dekat masjid. Tapi kak Helva tak tahu nama Bibinnya itu. hehe jangan-jangan saudara.
Pendidikan terakhir kak Mila adalah SMA. Ia berharap dapat menyekolahkan Meli hingga perguruan tinggi.
“Sekolah tinggi-tinggi biar bise kerje. Ndak kayak emaknye tamat SMA, sekarang kerja menggunakan Ijazah” kata kak Mila.
Dari kak Mila aku menegtahui, bahwa nama suaminnya itu bukanlah Radit, tapi Musliadi. West, jadi?. Radit itu hanya panggilan saja, kak mila pun tidak tahu apa sebabnya, kadang suaminya itu juga dipanggil Adi. Jadi, tanggapanku tentang orang tua gaul dihapus
Kak Mila juga bercerita bagaimana guru-guru di SDN 20. Memang benar guru-guru itu berasal dari pontianak, tapi bukan pula sebagai alasan mereka untuk datang ke sekolah jam delapan atau jam sembilan. “Baju budak dah kotor, baru datang” lanjut kak Mila
Jika tidak ada guru-guru, para murid bermain. Karenanya baju-baju mereka menjadi kotor. Bahkan jikalau hujan, kadang sekolah diliburkan. Tapi, sekarang kebiasaan itu sedikit berkurang, mungkin karena jalan sudah beraspal.
Selain kak Mila, aku juga PDKT dengan Kak Ida. Dia adalah saudara kandung Pak Radit. Rumahnya ada disebelah. Mengenai pendidikan kak Ida, ia hanya sekolah hingga kelas 2 saja. ia berhenti karena sekolah itu jauh, letih. Tapi, kini Kak Ida mengaku, ia menyesal tidak sekolah.
Tiba-tiba, Pak radit berteriak, mengajak seorang laki-laki yang berada dihalaman rumahnya masuk ke dalam. Kata kak Mila, lelaki itu anak kepala dusun.
Alisnya tebal, sedikit memuncak keatas. Rambutnya pendek, ikal sepertinnya. Matanya tajam, ada sedikit janggut dan kumis yang tipis. Ia tampaknya senyum malu-malu. Ia menyeramkan dimataku, apalagi ia tidak mengenakan baju. Hanya jaket, namun jaket itu tidak di seletingnya, sehingga bulu-bulu dadanya terlihat. Iih,,. Ia duduk disamping pak Radit. menyimpuh.
Tidak lama kemudian, bang Dedy menyahut dan memberi tahu bahwa di kelompok kami belum ada yang menikah, dan ia menunjuk ke arahku. Hal itu tampak spontan, saat dia tahu bahwa lelaki seram itu belum menikah.
O’oo ketakutanku semakin memuncak. Aku berharap tidak ada yang melanjutkan gurauannya itu, rasanya sangat mengancam. Tahukah engkau bang Dedy, melihatnya saja aku takut. Hal ini membuat aku semakin enggan untuk bicara. Sehingga aku memutuskan untuk tetap duduk bersama Ibu-ibu tuan rumah.
Pendidikan masih belum menjadi pembahasan. Tema masih tertuju pada Perekonomian, dan sedikit mengarah pada konflik. Bu Fitri menggali info mengenai kesenjangan antar Bugis dan Madura. Seperti yang dijawab oleh pak Syaf. Pak Radit pun menjawab, dua suku ini tidak berkelahi.
Bu Fitri kemudian mengalihkan pertanyaan, ke arah konflik antar bugis saja. Ada. Berawal dari seorang warga yang mempunyai pohon Durian. Suatu saat musimnya tiba dan durian berbuah. Buah durian warga itu suka hilang. Hal ini membuat si tuan marah. Lama laun, si Tuan tahu bahwa yang mengambilnya adalah anak kecil. Tapi masalah ini tidak terlalu besar, penyelesaiannya pun secara kekeluargaan.
Durian di Dusun melati ini lebih bagus dari durian Punggur, isinya tebal, rasanya manis. Tapi, mungkin dikarenakan Punggur lebih banyak durian, maka buah berduri asal dusun Melati tetap mendapat identitas durian Punggur jika dijual.
Menurut pak Radit dan, lelaki seram yang namanya sudah diketahui, yakni Yusriandi. Jika ada masalah di dusun ini, penyelesaiannya secara kekeluargaan, dimulai dari RT hingga akhirnya kepala dusun.
Berbicara tentang kepala dusun, ayah dari bang Yusriandi itu hanyalah lulusan SD. Kesimpulanku, pendidikan tidak mempengaruhi status seseorang. Buktinya bapak yang bernama Abdul Razak itu, kini dapat memimpin selama 30-an tahun. Pemilihan kepala dusun karena yang dipilih mempunyai wibawa dan orang merasa segan dengannya. Hal itu dimiliki oleh pak Abdul Razak, bahkan masyarakatnya tidak ingin ia digantikan, meski ia tidak berada ditengah-tengan warganya. Ia tinggal di Pontianak, tepatnya di Jeruju Gg, Kenari.
Sebelumnya kita memang tahu, bahwa mata pencaharian di dusun Melati, umumnya adalah kelapa koprah. Tapi di rumah pak Radit, kami jauh jelas mengetahuinya. Pak radit, memang mempunyai kebun kelapa. Maka dia sendiri yang mengelolah kelapa koprahnnya, tentu dibantu oleh sang istri. Namun, bersama istrinya pula ia mengambil upah mengerjakan kelapa orang lain. Secara sistematis Pak Radit menjelaskan.
Mulannya kelapa dipanjat, dikumpulkan dan memasukinya ke area Langkau. Tiga tahap ini dihargai Rp.170.000 untuk 1.000 buah kelapa. Kemudian kelapa dikuliti, satu kelapa harganya Rp. 45. Selanjutnya kelapa dibelah, Rp. 7.000 untuk 1.000 kelapa. Selesai itu kelapa di salai. Dalam satu Langkau memuat 6.000 kelapa, membawanya mesti dipikul menggunakan keranjang. Berikutnya adalah menyungkil. Upah menyungkil ialah Rp. 500 untuk satu keranjang. Biasanya yang mencukingkil itu adalah para perempuab, kak helva pun berniat untuk melihatnya. Tapi, ia malah teriak.
“Ha?”. Saat kak Mila bilang, waktu mencungkil biasanya jam dua subuh.
Terakhir ialah memilih, kelapa yang memenuhi syarat. Kelapa yang cukup kering itu dimasukan kedalam keranjang, yang belum, di salai kembali. Banyak prosesnya. Semoga urutan dan hargannya tidak ada yang salah.
Pembeli koprah itu dikenal dengan sebutan Toke. Dengan toke itu orang-orang bisa meminjam uang. Membayarnya dengan kelapa koprah dan berdasarkan tempo yang diberikan oleh toke. Misalnnya empat bulan untuk 1.000 kelapa. Selama empat bulan itu, tidak ada yang menjual kelapa dengan orang lain lagi. Khawatir jumlah kelapa tidak mencukupi target kesepakatan.
Pak Radit mengaku ia cukup menyesal dengan keputusanya dulu yang tidak melanjutkan pendidikannya. Pak Radit hanya menjejaki pendidikan dasar hingga kelas V. Pak Radit, malas dan bandel sih. Sudah diplasa juga tetap tak mau sekolah. Sebab utamanya ialah Tak kuase.
“ Diplasa, tetap tak mau, memang bandel. Coba saya sekolah tak mungkin saya jadi kebon” ungkapnya.
Pak Radit yang baca tulis “bise-biselah” itu menilai kehidupannya saat ini adalah nasib. Mendengar ini Bu Fitri langsung menyela. Tiga kali, ia menyebutkan kata tidak setuju. Tapi kak Helva membela Pak Radit, menurut Kak Helva, jika tidak ada orang seperti pak radit maka tidak ada Koprah.
Kehebatan tanah dusun Melati ialah cocok untuk menanam langsat. Langsat memang tidak menjadi perkebunan utama. Memanen langsat sangat lama, usia untu cukup berbuah saja mencapai 20 tahun. Jika sudah begitu, satu tahun sekali terkadang waktunnya untuk berbuah, berdasakan cuaca pula. KB istilah istilah yang digunakan Bu Fitri dan Kak Helva mengenai sulitnya langsat berbuah. Jika sudah musim langsat, maka akan ada istilah pajak memajak buah langsat. Modelnya, pohon langsat yang telah berbunga akan dilihat, sedikit banyaknya bunga itu akan ditaksirkan dengan jumlah buahnnya. Biasanya satu kilo seharga Ro. 3.000. Pohon langsat terkadang dapat menghasilkan 200 Kg, bahkan ada yang 1 ton.
Bang Yusriandi mengaku, bahwa ada seorang pak Haji yang pernah memberi tahu, Berdasarkan agama Islam sistem jual seperti ini tidak diperbolehkan, karena penaksiran itu belum menentukan kepastiannya. Pengetahuan seperti itu bisa saja mereka dapatkan salah satunnya dari pendidikan. Bang Yusriandi yang tidak tamat SMA itu, mengaku mendapat pengetahuan tidak bolenya jual beli dengan cara penaksiran dari Pak Haji.
Pembicaraan mengenai Langsat tadi, malah membuat tuan rumah menyajikan sedikit langsat.
Entah sudah jam berapa, mungkin sekitar Pukul 21:40. Perut sudah sangat lapar. Bu cucu dan kak Amalia pun sudah pulang. Para ibu-ibu sudah berkumpul. Tapi belum ada yang bicara untuk masak dan makan. Tuan rumah pun tidak ada yang bertanya dan mempersilahkan. Bang Dedy sudah mengeluarkan biskuit isi kacangnya. Kak Helva juga mengeluarkan gorengannya, tahu dan bakwan. Aku juga ada membawa biskuit, tapi sama saja ‘bual’ meski sudah ada makanan itu, tetap saja perut ini mencari nasi.
Sebelum berangkat, aku hanya memberi jatah perut makan siang. Tak mungkin rasanya aku yang mengeluarkan pendapat untuk masak dan makan. Apalagi para ibu-ibu masih bersemangat, dan tampaknya tak ingat untuk makan malam. Catatan pertama jangan terlalu berharap banyak untuk bisa makan malam.
Melihat tahu dan bakwan tadi, aku pun kembali ke tempat duduk semula, dimana aku berhadapan dengan para ibu-ibu kelompokku. Gorengan pun mendekat. Lapar sudah tak tertahankan. Dua gorengan dilahap. Bang Dedy duduk disampingku, matannya sudah merah, kantuk yang kadar luasa. Rupannya bang Dedy lapar juga, ia yang sedang makan gorengan menoleh padaku, dan menunjuk perutnya.
“Lapar” tapi tak bersuara. Aku tertawa, melihat mimiknya. Nasib perutnya sama denganku.
Mutamakin yang masih duduk disebrangku, kulambai dan kuajak duduk disampingku. Ia ikuti instruksiku itu. Aku rasa ia juga lapar. Mulannya ia bertanya, tahu itu enak atau tidak. Aku yang sedang mengunyah daging tahu itu, tentu bilang enak. Selain memang suka, pastinya karena lapar.
“Maseh boleh nak ngomong tadak” aku membatin.
Mutamakin, mengaku ia tidak suka dengan tahu. Dalam hatiku, bukankah orang jawa suka tahu, aneh. Tapi akhirnya ia mengulurkan tangan mengambil gorengan itu. Kemudian ia bercerita, bahwa ia hanya makan siang.
“Lapar tu makan yak, jangan nak basa-basi agik”. hatiku bicara lagi.
Penat sedikit perut ini, tapi masih berharap, ada yang mengajak untuk makan. Jika begini biasanya istilah cemburu menguras hati aku ganti dengan lapar menguras hati, hick.
Hampir lupa, bapak tua yang ada diteras tadi, bukanlah orang tua pak Radit. melainkan pamannya. Pamannya itu belum menikah. Dasar pak Radit, dengan enteng saja ia bilang bahwa pamannya itu masih perjaka, dengan tawa terbahak-bahak. Si Pamannya hanya senyum saja. pasalnya ia juga pendengarannya tidak normal, maklum sudah 68 tahun umrnya. Datok itu dikenal dengan Wak Kudong, karena sejak kecil jarinya ku kodong. Kalau tidak salah jari tengah hingga kelingking.
Dituturkan oleh Wak Kudong mengenai sejarah parit Banjar. Dikatakanya bahwa Parit Banjar ini dibuka oleh orang Banjar, keturunan Sulawesi yang tidak diketahui apa sebabnya hingga ia berada di daerah ini dan membuka parit itu. Namun, orang Banjar itu tidaklah tinggal di dusun ini, ia hanya sekedar membuka Parit. Jadi, tidak ada keturunan orang Banjar itu disini.
Lahirnya Wak Kudong di Parit Banjar pun, karena Datoknya Wak Kudong yakni Adam Bin Laude pindah ke Parit Banjar dan membuka kebun di sini. Hingga akhirnya lahirlah ayah dari Wak Kudong. Karenanyalah Wak Kudong lahir di parit Bajar, tapi sayang ia tidak tahu sejarah dari dusun kelahirannya ini.
Wak Kudong lahir sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Saat kemerdekaan ia masih empat tahun. Lucunnya diumur yang masih sangat kecil itu, Ibu Fitri ingin Wak Kudong menceritakan bagaimana penjajahan saat itu. Rasanya tak mungkin Wak Kudong kecil ingat dengan zaman-zaman itu.
Ibu Fitri juga bertanya mengenai perbedaan yang dirasakan Wak Kudong antara zaman dahulu dengan zaman sekarang. Perbedaan itu dijawab Wak Kudong, ada nyamanye ade endak e.
“Bapak bilang ade nyamannye ade ndak enak e, zamannye dolook, berarti kan. Sekarang pun gitu gak. ni nyaman e ape, tak nyaman e ape pak?”. Tanya bu Fitri
“Ya lah, sekarang ini. saya ni dah tua dah tak nayaman perasaan,” dengan sangat santai Wak Kudong menjawab bahwa perasaanya lah yang menjadi penyebab ia merasa tidak nyaman dengan keadaan sekarang.
Keponakanya, lantas langsung menyahut “Kite yang mude tu masih nyaman,” dan tertawa.
Kami pun tetawa semua, terlebih aku yang benar-benar merasa jawaban wak Kudong sangat lucu. Kak Amalia membenarkan jawaban Wak Kudong.
“Betul-betul”. Katanya, tapi bukan berati ia tidak tertawa.
“Kalau sekarangkan mungkin sudah ada listrik, bisa nonton Tv gitu ba maksudnya”. Kak Amalia kemudian melanjutkan pertanyanya, bu Fitri yang terlanjur tertawa bahkan sambil menutup wajahnya, karena jawaban yang tidak disangka-sangka itu. Ia kira jawaban Wak Kudong mengarah pada Politik.
Bang Dedy kemudian bertanya, apa hiburan pada zaman Wak Kudong, terutama ketika malam. Adakah syair dan dongeng itu?. Wak Kudong menjawab.
“tak ade hiburan, kita maen-maen kelereng jak tu”
“malam-malam?” tanya bang Dedy
“Ha?” Wak Kudong meminta ulang
“malam-malam?, ndak ade orang besyrair, bedongeng, becerite?. Jelas bang dedy
“Ndak ade” jawab Wak Kudong.
Aku pun menimpal “layar tancap pak?”.
“Kamekkan tinggal diujung ni tinggal. Sekitar dua ratus meter dari sini” Wak Kudong menunjuk arah belakang rumah ini. Ia juga bilang dulunya tidak hanya ia yang tinggal dijalan itu, tapi bergabung bersama orang madura. Layar Tancapku tidak dijawab.
Tentang gabungnya perumahan orang bugis dan madura tadi. Bu Fitri bertanya sebab mengapa sekarang orang Madura dan Bugis itu berpisah, padahal mulannya mereka bersama.
“Die kan orang cari kerje gak, Pindah. die kan dulunya ngambil upah dengan orang bugis”.
Kami bertiga mungkin sedang memikirkan perut yang lapar. Bu Cucu tampaknnya sudah mengantuk ia telah menyandar di lemari. Kak Helva kelihatannya sudah banyak catatannya, sehingga suarannya sedikit redup. Bahkan ia sudah berganti kostum, Piama. Bu Fitri sesekali memberi kode untuk mengajak tidur. Tapi, tampaknya tuan rumah tidak ada yang mengantuk. Apalagi Wak Kudong, ia semakin semangat, karena telah dilibatkan dalam arena bicara tadi.
Tapi tidak ada yang bisa menguatkan lagi, kantuk benar-benar menjajah. Arena perbincangan malam ini resmi ditutup.
Catatn kedua. Pupus sudah harapan untuk dapat makan malam. Semua Inu-ibu tidak ada yang berniat untuk makan malam.
Tuan Rumah mempersilahkan kami untuk tidur di kamar, tapi kami enggan. Pak Radit mempersilahkan Bang Dedy. Tapi, ia terancam dengan ketidaksetujuan kami. Gurauan itu, ternyata ia indahkan. Hingga akhirnya ia tidur beralas kasur lebar yang tipis berwarna merah bersama Mutamakin. Kami para perempuan tidur beralas karpet. Tuan rumah meminjamkan bantal untuk bebarapa dari kami. Tapi aku, bermodalkan tas coklat gemukku saja.
Semuanya membawa selimut, kecuali aku. Ya, mengandalkan handuk hijau yang kubawa, fungsi sebenarnya kualihkan menjadi selimut. Tapi, bu Fitri. Ia mengikuti nasehat pak Yus. Ia membawa bantal kecil milik anaknya. Bantal berenda, berwarna kuning. Aku berada ditengah-tengah. Antara kak Amalia dan Bu Cucu, serta kak Helva dan Bu Fitri.
Sebelum tidur aku berdo’a agar perutku tidak berbunyi karena lapar. aku sudah meras ia bersuara. Untunglah tidak besar.
Selesai shalat subuh aku menjalani misiku. Semalam arena perbincangan tidak membahas pendidikan secara detail. Sepulang dari masjid, aku hendak mengambil perlengkapanku, dan langsung pergi, terserah pastinya aku mendapat data mengenai pendidikan. Kulihat tiga Ibu dosen sudah bangun, Bu Fitri, Kak Helva dan kak Amalia. Bahkan kak Helva sudah mandi.
Kak Amalia mengajak kami untuk masak. Akhirnya ajakan itu timbul juga. Menunda misiku, dan menunggu mereka bergerak. Tapi, beberapa menit kemudian tidak ada tanda-tanda untuk menuju dapur. Ibu-ibu masih berbciara. Hingga akhirnya pagi tampak dengan jelas. Aku memutuskan untuk tidak menunggu mereka, jika masak waktuku mungkin habis distu-situ saja. masak, makan berkemas. Sedangkan data, masih sangat minim.
Aku meninggalkan Ibu-ibu. Menuju ke rumah besar tempat Romy menginap. Ada empat anak disitu yang sedang bersantai di teras. Mengucapkan salam aku berkenalan dengan mereka. Memasuki rumah, kutemukan lagi lantai berproselen. Rumah yang kudatangi ini kudengar akan mengadakan makan sepulung, makan-makan satu kampung. Dalam kesimpulanku pemilik rumah ini adalah saudagar kaya.
Informan pertamaku pagi ini ialah Niawati,usiannya baru mencapai 16 tahun. Pekerjaan orang tuanya berkebun. Nia adalah anak pertama yang kutemukan tidak melanjut sekolah. Nia tamatan SDN 20, Nia tidak melanjut ke SMP. bukan niatnya Nia untuk tidak sekolah, tapi biaya pendidikan itu tidak bisa disanggupi oleh orang tuanya. Rumah yang aku datangi ini ternyata bukan rumah Nia.Rumah pamannya, ia bersama orang tuanya hanya menumpang.
Menurutnya, jika ia sekolah tentu akna mendapatkan pekerjaan dengan mudah, karena ia dengan pendidikan itu, ia akan menajdi anak yang pandai. Harap mia. Tapi, kini umurnya sudah 16 tahun, jika ia melanjutkan sekolah, perhitungannya ia sudah kelas VII SMA.
Melihat rumah yang besar ini, aku lantas mengasal bertanya mengapa tidak minta pamannya yang membiayanyi. Nia lantas menjawab.
“Anaknye jak ndak sekolah kak”. Heran. Anak saudagar ini ternyata tidak melanjutkan pendidikannya.
Murni. Atau panggil saja dengan Mak Ning. Dia adalah pemilik rumah ini. Umurnya sudah 48 tahun. Dua anaknya tidak ada yang menamatkan pendidikan hingga SMA. Anak lelakinnya hanya tamatan SMP. 4 SD. Itupun bukan sekolah resmi. Mak Ning sendiri hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 4 SD. Itupun bukan sekolah formal, sekolah rakyat. Sebenarnya Mak Ning dan suaminya pak Usman ingin menyekolahkan Yudi (23th) hingga jenjang SMA. Tapi, kata Mak ning Yudi yang tidak mau, padahal ia berharap anak laki-lakinya itu nantinya dapat membantu keluarga. Niat Yudi itu ia luruskan, ia tidak mau terlalu memakasa kehendak anak pertamanya ini.
Wahdania. Modis dari beberapa anak-anak yang kulihat tadi. Jika Nia hanya memakai baju kaos biru yang biasa-biasa saja, Wahda lebih tampak modis. Ia mengenakan baju blaster ungu putih. Baju itu panjangnya hingga pinggang. Celana jinsnya cukup ketat. Anak perempuan Maka Ning hanya tamat SD. Mak Ning bilang wahda yang tidak berniat untuk sekolah. Mak Ning pun tidak memaksanya, atau memberinya motivasi untuk melanjutkan sekolahnnya.
“Dianya ndak mau, salah orang tuannya” Ungkap mak NIng
Lagi pula Mak Ning pun khawatir dengan kaki Wahda yang sakit. Sewaktu kecil Wahda pernah mengidap penyakit stip. Sehingga ia sulit berjalan. Mak Ning khawatir anaknya Wahda tidak sanggup mengayuh sepedanya hingga ke sekolah. Sekolah jauh jarakya dan jalannyapun sangat tidak bagus. Rusak.
Aku bertanya dengan Mak Ning. Mengapa Wahda kini tidak mengambil Pkaet sjaa. Mak Ning menilai bahwa wahda sudah terlambat untuk mendapatkan pendidikan. Bahkan, mengherankan Ia menilai anaknya itu kurang pintar.
Aku bertanya soal Nia padanya, niat Nia yang ingin sekolah. Mengapa tidak menyekolahkan Nia saja. Dia akn mau. Jawaban mak Ning. Dia bukan anak saya.
Aku mendekati Wahda. Gadis kelahiran tahun 1992 ini, sebenarnya punya niat yang sangat besar. Tapi, kekhawatiran orang tuanya dengan kakinya, membuat pendidikan Wahda terlambat.
“Ada niat, tapi orang tua yang tidak mau” ungkap Wahda.jika ia sekolah ia ingin lenjut hingga jenjang SMA, tapi iulah tergantung pada orang tua katanya.Meskipun wahda telah memaksa.
Lain yang diungkapkan anak lain yang diungkapkan orang tua
“Emak yang nyuruh ndak usah sekolah, biar bise bantu-bantu. Maakan bapak, cucikan baju”. Lirih
Jadi ia hanya sekolah dirumah, pendidkan masak, atau membantu pekerjaan rumah. Padahal tahun 2008, abang sepupunya ada yang ingin menyekolahkan Wahda, tapi emaknya tidak melepaskan. Bapaknya sebagai kepala keluarga katanya hanya ikut keputusan emak. Wahda mengaku, terkadang ia malu karena tidak sekolah, terkadang ia juga dengki melihat kawan-kawannya yang bisa mengenyam pendidikan itu. ia ingin sekolah. Tapi, keinginan itu sudah tidak bisa diwujudkan lagi. pembicaraan terputus, ketika Wahda akan berpamitan akan pergi ke Kota Baru, ke rumah makan yang nantinya ia akan berkerja disana.
Anak ketiga ialah Eva. Eva bukan penghuni di rumah, yang jumlahnya ada 10 orang ini. Eva anak tetangga depan. Inilah ceritaku tentang gadis belia bernama Eva.
Namanya Eva, hanya Eva. Singkat. “Eva yak” begitu katanya ketika kutanya nama lengkapnya. Gadis belia keturunan bugis dan melayu sambas ini memiliki cita-cita yang sangat mulia, ingin menjadi seorang guru agama. Ia berharap dengan profesi itu ia dapat membantu ibunya yang kini seorang diri menjadi menjadi kepala keluarga. Bapaknya telah lama meninggal ketika usia Eva masih tujuh tahun, dan adiknya bernama Murni, yang memilki nama lengkap Murni Anggraini itu masih berumur dua bulan.
“Jadi guru agama kak, karena kamek dari sekolah agama,” Mts Al-Rish katanya kemudian, sebelum aku tahu bahwa Al-Rish adalah singkatan dari Al- Raudatul Islamiyah.
“Pengen bantu emak kak, kasihan liat emak sendiri sekarang. Emak yang jadi kepala keluarga” begitu katanya serambi melihat kedepan, mengarah pada rumahnya yang tanpa warna itu, berdinding semen yang ada disebrang. Di depan rumah tetangganya, tempat aku dan dia berbicara. Horden berwana merah mudah menghiasai jendela kaca rumahnya. Terlihat pula pohon-pohon langsat kokoh tertanam disamping halaman rumah itu.
Pendidikan dasarnya, ia tempuh di Sekolah yang satu-satunya ada di Dusun Melati. Ketika Hujan air akan bergelinangan bertahan memenuhi halaman sekolahnya. Banjir. Kini sekolah dengan cat hijau berles coklat itu telah berdinding semen, begitu pula dengan lantainya, tapi hanya kelas V dan VI, kelas I –IV belum mendapat jatah lantai semen.
Eva memang tidak pernah mendapat juara kelas, Eva juga mengaku bahwa kemampuan intelektualnya pas-pasan.
“Tak pernah dapat juare, kamek ni standar yak kak e” akunya.
Tapi, aku tahu kecerdasan intelektual bukan penentu kesuksesan seseorang. Kemauan Eva untuk belajar pasti akan menolongnya. Semangat belajar Eva sangat tinggi dan ia tahu dengan kondisi yang ada disekelilingnya. Di sekolah dasarnya itu, akunya memang mempunyai perpustakaan. Tapi sayang, tidak membiarkan siswa-siswanya bebas untuk membaca dan meminjam bukunnya. Eva bercerita jika ia dan teman-teman ingin ke perpustakaan ia harus meminta gurunya untuk membukakan pintu lebih dahulu. Namun, jika gurunya tidak bersedia menuruti permintaan mereka, maka Eva dan teman-teman mempunyai cara jitu menembus perpustakaan. Masok, lewat telongan.
“Kite yang minta bukakan perpustakaan kak, tapi kalau tadak dibukakan kite lewat telongan” aku eva denga tawanya mengingat usahanya untuk dapat belajar. Aku juga tertawa serambi memikirkan Eva kecil memanjat jendela dan menjadikanya pintu masuk perpustakaan. Meski posisi perpustakaan berada didekat WC yang baunya sangat menyeruak dan bisa membuat tidak betah kata Eva. Tapi, jika permintaan Eva dan kawan-kawanya terkabul, maka ia akan meminjam buku-buku itu untuk dibawa pulang, kemudian Eva membuat kesepakatan bersama kawan-kawanya untuk belajar bersama. Semangat Eva.
Tapi, mengenai SDN 20, aku juga punya cerita dari seorang murid yang kini duduk di kelas IV. Dialah Ria. Ia duduk disampingku menceritakan jika gurunya tidakada ia dan kawan-kawanya bermain. Main kejar-kejaran, Main getah. Tak peduli kelas berapa, 1-6 ikut bermain. Parahnya, kadang muridnya sudah pulang gurunya baru datang. Miris.
Bagaimana dengan Upacaranya?, Ria bilang tidak ada upacara hari senin. Ria tidak tahu lagu Indonesia Raya. Begitulah cerita tetangga Eva ini.
Eva. Setelah ia lulus dari pendidikan dasarnya, Eva melanjutkan ke sekolah yang berlandaskan Agama itu. sudah dikatakan sebelumnya, di dusun tempat Eva tinggal hanya berdiri sekolah dasar. Jadi Al- Raudatul Islamiyah tidak berada dikawasan Dusun Melati. Sekolah itu berada di Pal IX. Sangat jauh dari tempat tingga Eva. Menuju ke sana Eva mengendarai sepeda, melewati jalan yang rusak berlubang dan jika hujan air akan tergenang sehingga harus rela untuk tidak menggunakan sepedanya itu. Ia dan kawan-kawanya bernama Jumayah, Khairunnisa dan Evi Eka Wulandari akan menuju sekolahnya dengan mengarungi air tanpa sepeda. Begitu pula apabila salah satu dari mereka sepedanya rusak maka mereka harus rela ke sekolah tanpa kendaraan. Eva mempunyai rasa solidaritas yang kuat.
Jika pergi tanpa sepeda dan tanpa hujan. Mereka berlari, benar-benar lari bukan lari maraton untuk menuju sekolahnya. Melewati empat kampung lainya. Kalimas Tengah, Parit Lintang, Kalimas Hulu dan Parit Gadoh Dalam.
“Kalau sepeda rosak,bekejar”
“Bekejar pela-pelan?” tanyaku kurang yakin.
“Bekejar betol-betolah kak, mane pulak nak pelan. Nak sampai jam berape agik” lanjut Eva menjelaskan.
Jika menggunakan sepeda Eva pergi sekita pukul 05:30, dan akan tiba kesekolah pada pukul 07:00. Tapi, apabila tidak bersepeda ia harus siap lebih awal dari biasanya paling tidak pukul 05:00 ia sudah turun dari rumah, untuk berlari menuju sekolahnya. Belum lagi ia harus membagi sedikit waktu untuk beristirahat sejenak.
“Berenti lok sebentar kalau leteh, kok tadak gitu sih pingsan sampai sekolah” kemudian ia bercerita kalau salah satu temanya ada pingsan setiba disekola. Meski mereka telah menyisihkan waktu untuk beristirahat.
Tidak selamanya kesekolah dengan larinya itu membawa Eva tiba tepat waktu. Pernah ia terlambat dan saat itu kebetulan pembelajarnya adalah guru yang sangat disiplin, siswa harus datang tepat waktu, tidak boleh terlambat. Meski sudah menjelaskan sebab keterlambatanya, sang guru tetap memberi Eva hukuman. Berjemur.
“Udahlah pegi e bekejar, sampai kenak jemur pula”. Cerita Eva dengan senyumnya tanpa ada paras kecewa dari sikap gurunya itu.
Mulanya ketika masih menjadi siswa baru di Tsanawiyah ini, Eva sangat canggung dengan upacara pengibaran bendera merah putih pada hari senin. Hal ini dikarenakan sekolah dasarnya tidak pernah mengadakan upacara hari senin. Tidak tahu lagu Indonesia raya, bahkan rasa canggung itu lebih terasa saat ia ditunjuk menjadi petugas upacara dan mengibarkan sang bendera merah-putih. Hal yang sama sekali belum pernah ia lakukan. Tapi karena Eva belajar, ia pun bisa.
Mendekati masa ujian Nasional, ketika teman-temanya di sekolah mengikuti les tambahan di luar sekolah. hal itu tak berlaku untuk Eva. Eva mengaku tidak ada uang lebih untuk mengikuti les, apalagi tempat les sangat jauh dari rumahnya. Tapi, untunglahh Eva dan kawan-kawanya cepat berinisiatif. Salah satu tetangganya yang Alhamdulilah berkesempatan menjajaki bangku kuliah dipinta Eva untuk memberi les padanya. Syukur Kak Ira nama tetangganya itu bersedia. Mata pelajaran Matematika dan IPA yang dapat ia ajarkan pada Eva dan kawan-kawanya. Usaha Eva membuah hasil, ia pun lulus ujian dan akan bersiap diri menuju jenjang beriutnya.
Sayang, pendidikan gadis belia ini tertahan. Ibunya hanya menyekolahkan Eva hingga menyelesaikan pendidikan berseragam putih biru saja. Bukan karena Ibunya beranggapan bahwa sekolah tinggi-tinggi akhirnya anak perempuannya kembali mengerjakan pekerjaan dapur. Ibu Eva juga tidak memikirkan kerugian uang yang ia habiskan untuk menyekolahkan Eva. Ibu Eva tidak seperti itu. Ibunya malah ingin Eva mendapatkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. lantas apa penyebabnya?. Hem biaya yang menjadi masalah.
“Tak ade duit kak, emak sih mau nyekolahkan. Tapi nak gimane agik” lanjutnya dengan pandangan yang pasrah. Tapi untuk tahun-tahun berikutnya ia berharap keinginan melanjutkan sekolah terwujud.
Saat ini Eva hanya dapat membantu meringankan pekerjaan ibunya dirumah, selain itu jika musim langsat tiba ia mencoba mendapatkan penghasilan dengan memungut langsat gugur yang akan dijual dengan harga Rp. 2.000 per kilonya. Kadang juga mengumpulkan pinang dari kebun tiga depaknya, mengkuliti pinang itu kemudian dijual. Ibunya bekerja sebagai upah tani, yakni mengerjakan ladang orang lain. Menanam, membajak, dan mengetam. Kebun tiga petak peninggalan bapaknya tidak bisa menjadi andalan untuk memenuhi kehidupan mereka. Bahkan Ibunya yang bernama Kamsidah, mengaku kebun yang ditumbuhi pohon langsat itu belum terlalu dapat dirasakan hasilnya. Pohon-pohon langsat itu sudah ia pajakkan kepada orang lain untuk membayar utang yang telah lama dipinjam.
Selayaknya cita-cita Eva, Ibu Kamsidah juga ingin Eva dapat melanjutkan sekolahnya, meski ada yang beranggapan bahwa ia menyekolahkan Eva hanya menghabiskan uang, karena untuk makan sehari-harinya saja ia kesulitan. Tapi sebagai Ibu yang mengerti apa yang terbaik untuk anaknya ia tetap berusaha untuk dapat mewujudkan keinginan anaknya. Eva yang ingin sekolah.
Aku banyak bicara dengan anak ini, karena ia banyak memberi pandangang tentang pendidikan di dusun ini. Meski hanya persepsinya. Menurut Eva anak-anak yang bisa sekolah hingga SMA dan perguruan tinggi hanyalah orang yang mampu. Tapi tak hal itu menghambat keinginanya untuk tetap sekolah. Juga tentang pendidikan Agama di Dusun Melati.
Dari Eva aku tahu, bahwa dulunya ada pengajian belajar Tartil, memperbaiki bacaan kata Eva. Gurunya adalah Wak Madi atau Jumadi. Ia adalah salah satu Jama’ah Tabligh. Karena Ia sering berpergian, sehingga anak-anak banyak yang malas, karena tidak ada yang mengajar. Ditambah lagi jika musim buah langsat. Murid-murid Wak Madi biasanya sibuk menyambut buah itu. Kiranya ada 30 yang belajar dengan Wak Madi.
Adanya Program Aksara Fungsional (KF) juga kutahu dari Eva, emaknya Kamsidah juga ikut. Hanya emak Kamsidah lebih fokus dengan pekerjaanya. Tapi, kini emak Kamsidah sudah bisa membaca dan menulis cetak. Kegiatan ini dilakukan dirumah Wak Kecik.
Selain emak Kamsidah aku juga bertemu dengan Ibu Ani. Ia mengaku bahwa ia tidak pandai membaca dan menulis, tapi dengan program yang berjalan tiga bulan itu, kini ia bisa membaca dan menulis. Meski mengeja dan menulisnya pun masih belum lancar. Aku memintanya untuk menulis serta membaca. Dia menulis namanya Ani.
Mengenai adat bugis, Emak Eva hanya melakukan makan dalam kelambuh, Lasuji tidak.hal ini dikarenakan Eva bukan keturunan asli Bugis. Tapi Eva pernah bilang dengan Emaknya, bahwa guru di sekolahnya bilang hal seperti itu syirik.
Oh, iya Eva juga ikut TPA. Sebenarnya emak Eva juga ingin Murni bergabung, namun pembelian buku iqra’ dan baju seragam yang mahal membuat emaknya mengurung niatnya itu. Eva juga bilang bahwa Meja-meja di teras Masjid itu dibuat oleh Wak Kedik nama Slinya ialah Muhammadiayah.
Aku begitu fokus pada Eva, sehingga dataku hanya berputar pada Eva. Sedikit menyesal. Sudah sangat siang. Sepertinya sudah waktunya rombongan bersiap diri untuk pulang. Perutku yang lapar sudah terisi. Terisi Tahu goreng lagi. Di rumah Mak Ning tadi aku disajikan.
Aku pulang, kerumah Pak Radit. niat untuk ke sekolah bersama Eva dan Meli dibatalkan. Rupanya kelompokku sudah siap untuk pulang. Cepat sekali rasanya. Aku menjemput bunda, di rumah pak RT, nenek dirumah itu menawarkan aku bingke. Bagaimana mungkin akan menolak. Rejeki itu akan menghantar aku pulang. Oke bingke penahan lapar
Diperjalanan aku berhenti sejenak. Melihat bagaimana rupa SDN 20. Ada kelas yang berdinding papan dan tidak ada kaca. Ada bekas pembelajaran di papan tulisnya.
Isilah titik-titik dibawah ini
1. Indera untuk mendengar adalah:
2. Indera untuk melihat adalah:
3. Indera untuk berjalan adalah:
4. Indera untuk memegang adalah:
5. Indera untu merasa adalah:
Cuaca yang telah mendung. Telah menurunkan hujannya. Pulang menembus hujan dengan mantel kepala dua meski aku memakainya sendiri. Aku dan bunda ketinggalan, Sepi, aku teringat bahwa Parit yang sudah meluas menuju muka jalan terdapat penunggunya. Ialah buaya. Buaya yang dipercaya oleh orang bugis sebagai keturunan mereka. sehingga lasuji, buang-buang itu selalu mereka lakukan.
Tiba di muka jalan dusun melati, menuju jalan besar kalimas. Aku pulang meninggalkan dusun melati, yang nama punya nama beken, Parit Banjar.

Komentar

thebeautifulbutterflies mengatakan…
hai assalaamualaikum
menarik sekali bacenye, boleh saye kontak emailnye?, utk keperluan penelitian jg...
Redaksi Aditya mengatakan…
Wasalam, maaf saya baru baca komentar ini. Email saya, nindaaditya@gmail.com. Terima kasih, atas kunjungannya, semoga bermanfaat.

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau