Hidup berdampingan antar agama dan etnis bukan sekadar teori. Kehidupan itu sudah dirasakan sejak dulu. Tetangga yang baik dan saling berbagi meski ia pemeluk agama Kristen, kami berbagi mainan, main kejar-kejaran, hingga ia pindah masa itu masih lekat diingatan. Ya, dia Hilda anaknya Pak Peter.

Saat bersekolah dasar, belajar bersama teman multkultur. Ada yang beretnis Madura, Cina, Dayak, Bugis, dan Melayu. Kami biarkan saja mereka menggunakan bahasa masing-masing saat mereka berkomunikasi antar etnis kadang satu dua kosakata dipelajari. Saling kode itu memberi nuansa unik dalam pertemanan.
Lalu sahabat yang disebut dengan Payung Teduh kala S-2 adalah Mbok Atun yang beretnis Jawa dia, muslim. Mbok Hesty etnis Jawa, Kristen bahkan dia pengurus gereja, ada Seri seorang kakak yang baik hati keturunan Dayak. Seri menikah dengan lelaki Cina. Ia suka membahas tentang Ong yang bearti keberuntungan.
Kata Ong itu cocok untuk menggambarkan rasa spesial mengenal mereka. Berada di antara perbedaan tak mungkin untuk dihindarkan. Cara untuk menerima dan memahami ada seninya. Seni itu adalah Moderasi Beragama, seni yang mewujudkan hidup berdampingan. Bukan di depan, buka di belakang tetapi berdampingan mewujudkan perdamaian.
Maka tahun 2018 lalu kehidupan berdampingan ini terwujud erat melalui pernikahan. Menikah dengan seorang keturunan mualaf dengan latar keluarga yang nyata mengajarkan tentang kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif akan budaya lokal. Dalam keluarga ini ada yang beretnis cina, dayak, jawa, sunda, madura, melayu, dan bugis yang juga berasal dari berbagai daerah. Hidup berdampingan bersama mereka tak sekadae bermoderasi agama tetapi juga bermoderasi bahasa:
Komentar