Langsung ke konten utama

musuh bebuyutan.si nek mas peot pelit

Ponselku bersirine tepat masjid yang jaraknya 100 meter dari kamar menggelegarkan sunyi dengan kumandang adzan subuhnya, alarm yang kustel semalam sengaja kupilih dengan nada ambulance, komposer yang kubuat sendiri. Suaranya cukup mengejutkan pikiranku, jika mendengar sirine ini aku bisa terbangun dengan lekas. Karena aku langsung menduga nenek sebelah rumah yang pelit dan peot itu mati. Sebenarnya dugaan ini sangat berlebihan paling tidak dugaan ini seperti mendoakan nenek pelit itu lekas mati, tapi siapa suruh jadi nenek pelit dan menjengkelkan.
Karena satu kuntum bunga mawar saja aku di jewer mama, gara-gara tuh nenek pelit ngaduh ke mama, dengan tuduhan aku mencuri bunga mawar merah kesayangannya, padahalkan bukan aku, bukan tangan aku yang metik tu bunga, kan jarinya ekel yang ambil, dia kok yang metik aku Cuma naik pagar dan nunjukin bunga mana yang harus di petik..Siapa suruh nanam bunga disamping pagar, ya nongol lah bunganya dihalaman rumahku. Aku ma ekel kan jadi pengen, lah tu bunga memang cantik, Cuma satu kuntum, dasar pelit.
Tragedi 13 november 2002
Dengan tuduhan yang tidak jauh beda dari sebelumnya. Mencuri. Papa mendapat pengaduan yang menyakitkan katiku dan ekel, pagi itu aku masih di dalam kamar.Hari minggu memang sangat ku tunggu bangun siang sangat menyenangkan tulang-tulangku. Lagi pula semalam aku bergadang dengan ekel, pohon mangga numpang nangkring nyandar di atas genteng rumah dan tepat dari kamar tidurku berbuah, jadi aku dan ekel memutuskan untuk mengambilnya, daun-daunnya yang suka gugur di samping jendela dan jikalau ada hujan angin, kibasannya hanya mengusik tidurku. Kali itu ia berbuah di dunia ini gak ada yang gratisan numpang ranting di atap menurutku mesti ada ganjaranya jadi gak ada salah aku dan ekel dapat hasil dari tanaman nek peot itu.
Dengan mata kisip dengan tiga kali kucekkan aku melihat papa menuju halaman belakang tepat di samping tempat tidurku, halaman yang indah ala tatahan papa memang menyegarkan mata yang masih dihantui kantuk. Tidak terlalu jelas aku dengar tapi aku sangat jelas melihat musuhku dari sebrang pagar.Dress bermotif bola-bola hitam biru dengan setengah lengan yang ia pakai cukup memblalakan mataku.
Aku pun terpikal-pikal di tempat tidur melihat nenek-nenek dengan dress volkadot selain itu rollan rambut yang menempel dikepalanya berwarna pink.
“1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, hkhkhk hhhh ondel-ondel”aku tertawa terpikal
Ku lihat ia musuh ku itu melirik sinis ke arahku, aku yakin ia melihat aku tertawa dengan tangan kiri mengulas perut dan kanan menunjuk ke arahnya.
Papa berjalan mendekati pagar, tentu papa menghampiri si ondel-ondel minggu pagi. Aku tak terlalu jelas mendengar apa yang ia bicarakan dengan papa, karena penasaran aku meloncat dari tempat tidur dan menuju pintu belakang yang tak jauh dari kamarku, dengan sebelah mata aku mengintip mereka, tak apa aku tak jelas melihat mereka, itu tak terlalu penting untukku pembicaraan merekalah yang sangat penting, aku rasa ada laporan kejahatan, hingga ia ada dihadapan papa.
“pak file, lah anakmu tu di jaga, di ajarin tangannya mana milik orang mana punyanya dia” celotehnya di samping pagar halaman belakang
Hatiku bergetar, laporan apa lagi ini, jangan-jangan ia sudah tahu kalau tinta komputer yang aku semprtotkan di selimutnya dengan senapan air seminggu lalu, itu ulahku.Tapi bukankah ia sudah mendapatkan tersangka tak bersalahnya, aku melihat ia menjewer telinga cucunya si rudi gembrot, yang hobinya bermain senapan air. Sangat logis jika ia menuduh rudi yang mengotori selimutnya. Ini benar-benar gawat.
Aku menunggu tanggaapan papa, sekaligus aku juga melihat arah belakang siapa tahu mama sudah ada di belakangku, jika mama tahu aku sudah bangun pasti mama nyuruh aku mandi. Plis ma jangan sekarang datangnya.
“ ia nek mas, maaf, memang edita ngambil apalagi?” seraya papa menyambut omelan nek mas dengan ramah
“tu buah mangga masih muda di colongnya tadi malam, kiranya saya gak denger suara kakinya nginjakin genteng rumah saya” di tunjuknya pohon mangga dan genteng rumahnya.
“o.o.o ternyata nek tua itu tahu, operasi pengambilan jatah tanpa persetujuan itu” aku mendengus dalam hati, padahal aku dan ekel beraksi lewat tengah malam, dasar nenek gak tahu tua udah malam masih suka begadang. Aku yakin papa akan maraj besar denganku, papa paling tidak suka melihat aku panjat pohon, apalagi panjat genteng.
“ia sekali lagi maaf atas kelakuan anak perempuan saya, gentengnya ada yang bocor nek?” 
“oo untunglah tidak, genteng rumah sayakan kuat dan mahal,kalaupun bocor tentu saya langsung nyamperin sampean sekeluarga, gak perlu nunggu pagi”
Aku menggeram dalam hati, dasar pelit gak tahu sopan, hanya karena genteng ingtin membangunkan mama dan papa tidur, kalau ma dan pa lagi buat dedek, bisa-bisa setengah mateng.
“baiklah nek mas, kalaupun gentengnya bocor gara-gara anak saya, cepat beritahu kami, insyaallah kami akan mengganti kerusakanya, itu memang kewajiban kami, kami sekeluarga minta maaf. Kalau begitu saya masuk kedalam dulu, misi nek”
Oupppp papa balik kerumah, aku rasa papa akan menemuiku. Saat langkah ketiga papa, aku teringat dengan ekel, papa gak suka ekel, papa tahu semalam aku panjat genteng itu dengan ekel.
Tujuh langkah lagi papa akan sampai di posisiku, aku harus menyembunyikan ekel.
“EdItaaaaaaaaaaaaa” suara papa, marah
Aku langsung bergegas kekamar dan, mama di hadapanku.
Aku tak bisa mengelak papa di belakangku, mama di depanku.
“Edita, papa harus bicara denganmu, keruang makan” 
papa melewatiku, dan mama yang tidak tahu apa-apa heran melihat wajah papa yang menahan marah. Mama merenungku dengan wajah tanya dan mengisyaratkan kepalanya untuk menuju ruang makanan.
Air liur basi masih menempel di ujung kiri bibirku, aku tak sadar dengan itu, pikiranku hanya ekel.
Papa ada di ujung meja, tepat dihadapanku, ia menatapku tajam, aku hanya dapat tertunduk, dan tak berani untuk mengangkat kepala.
“Edita, tidur pukul berapa semalam, H?” papa mengintrogasi
Aku, diam
“Edita, papa tanya kamu” mama yang ada berdiri disamping papa, mengeluarkan suara.
“emm....Edit tidur mmm”
Aku takut menjawab, “Edita tidur pukul setengah tiga pa” aku tak berani, jam tidurku adalah jam sembilan paling telatpun stengah sepuluh, tak peduli hari libur, waktu itu adalah keputusan ortuku untukku.
“dua belas malam, 1, 2 hem?”
Papa memberi tiga pilihan jawaban
Aku tak menjawab aku hanya berani berkata dalam hati “ pa ABC, pilihan itu tidak ada yang benar, seharusnya papa bilang ½ 3, aku pasti jawab D, pasti aku silang D”
“kamu itu perempuan, masih kecil, umur kamu baru 14 tahun, kamu kira panjat-pajat itu perbuatan bagus, tidur lewat malam itu dan mengambil mangga milik orang lain, apa itu menunjukan tingkah laku laku anak gadis?”
Suara papa tidak meninggi tapi, aku yakin papa marah dan masih mencoba mengontrol amarahnya.
Aku, diam. Mama menunjukan wajah heran, mama juga ingin marah tapi hal ini papalah yang berhak mengambil alih.
“apa alasan kamu?”
Papa menanyakan alasanku, sekarang saatnya aku bicara
“maaf kan Edit pa, Edit tahu Edit salah, tapikan edit tidak ngambil milik orang lain, mangga itu, edit rasa, edit berhak atas buahnya, daun dan rantingnya mengusik tidur edit kalau malam, ranting-daun itu udah numpang nyandar, wajar donk, buah mereka sebagai bayaran tumpang tinggalnya, mangga itu juga gugurin daunya di halaman kita, lagi pula Editkan Cuma ambil tiga pa, ma”
“kamu itu, gara-gara main ama monyet, jadi tingkah laku ikut monyet”
Papa udah mulai ngebahas ekel, plis pa jangan bilang
“mau jadi anak monyet?”
Tu kan papa bilang
“emang papa mau jadi monyet, kalau edit mounyet, bonyoknya juga monyetkan?” aku bertanya balik, ini yang tidak kumau, aku pasti tanya itu ma papa, kalau papa tanya status tak mugkin itu.maaf pa gak sengaja, mulut ini tak terkontrol.
“edit,!” papa menahan suara dan
“mulai sekarang papa gak mau kamu main ama monyet, gara-gara main ma monyet taunya manjat terus, gak jambu pak RT, rambutan pak Hj, pagar bu’ war. Tidak ada kata tidak, ini keputusan papa. Ekel gak boleh tinggal dengan kita lagi”
“tapi pa. aku sayang ma ekel, jangan pisahin aku ma ekel, ma” aku merengek, memohon dan mama. Mama tahu aku terpukul dengan keputusan papa, tapi mama juga mendukung ha itu, ekel memang monyet yang nakal, pot bunga plus bunganya mama udah ada sepuluh yang ia pecahkan.
“papa akan lepaskan ia di hutan” papa berdiri dari kursi dan menuju halaman belakang. Kandang ekel.
“ma, jangaan, edita mohon cegah papa ma, edita gak punya temen kalau bukan ekel, ma”
Aku hanya dapat menagis, aku tak menyangka kebiasaanku naik genteng setiap malam ketahuan gara-gara mulut nenek peot itu.
Aku mellihat papa menjinjing kandang yang lebih kecil dari kandang ekel yang ada di belakang, ekel di dalamnya.
Aku berlari dan mencoba merebut ekel dari tangan papa, aku menagis tapi papa sedikitpun tidak iba melihat air mataku, mama mencoba membujuk, dan meregang tubuhku. Dari pelukan mama aku melihat papa membawa ekel pergi.
Satu minggu aku tidak menegur papa, hanya mama, itupun jika sangat perlu.
Dan orang yang sangat bersalah, adalah nenek peot disebelah rumah ini.
Semenjak itu aku tak pernah berurusan dengan nenek peot dengan ramah dan damai.
Tak pernah kusapa apalagi mengobrol. Mana ada anak yang mau main dirumahnya, jangankan mau masuk dalam rumah, main dihalaman saja, diawasinya dengan seribu mata.
“hei,,awas ia, bunga nenek, rusak, hei main jangan sampe terinjak rumput nenek ia, h? Rumputpun tidak, dasar nenek pelit.
Aku yakin sesuai dengan ingatanku, menginjakkan kaki di rumahnya hanya setahun sekali. Waktu lebaran, itupun karena aku dipaksa ortu.
“ayolah, ed ikut ma dan pa kerumah nek mas, nenek-nenek kok di musuhin, dosa yang ada” kata mama tiap tahunya
Aku jika dengar yang namanya dosa tentu bisa luluh dari niat untuk musuhin tuh nek mas, namanya aja dah nek mas, pasti tahunya numpukin mas. Ntah a[pa gak muat lagi di rumahnya buat nyimpan mas, nenek yang suka pake kipas bulu ayam yang berwarna pink tua itu, menanamkan mas di giginya. Jadi kalau dia senyum tuh gigi mas pasti nyilauin mata “cling”, apalagi kalau dia lagi perang ma aku, hem giginya seakan ingin tanggal dan berlari intuk menggigit mulutku yang tak mau ngalah dengan cerocosan omelan si nek mas.
“tapi ma, lebaran tempat nenek pelit itu susah, ngocekin kuenya gak bisa, gak kayak rumah pak RT, rumah pak Hj, apalagi rumah bu’ War yang malah nyediain kantong, buat dikocekin anak-anak, lah nek mas, jangankan mau ngocek, makan sepuasnya di rumahnya aja, susahnya minta ampun.”
“lah kamu orang maunya silaturahmi, maaf-amafan kok mikirain makanan, lagian kan uda besar uda kuliah” 
mama selalu ngalahin aku dengan status aku yang bukan anak kecil lagi, ya aku tahu aku sekarang udah besar, bukan anak 14 tahun yang suka main dengan seekor monyet, dan memang sangat memalukan seorang mahasiswi bermusuhan dengan seoarang nenek yang kini umurnya sudah 64 tahun.
Tahun lalu, terakhir kali aku menginjakkan kaki dirumahnya.Lebaran Idul Fitri. Aku sempat adu mulut, dengan nenek peot itu.
Waktu itu aku dan ma_pa ke rumahnya sekitar pukul sebelas pagi, horden hijau muda dan di hiasi sedikit bordir bunga mawar memaniskan rumah nenek peot, yang ku akui memang nyaman dan teduh, segala tanaman yang ada di perkarangan rumahnya terawat.
Bunga, buah dan binatang-binatang seperti marmut, terurus dengan baik, tata letak pot bunga dan bunga yang di tanah sangat seimbang. Di bawah pohon alpukat di sebelah kanan pagar terdapat bangku-bangku kecil dan payung yang sangal lebar, ada emat kursi disana.
Rumput manila yang kami injak, juga sangat memberi kesan, ntah siapa yang menyulap rumput itu menjadi tulisan, di sebelah kanan bertulis WELCOME dan yang kiri SELAMAT DATANG.
Dan di sebelah kiri tepatnya di dekat pagar, yang membatasi rumah kami, terdapat sekumpulan bunga mawar, merah, putih, kuning,merah muda.
Sewaktu aku dan ekel memetik bunga mawar milik nek mas, mawarnya hanya ada satu warna, warna merah.
Sofa lembut berwarna kuning muda, berjejer rapi menelusuri dinding ruangan rumah nek mas.
Barang-barang antik juga terdapat diruang tamunya, jam dinding yang bunyinya seperti gong juga terpampang, miniatur sepeda ontel, miniatur tugu khastulistiwa dan lukisan bung karno.
Tak lama duduk di sofa empuknya, nek mas keluar dari arah ruang tengahnya.
Wajah rama bernada kedamaian ia tunjukan pada mama dan papa. TIDAK UNTUKKU.
Setelah mama dan papa salaman, aku juga bersalaman dan menciumnya layaknya cucu dan nenek, padahal tangan kanan yang ku cium itu adalah musuh besar, selama ingataku.
“duh si penyolong, databg juga ia” nek mas yang bersanggul dan berbaju kebaya menyapa diriku, dengan kata-kata yang sangat menyebalkan.
Mama papa hanya tersenyun kecil, mencoba menahan tawa, ma-pa u sudah tidak heran dengan kata sapa yang di ucapkan nek peot itu, mungkin menrurt ma-pa itu adalah panggilan saynag dari seorang tetangga, TIDAK UNTUKKU.
“ah nenek peot pelit, untung didatangin, kasian juga ntar gak dimaafin, bisa gak tenang kalau waktunya tiba” aku tak mau kalah dengan omongan yang tadi, cukup memanaskan hati di depan orang tuaku ia bisa mengatai aku penyolong, tapi yang menjadikan hati ini sakit hati tidak berlawan mama dan papa malah senyam senyum melihat ankanya dianiaya seorang nenek yang berumur 64 tahun ini.
“edita” mama menyebut namaku, itu artinya aku harus diam dan mengalah. Akupun diam mencoba tak mengambil hati dengan omongan nek peot.
Mereka mengobrol dengan asyiknya, aku tak tau apakah mereka menganggap aku ada atau tidak diruangan ini, karena dari tadi sekalipun namaku tak ada disebut.
Hanya wajah manyun yang benar-benar membosankan yang aku ekspresikan.
Bi’ na pembantu nenek peot akhirnya datang, es jeruk yang terlihat segar sangat menggoda mataku, mengiring pendaratan sloki di atas meja, aku menunggu taksabar dengan menelan ludah.
“serrp pasti segar” aku menerka rasa es jeruk yang antri lewat di hadapahku.
Aku mengabsen es sirup dalam hati “ punya mama, punya papa, punya a”
Tak sempat aku bilang “punya aku” gelas yang hampir mendarat di depan mataku di tangkap oleh nek mas.
Keningku lansung mengerut dan melotot nek mas, aku terkejut dan mencoba bertanya mengapa es jeruk punyaku diambil.
Mulutku sudah menganga ingin bertanya tapi nek mas cepat menimpali “bi’na ambilkan air putih saja untuk endit, dia kan sedang flu tak baik minum yang dingin-dingin, ia kan endit.
“endit, endit, edita. Edita zahya” aku menjelaskan kesalahan nama yang diucapkan nek mas, entah mengapa ia punya pikiran untuk memanggil namaku dengan nama Endit, jelas aku marah itu bukan namaku. Tapi memang hobinya menyakiykan hati, ia tetap memanggil namaku dengan nama itu, dan tak kan pernah berubah, walaupun aku tahu ia tak akan memanggil namaku dengan benar, tapi aku selalu menjelaskan padanya, “aku Edita bukan Endit” dan selalu begitu. Dan perintahnya dengan bi’ na tadi seolah-olah memberi perhatian padaku.
Seakan dokter anak ia berbicara sangat lembut, akutahu itu hanya kelembutan yang ia buat-buat, yang hanya ingin mengejekku.
Langit malam itu sebenarnya memang telah memberi tanda jika akan hujan tapi pentas teater yang sangat menghibur membuat aku berat untuk melewati pertunjukannya. Karena pementasan berakhir lewat tengah malam, akupun mengalah dari rasa inginku untuk menyelesaikan pertunjukan, aku pulang pukul 22:35, sebenarnya ini bukan waktu pulang yang papa berikan tapi tak apalah aku yakin papa akan memberi toleran hari itu, sepulangnya ketika masih di pertengahan jalan, hujan lebat mengguyurku tak ada pilihan untuk berteduh, karena jika aku berteduh malampun akan semakin larut aku akan semakin telat sampai dirumah. Ponselku juga drop. Aku tak bisa nelpon papa minta jemput. Akhirnya aku mengahadang hujan hingga tiba di rumah.
Papa memang tidak marah, mama yang melihat aku basah kuyub cepat-sepat mengambilkan handuk untukku, dari malam itulah awalku terkena flu.
Karena nek mas melihat aku yang terus memancet hidung dan menarik ulur ingus, tentu ia memastikan aku sedang flu, dan dengan alasan ini, ia mengerjai aku. Es jeruk yang sangat segar, ia ganti dengan air putih biasa dan tanpa es.
“ia, kamu sebaiknya gak usah minum yang dingin-dingin” papa membenarkan rencana nek mas. Oh tidak nek mas pasti merasa sangat menang.
“tapi pa edit kan haus, es jeruk pa” aku merayu papa untuk minta izin walau seteguk es jeruk. Aku memang sangat suka es jeruk, jeruk dari kota pontianak sangat segar. Sekarang aku tahu siasat yang udah di rencanakan nek mas, ia memang tahu aku suka es jeruk, dan sengaja menyajikanya dihadapanku, dan melarangku pula.
“sudah lah, Cuma es jeruk kan, nanti juga bisa minum, tapi kalau hidung kamu tidak ngalir ledeng lagi” nek mas menyahut lagi.
Aku tak bisa berkutik, mama papa ngelarang, nek mas menang dikandangnya.
Esoknya giliran nek mas yang bertamu kerumahku. Tapi aku belum menyiapkan misi untuk balas dendam, aku yang mendengar suara mama dan papa menyambut kedatangan nek mas dari ruang TV.
Belum sempat aku berpikir mama memanggilku
“edita, nek mas datang sini nak” 
“bentar ma lagi nangung, lagi seru ni” aku berteriak membalas teriakan mama dari ruang tamu, sebenarnya tak ada acara bagus atau film bagus, yang aku tonton dan ku bilang seru denag mama, itu hanya iklan. Aku sengaja mengulur sedikit waktu, dan sebenarnya aku tak inigin bersalaman untuk lagi dengan nek mas si pelit yang peot.
“edita ada tamu kok mentingin TV, ayo salaman dulu” kali ini papa yang ngasi perintah. Aku mematikan TV, dan melempar remot serta sapu tangan untuk mengusap ingus di atas sofa.
Aku menuju ruang tamu. Belum ada bekal untuk balas dendam. tiba di ruang tamu mama lansung nyuruh aku salaman dengan nek mas. “ ayo salaman dulu, biar cepat akur” 
“hmm” aku hanya dapat meng-ehem.
Selangkah dari muka nek peot aku membersinkan hidung, dan tentunya semprotan ingus mendarat ke wajah nek mas, rintik-rintik hujan ingus.
“rasakan itu” aku berteriak dalam hati, sebenarnya hidungku sama sekali tidak gatal, apa lagi mau bersin, tapi akal pura-pura bersin itu nongol saat dua kilan jarak aku dan nek pot. Nek peot hendak mengeluarkan volume suara yang paling maksimum, tapi tak ku beri ia kesempatan, karena aku berhak membela diri.
“maaf-maaf, gak sengaja nek, kan nenek tahu, aku lagi flu, maaf ya ne” akupun menopengkan wajahku dengan wajah baik. Ramah lembut, seperti perlakuannya denganku semalam. Nek peot hanya menahan marah dan mengelap wajahnya yang terkena percikan bersin dari hidungku.
Mama dan papa menarik nafas. Aku tahu mereka akan marah. Tapi aku tak takut. Asal aku bisa balas dendam, semalam aku dirumahnya, dikandangnya sendiri, kini nek peot jadi mangsaku, ia ada di kandangku. Aku tak akan kalah walau mama dan papa penghadang kemenanganku.
“ma pa , maaf edit gak sengaja, hidungnya spontan bersinnya, gak sempat ngerem”
Aku merapatkan kedua tanganku, dan menempelkannya di dagu, seperti layaknya orang kristen memanjat doa, memohon dengan tulus. Aku meminta maaf karena kesalahanku. Yang tidak sopan tadi?. Tidak, jangan harap aku menyesal itu.
Aku pun menyalami nek mas, menciumi tangannya. Ku henduskan hidungku. Ingus cair menempel di tangan kananya. Ia sadar itu, tapi tidak orang tuaku, sebelum mereka tahu, aku mecium pika-piki nya. Dan berbisik tawa “heheheheh”.
Nek peot tak berkomentar, ia hanya mengusap tangannya dengan sapu tangan pribadinya.
“mm kalau gitu edita buat minum ya ma, maafkan edit ya nek, silakan kuenya nek” aku bermuka manis dihadapan nek mas. Meninggalkan senyum menuju dapur.
Papa mama kembali mempersilakan nek mas, duduk. Berbincang tentang buah-buahan yang mereka tanam di belakang rumah, atau kabar sanak saudara nek mas.
Mereka juga membahas tentang Badda, cucu nek mas yang tinggal di bandung.
Ku lihat ada sirup bunga rosella, sirup yang sangat bermanfaat untuk kesehatan.
Sebenarnya tak hanya sirup, produk teh pun juga ada.
Aku menuangkan teh itu kedalam gelas, sirup ini rasanya asam manis, aku paling suka meminumnya tanpa gula tapi kata mama kalau buat untuk minum tamu ya di kasi gula takutnya selera mereka tidak sama denganku.
Aku berpikir untuk tidak memberi gula pada minuman nek mas, rasanya yang asam pasti meciutkan lambungnya. Akupun mengambil nampan untuk membawa air minum itu, tapi mataku melihat asam jawa di tempat bumbu dapur. Ku ambil gelas dan ku larutkan asam itu kedalam air. Aku mengambil saringan teh yang tergantung di rak piring, air asam jawa itu aku saring dan kumasukkan kedalam sirup nek mas, untunglah warnanya tidak terlalu berubah, mama dan papa pasti tidak akan mengira itu.
Aku kembali ke ruang tamu, ku letakan minuman di atas meja tepat dihadapan nek mas. Mama dan papa juga aku buatkan.
“silakan nek, diiminum” aku berbasa-nbasi dengan manis “dan rasakan asamnya” lanjutku dalam hati.
Nek mas hendak meminum sirup buatanku, entah apaka ia curiga atau tidak denganku.
“ini sirup apa ya, aromanya sedikit bereda” ia mendekati gelas ke arah mulutnya.
Belum ia menegu, mama menyebutkan dan mejelaskan sirup yang mereka minum
“ ini sirup bunga rosella nek, aromanya memang sedikit asam, rasanya juga asam. Tapi asam-asam manis, sangat baik buat kesehatan, bagi yang lebih suka dengan rasanya yang asam gak perlu kasi gula, tapi lebi enaknya di kasi gula sedikit. Saya dan papanya edita sukanya gak pake gula, edita juga”
Nek mas meneguk minumanya. Aku rasa ia berkomentar
“asam ya?” tanyanya pada mama dan papa dengan kening kerut
“asam manis” kata papa menjawab 
Nek mas tentu heran dengan jawaban papa dan pejelasan mama tadi, tentang rasa sirup yang ia minum. Asam manis. Sedangkan yang ia minum asam kecut.
“aku menang” aku serasa merdeka, melihat nek mas pamit dengan mengulas perut.
Cukup mengherankan mengapa ia tidak bilang dengan mama dan papa, tentang rasa minumanya yang bukan manis asam atau asam manis. Tapi manis kecut. Padahal aku sudah mempersiapkan diri mendengar omelan mama dan papa. Aku juga sudah menyiapkan alasan untuk mengelak atau palin tidak aku tidak akan jujur kalau aku memang sengajaa memberi air asam jawa kedalam sirup rosella minuman nek mas.
“aku tidak memberi apa-apa nek maskan sudah tua, wajar indra perasanya gak berfungsi dengan optimal”
Atau
“maaf ma, aku memang gak sengaja masukin asam jawa kedalam minuman nek mas, akuk kira itu guka aren”
Alasan yang tidak masuk akal sebenarnya. Tapi nek mas tidak komentar, bahkan mama dan papa tidak curiga melihat nek mas mengulas perut.
Aku heran nenek peot itu tidak marah padaku di depan mama dan papa, padahal dia kan tidak pernah peduli dengan perasaan mama dan papa jiklalau marain kau atau megatai aku.
Aku juga heran mama dan papa tidak pernah sakit hati jika mendengar sumpah serapah nek mas
“maklumi sajam nek mas kan sudah tua, anggaplah nenekmu sendiri” itulah yang selalu papa dan mama bilang padaku jika kau tanya megapa tidak pernah membela aku, jika di kata-katai nek mas.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Riwayat Hidup: Farninda Aditya

  DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap                            : Farninda Aditya NIP                                                                  : 199008242019032012 Jabatan                                                  : Penata Muda Tk.I, (III/b) Asisten Ahli Jabatan Tambahan                             : Sekretaris Prodi PIAUD FTIK IAIN Pontianak Dosen Pengampu                              : Mata Kuliah Bahasa Indonesia                                           Tempat/tanggal lahir                   : Mempawah, 24 Agustus 1990 Jenis kelamin                               : Perempuan Agama                                         : Islam Ruang                                                     : 210, Lantai II,  Gedung Prof. KH Saifuddin Zuhri GOOGLE SCHOOLAR             :   https://bit.ly/3lqX6US Silakan unduh dan sitasi pada       : MODERATION OF LANGUAGE IN A DIFFERENT FAMILY ENVIRONMENT (Language Moderation in The Multi-Ethnic Family Circumstances) | IC

Pertemuan 1: Magang 1

    Assalamualaikum, ww.   Halo kawan-kawan mahasiswa. Selamat telah sampai pada level ini. Selamat sudah masuk sampai perkuliahan Magang 1. Selamat juga berhasil menyelesaikan ritme perkuliahan melalui Daring selama ini. Kalian semua hebat.   Pada perkuliahan Magang1, saya Farninda Aditya dimanahkan untuk mengampu mata kuliah ini. Bagi yang sudah pernah bertemu dengan saya pada mata kuliah sebelumnya, Bahasa Indonesia terutama, tentu sudah paham bagaimana gaya pembelajaran saya.    Menulis adalah yang Utama. Disiplin adalah Aturan. Komunikasi adalah Penyelamat.  Sebelum membahas tentang Apa itu Mata Kuliah Magang?, perkenankan saya menjelaskan cara belajar kita.   Pertama,  Media . Media utama yang digunakan adalah WhatsAap, e-Leraning, Google Meet, Youtube, Instagram, dan Blog.   Media berkomunikasi adalah WhatsAap dan pembelajaran adalah e-Learning. Jadi, segala informasi akan saya sampaikan sebelumnya melalui jaringan ini, terkait media yang akan digunakan p

Bedences

Cuci Motor Bdences. Itulah nama tempat penyucian motor yang saya lihat di daerah Bakau Besar, Kabupaten Mempawah. Di sekitar tikungan, di dekat masjid. Tidak terlalu jauh setelah jembatan yang diperbaiki tahun lalu.   Baru kali ini melihat tempat cuci tersebut   setelah hampir tiga bulan tidak balik kampung. Saya menyimpulkan, tempat ini adalah baru. Namun, yang menarik dari perhatian saya bukan gambaran tempat penyucianya, bukan fasilitasnya, bukan orang yang sedang menyuci. Tapi, Bdences yang menjadi nama tempat pencucian ini.  Bdences mengingatkan saya dengan kata populer   yang digunakan remaja-remaja di Jalan Bawal. Bawal adalah nama gang yang ada di sekitar Pasar Sayur Mempawah.   Batasan-batasan jalan ini sempat saya tanyakan pada seorang teman yang tinggal di sana. Menurutnya Jalan Bawal I berada di samping Lapangan Tenis, Bawal II   berada di seberang Jalan menuju Pasar Sayur menyeberangi jalan menuju Tol Antibar. Bawal II berada   di belakang SD Negeri 1 Mempawah atau