Langsung ke konten utama

Hilang, Lenyap di Pusar Dunia

“nda..anak pak Al meninggal”
Seperti itulah yang ku dengar, dilalai tidurku. Entah sudah jam berapa tapi, jam tidurku gari ini memang lebih awal.
Terngiang kata-kata itu dalam pikiran ku, ingin tak ku perdulikan tapi ada rasa penasaran walau setengah sadar.
Mendalam dalam lamunan dengan mata terpejam, aku mencoba mencerna kembali, mengingat siapa orang yang disebut tadi. Pak Al!. Yang hanya aku ingat hanya seorang Dokter, saat aku masih kecil ibuku selalu membawa aku berobat di sana. Nenek sungguh yakin ia tidak akan sembuh kalau bukan Dokter itu yang menanganinya, walau nenek percaya dokter hanyalah perantara, bukan dokter yang menyembuhkanya. Tapi dokter itu, bukan pak Al, tapi pak Ar. Kini akupun tak tahu keberadaan dokter lanjut usia itu, mungkin sudah meninggal.
Berakhir dengan kebingungan, aku perkuat mataku dan aku berteriak dari dalam kamar.
“Cu, tadi panggil Nin ke?” tanyaku pada kakak sepupuku yang selalu aku pannggil Ucu, ucu itu bukan namanya tapi hanya panggilan, begitulah biasanya anak bungsu dipanggil. Aku mengharap dapat kepastian dan pengulangan teriakanya yang membingungkanku tadi.
“ndak” sahutnya dari luar kamar
“H?, tidak”, aku terdiam bertanya kembali, namun hanya dalam hati, apa aku salah dengar tadi, cukup jelas walau terhalang kantuk.
Malas untuk melanjutkan rasa penasaran itu, melanjutkan tidur yang tertunda adalah pilihan yang tepat untukku.
Esok.
“nda, anak pak Al tu kanker apa be?”
Tanya bibiku, kami berdua sibuk menyiapkan makan malam. Aku yang berdiri sedang menyiang sayur bayam yang dibelinya, sedangkan dia duduk sedikit menyamping dari posisiku berdiri sambil menampik tumpukan tepung terigu.
Aku ngeh mendengar nama itu, pak Al, ia adalah saudara kami, sepupu ibuku dan suami bibiku.
“oo, kanker katenye tapi tak taulah kanker ape, rumah sakit disini jak nyerah, dah dibalekkan kerumah sakit sana’ katenye” aku berbicara bersama langkahku menuju dapur luar, hendak membuang batang dan daun sayur yang tak layak pakai.
“kan semalam meninggal anaknye tu” bibiku menimpali jeda ceritaku.
Hanya “H” yang bisa keluar dari mulutku. Aku terdiam, dalam hati aku menyadari kalimat yang kudengar tadi malam adalah berita tentang kematian Adrian. Setengah tak percaya, karena baru kemaren aku mendengar berita tentang keadaanya, pagi sebelum aku kembali ke Pontianak. Aku dan ibuku tak sengaja bertemu dengan kak Ria, kakaknya Adrian di warung yang ada dipertengahahn kampung kami.
Semua ini memang sudah diatur, berakhirnya perjalanan Adrian didunia mungkin hal yang terbaik, aku tak tahu pasti sejak kapan ia menderita penyakit itu, sejak awal masuk sekolah menengah atas, mungkin hanya berapa bulan saja ia merasakan mengenakan seragam putih-abunya.
Ia sahabat sekaligus musuh kecilku, keluarganya lebih mampu daripada keluargaku. Ayahnya adalah seorang Pegawai Negeri, sedangkan Bapak Hanya seorang petani sekaligus penjual kayu. Jika masa panen atau menggarap ladang masih bisa ditangani Ibu, maka bapak mengambil Kayu bakau di hutan yang mengarah ke Laut. Tak terlalu banyak yang aku ingat tentang masa kecil bersama bapak. Bapak meninggal disaat umurku masih 4 Tahun 5 bulan.
Begitu juga dengan Adrian, yang aku ingat, Aku dan ibuku biasa mengunjungi rumahnya, karena sebelum bapakku meninggal aku tinggal dikampung yang sama dengan Adrian.
Jika aku bertamu kerumahnya, ia selalu berkelahi dengaku. Tinju, tendangan sering mendarat ditubuh kecilku, kadang aku membalas jika ibuku dan orangtuanya tidak ada, tapi jika ada, aku hanya berani bersembunyi dibelakang pinggang ibuku, memegang erat baju yang dipakai ibu. Tapi ia tak takut atau segan, ia tetap megejarku tak puas jika aku tak menangis. Kadang ia akan berhenti jika ayahnya yang memarahinya. Aku tak pernah tahu mengapa dan berapa besar rasa musuhnya padaku.
Tak lama bapakku meninggal aku dan ibu pindah keumah nenek dikampung sebelah.
Aku tak menyangka, begitu cepat Adrian pergi membawa penyakit yang merogoti kebebasanya.
Sempat ia sembuh dari penyakit itu, tak lebih dari satu atau dua tahun, tak lagi terkapar ditempat tidur, tak lagi dipapah ketika berjalan dan tak lagi terdiam seribu bahasa dikursi sofa panjang diruang tamu rumahnya.
Sembuh sesaat. Seperti tak sadar dengan penyakit itu, ia kembali dengan dunia malamnya, bebas berjalan memutar kota dengan motor bebek yang dibelikan ayahnya.
Mungkin ia ingin merasakan kebebasan itu lagi walau sesaat. Tak salah ia pasti rindu dengan dunia itu, itulah dia.
Umur memang tak ada yang tahu, takdir atau nasib hanya Khaliq yang mendalanginya.
Kematian hanya ditunggu saja, duduk mengahadap komputerpun aku juga bisa mati, atau jemariku yang sedang sibuk tanggap dengan letak-letak huruf tak berturan ini, bisa saja singkat tak bergerak, Strok.
Tak berselang satu hari, berita kematian musuh kecilku. Setelah solat Magrib aku berdoa untuknya, disaat itu juga, teringat teman-temanku yang lebih dulu pergi dari dunia yang sementara ini.
Kakak kelasku Jeri, yang sempat membuat aku jatuh hati. Menjelang satu bulan Ujian nasional, kecelakaan yang tak bisa ia hindari menjadi sebab. Singkat hidupnya. Belum sempat ia serahkan Ijazah SMA pada orangtuanya, bahkan belum sempat ia memegang kertas soal Ujian, dan tak sempat mencoret seragam putih abu dengan pilox dan spidol tanda tangan. Tak kami lihat dirinya ketika kelulusan. Bangku ujian menjadi bangku kosong. 18 tahun, hanya 18 tahun saja ia hadir di dunia ini.
Aku juga ingat dengan, dua adik kelasku. Setahun setelah itu. kurang lebih satu bulan sebelum jadwal Ujian Nasional juga. Sebabnyapun tak berbeda, kecelakaan. Kecelakaan itu terjadi ketika mereka akan pergi ke salah satu sekolah, kegiatan pramuka jika tidak salah, pergi dengan semangat, harap dan nama sekolah.
Bulu kudukku berdiri ketika berita itu terdengar di sekolah, guruku yang membahas soal Geografi untuk persiapan ujian, meninggalkan kami menuju rumah sakit.
Kami semua berinisiatif berhenti melanjutkan pelajaran. membawa mukenah masing-masing menuju masjid Agung, membaca doa bersama, membaca surah yasin untuk keselamatan mereka. Gawat katanya, darah yang keluar dari kepala Andra tak berhenti mengalir, dan yang satunya lagi, Lutfi luka dalam.
Perih untuk kami, tangis meruntuh dari pelupuk mata. Langkah kaki seorang dari sahabatnya berhenti dihadapan kami yang sedang membaca khusuk, aku yang masih memegang surah yasin, mencuri pandang kedatanganya, berharap dalam hati doa kami terkabul. Tapi ternyata takdir berkata lain. Andra meninggal.
Kami lanjut memanjatkan doa, untuk Andra dan keselamatan lutfi yang masih terbaring di rumah sakit walau akhirnya Lutfi menyusul Andra.
Mengingat kepergian mereka, dalam doa-doaku, tiba-tiba aku merasa sesak, terbesit dipikiran apakah aku juga akan mengilang dari dunia ini, di umur 19 tahun?. Aku merasa takut, tak siap rasanya untk pergi sekarang, aku baru saja memakai almamater, ibu belum lihat aku sarjana paling tidak gelar S1 ingin kucapai.
“Jangan-jangan sekarang” aku membatin berbicara.
“ya Allah aku tak takut dengan Ajal ini, tapi aku belum menumpuk pahala”
Semakin sedikit nafas tersedot dari hidungku.
“ya Allah maafkan dosaku, maafkan aku yang membolong puasa, tak sholat full”
Tak kuat,rasanya suaraku yang biasanya melengking keluar.
Mukenah yang aku kenakan terasa basah karena air mata, aku menarik nafas dalam-dalam, hidungku terasa sumbat
“kemana udara diruangan ini”, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku memejamkan mata dan terus beusaha mengisi paru-paru yang terasa kosong.
Adrian, Jeri, Andra, Lutfi wajah-wajah mereka terpampang digelap mataku.
Aku juga merasa mendengar kembali cerita tentang 2 murid SMA 5, yang meninggal setahun yang lalu, umurnya juga tak berbeda dengan ke empat sahabatku.
Aku merasa lemas, benar-benar lemas, tanganku menggapai gelas yang ada diatas meja kecil yang tak jauh dari tubhku yang rubuh, ku lempar gelas itu, ke arah pintu.
“Druaak..” gelas itu pecah, akhir yang kudengar Ucu memanggilku dan suara pintu kamar terbuka. Setelahnya tak ada suara, tak ada yang aku ingat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau