Langsung ke konten utama

EMAK, AYAH, AINUN. AKU PULANG!

Tak ada yang mau berbicara padaku, padahal sejak tadi aku berdiri disini, di depan mereka. Bukankah kemaren suara mereka sangat renyah dipendengaranku, bukankah mereka senang mendengar aku akan kembali. Tapi, mengapa hari ini mereka tidak menyapaku. Emak, ayah bahkan Ainun adikku yang manja juga tidak. Mengapa?. Perasaanku tidak menentu. Takut, takut mereka tidak mau menerima aku lagi. Aku tahu, aku salah karena tidak mau menuruti permintaan mereka, meninggalkan laki-laki brengsek itu. Bahkan aku memberontak, dan meninggalkan rumah, tanpa pamit, tanpa kabar.
Hari ini aku pulang. Aku janji aku tidak akan pergi lagi. Aku pulang untuk Emak, ayah dan Ainun. Aku menyesal dengan apa yang telah aku perbuat, aku sadar telah mengecewakan kalian. Suara dari telepon, kalian sangat bahagia mendengar aku akan pulang, bahkan emak tidak sedikitpun membahas tentang lelaki itu. Emak bilang ia sangat merindukanku, ayah juga, Ainun pun. Aku pulang. Namun, mengapa aku disambut dengan wajah tidak dengan kerinduan, kasih sayang dan senyuman?. Mengapa mak, mengapa yah?
“Emak”. Aku menyentuh tanganya, menciumnya. Tapi, wajahnya menggambarkan bahwa ia tak sudi dengan kehadiranku, emak sedikit pun tak ada respon. Bahkan matanya mengedip pun tidak. Ada apa dengan emak?. Aku resah.
“Ayah”. Sama. Tidak ada tanggapan, aku semakin linglung.
Ainun. Adik manjaku sedang bebaring dipangkuan emak. aku mendekati Ainun, ku helus rambutnya. Tersenyum padanya. Tapi, Ainun menangis, menangis sejadi-jadinya. Apakah Ainun kecilku juga tak mau menerima kedatanganku?. Aku sedih.
Pikiranku berpikir kacau, hatiku tak menentu rasa. Air mataku sudah mengalir, deras, bahkan beringus. Sudah begini, sudah menangis mereka tetap tidak memperdulikan aku. Aku bertanya dengan Emak, apa kesalahanku. Tidak ada jawaban, emak sibuk menenangkan Ainun yang semakin tak mau menatapku. Ia terlihat sangat takut. Aku kembali menghampiri ayah. Ayah pergi begitu saja, ia menerima telepon yang entah dari siapa, tapi sulitkah ayah menoleh padaku, jika memang belum sempat berbicara denganku, sulitkah untuk senyum pada anaknya ini. Ayah sibuk dengan suara yang berbicara denganya, saat kuhintip wajah ayah terlihat terkejut. Aku tidak ingin menganggunya.
Tiba-tiba aku merasa diabaikan, terbuang. Aku semakin menangis. Mak, Ayah aku ingin bercerita dengan kalian, tentang aku yang disiksa semalam, ketika aku meminta lelaki itu menghantarku pulang, tapi ia mengibaskan ikat pinggangnya di punggungku. Aku menghampiri emak. Tidak peduli, ia tidak mau bicara denganku. aku ingin bilang.
“Mak aku merindukanmu, aku ingin dipeluk emak. aku rindu jemari tangan emak”. Emak tetap diam.
“Mak. Sulitkah engaku memelukku?, mak aku terluka, aku sakit,” aku tunjukan tangan kiriku yang lebam, pipiku yang membiru.
“Mak. Apakah emak tidak mau membantuku untuk menyembuhkan sakit ini?”. Tidak ada yang berubah, emak seperti tadi. Bungkam.
Aku merasakan kepedihan, pedih di fisik dan mendalam dihati. Aku tidak kuat dengan apa yang aku lihat, aku rasa. Emak dan ayah benar-benar tidak mau menerima aku lagi.
“Mak, aku pergi saja. Pergi yang jauh. Aku janji tidak akan merepotkan emak dan ayah lagi. maaf atas salahku selama ini. Aku sayang emak, ayah dan Ainun”. Aku melangkah dengan tangis. Berlahan masih berharap ada yang memanggil, berharap ada yang memeluk.
“Rahmaaaaaaaaaaaa”. Suara ayah, ayah memanggilku. Aku tersenyum ada harapan untukku. Tapi, sauara ayah aneh, berteriak sedih tidak, marahpun tidak. Tak apa.
“Ayah,” aku menghampiri ayah. Tapi, ayah hanya melintas didepan wajahku. Lantas apa arti teriakan taadi.
Aku berbalik ka arah emak. entah apa yang ayah katakan pada emak. Emak juga terkejut, wajahnya mengalahkan mimik ayah yang lebih dulu terkejut. Emak menangis, merintih.
“Allah, Allah” suara emak tersengal-sengal. Aku berlari menghampiri emak yang telah terduduk lemas, Ainun juga semakin menangis. Aku ingin tahu apa yang terjadi, aku ingin menenangkan emak, atau paling tidak menggendong Ainun.
“Innalillahi wa Inna ilaihi raa ji’uun”. Suara emak, memelan.
Meski suasana seperti ini, tetap tidak ada yang mau bicara denganku. Ainun semakin menangis, menangis melebihi tangisnya yang tadi dan tetap tak mau menatapku.
Sudahlah, kehadiranku tetap tidak diinginkan. Aku keluar, melangkah, meninggalkan rumah. Jalan sepi kulewati, hanya sayu sinar lampu jalan menemaniku. Rencanaku aku akan beristirahat di Masjid yang ada di tikungan jalan.
Aku sudah ada didepan masjid. Ada Pak Sarono disana, ia guru mengajiku. Ia sedang mengambil mikrofon masjid. mungkin dia ingin tadarusan.
“Innalillahi wa Inna ilaihi raa ji’uun, telah berpulang kerahmatullah Rahma binti Thalib”
Langkahku berhenti, nama itu, persis seperti namaku. ayah. Ada nama ayah. Pak Sahroni menyebut namaku. Aku pulang, aku pulang kerahmatullah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau